JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, KH Dr Nashirul Haq, MA, memberikan taushiah pengarahan pada acara wisuda dan penugasan Sekolah Dai Hidayatullah Ciomas, Bogor, Jawa Barat, angkatan ke-V yang digelar pada Ahad sore (10/5/2020).
Dalam taushiahnya yang disampaikan secara live streaming dari Jakarta dan saksikan 34 dai wisudawan beserta hadirin di Bogor, Nashirul Haq mewasiatkan hikmah yang terkandung di dalam Al Qur’an surah Yusuf ayat 108 tentang wajibnya berdakwah menyeru kepada agama Allah ta’ala bagi orang mukmin yang mengikuti Rasulullah Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam.
قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.
Nashirul mengimbuhkan, dalam Al Qur’an tersebut kita diperintakan untuk menyatakan kepercayaan kita bahwa Islam adalah jalan perjuangan kita, keyakinan kita, dan dengan itu kita mengajak manusia untuk menghambakan diri kepada Allah.
“Namun kita diingatkan agar berdakwah dengan bashirah. Bahwa dakwah harus disampailan dengan hujjah, dengan ilmu, tidak asal dakwah. Bashirah di sini termasuk pemahaman dai terhadap ajaran Islam, Quran dan Sunnah, secara baik dengan benar,” katanya.
Kemudian, dia melanjutkan, makna bashirah yang kedua adalah memahami manhaj atau metode (thariqah) dakwah karena berdakwah harus benar cara dan metodenya.
“Sehingga dari sisi content, kandungan materi benar, kemudian juga caranya, uslubnya, metodenya juga benar,” katanya.
Masih dalam lanjutan ayat tersebut, Nashirul mengemukakan makna dari frasa ana wa manittaba’anī. Dia menjelaskan, makna dari lafaz tersebut adalah seruan kepada Nabi Muhammad untuk memproklamirkan bahwa jalan dakwah adalah jalanku dan jalan orang yang mengikutinya.
“Artinya, dakwah akan efektif dan berpengaruh kepada umat dan memiiki kekuatan manakala ada tanzim. Ada kepemimpinan. Harus ada manajemen, ada organisasi, karena kita lemah penuh dengan keterbatasan sehingga harus berjamaah, bersama-sama mengemban dakwah. Begitulah Rasulullah menjalankan dakwah ini secara jama’i bersama dengan sahabat sahabatnya,” kata Nashirul.
Kembali kepada makna bashirah. Nashirul menerangkan, bahwa selain konten, berdakwah pun caranya harus benar dan metode ini adalah dakwah sistematis yang di Hidayatullah dikenal dengan metode Sistematika Wahyu (SW) yang merujuk pada tartib nuzuli atau sesuai tertib turunya wahyu Al Qur’an.
Metode dakwah sistematis ini sebagaimana sesuai urutan turunya wahyu Al Qur’an (tartib nuzuli) adalah dimulai dari yang paling prinsip yaitu pembinaan aqidah tauhid seperti termaktub di dalam surah pertama kali turun yakni Al ‘Alaq: 1-5, dimana di sini menderivasikan makna bahwasanya dakwah harus mengutamakan hal yang pokok (ushul) terlebih dahulu ketimbang yang ushul (cabang).
“Ketika Nabi mengutus sahabat berdakwah seperti saat mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, Nabi berpesan mengingatkan bahwa yang pertama kali disampaikan kepada umat adalah syahadat. Kalau mereka sudah bertauhid, barulah disampaikan bahwa Allah mewajibkan shalat 5 waktu, zakat, puasa dan lain sebagainya,” kata Nashirul menjelaskan.
Setelah Al ‘Alaq atau Tauhid-nya sudah mantap, baru masuk ke rangkaian metodologi yang kedua yaitu surah Al Qalam: 1-7, yang mengandung pesan berfikir (worldview) dan berprilaku secara Islami.
“Ahlak dan cara befikir ini adalah buah dari sebuah keyakinan Tauhid. Jika keyakinan Tauhid kokoh, maka cara perilakunya adalah nilai nilai Tauhid.” ujarnya.
Kemudian tahapan dakwah selanjutnya adalah surah Al Muzzammil 1-10 yang merupakan surah ketiga turun kepada Nabi. Nashirul menjelaskan, setelah aqidah sudah tertanam kokoh, ahlak telah terbentuk sesuai dengan ajaran Al Quran, maka kualitas ruhiyah harus ditingkatkan melalui 6 amalan di dalam surah Al Muzaammil atau dikenal dengan 6 azimat yaitu shala lail, meresapi Al Qur’an, dzikir, sabar, tawakkal dan hijrah untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Jika kualitas aqidah, ahlak, dan ruhiyah, sudah baik, maka otmatis dia akan memilki rasa tanggung jawab dan keterpanggilan untuk menyebarkan risalah Islam sebagaimana spirit dalam Surat Al Mudatsir ayat 1-7 yang pertama-tama menyeru kepada “orang yang berselimut” untuk membesarkan Allah yang kelak membahwa kejayaan yaitu dinul Islam.
“Para dai harus membersihkan pakainnya secara lahir da batin, pikiran juga harus disucikan. Sucikan diri, pakaian dan lingkungan, karena kesucian bagian dari keimanan. Sebagai pembawa risalhah, dia harus meningalkan dosa. Dai adalah panutan dan pemimpin umat,” katanya.
Nashirul pula mengingatkan bahwa di jalan dakwah banyak godaan, tidak sedikit iming yang sering diperhadapakan pada kita. Sehingga seringkali niat terganggu untuk motivasi dunia.
Maka, tegas dia melanjutkan, janganlah menyampaikan dakwah dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang sifatnya materiil karena Allah telah memberi pahala untuk kehidupan di akhirat kelak.
“Jalan dakwah ini kita akan menghadapi banyak tantangan dan rintangan dari orang-orang yang menolak dakwah bahkan bisa jadi dari kalangan kerabat kita sendiri. Ada caci maki, kezaliman, perlakuan kasar. Kuncinya adalah sabar. Nabi pun mengalami hal serupa tapi mereka bersabar,” imbuhnya.
Kemudian rangkaian metodologi dakwah yang terakhir adalah muatan surah Al Fatihah sebagai intisari Al Qur’an. Nashirul mengatakan, ajaran Islam adalah merupakan sistem kehidupan (manhajul hayat) dan inti dari ajaran Islam sudah terkandung dalam surah ini Al Fatihah ini.
“Al Fatihah adalah sebagai intisari Al Quran, maka Al Fatihan adalah bingkai dari seluruh aspek kehidupan dalam Islam yang kita istilahkan dengan peradaban Islam,” ujarnya.
Peradaban Islam sebagaimana dipahami Hidayatullah adalah manifestasi iman di dalam seluruh aspek kehidupan manusia untuk menjakankan 2 fungsi kita yaitu hirasatuddin, yakni bagaimana memastikan bahwa umat ini selalu berpegang teguh pada ajaran Allah SWT sehingga kehidupan ini ditata dengan kehendak Allah SWT.
Dan, fungsi kedua, siasatuddunya, yakni bagaimana kehidupan ini bisa diatur sedemikian rupa dalam ranga kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia sehingga pada akhirnya manusia meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
“Selamat bertugas, selamat berjuang. Yakinilah, bahwa orang orang yang menolong agama Allah akan mendapatkan pertolongan dari-Nya,” pungkasnya.