Agak berat juga rasanya meninggalkan kampung halaman yang telah membesarkannya itu. Betapapun bersahajanya kampung itu namun baginya banyak kenangan indah yang tidak mudah dilupakan. Letak desanya yang ada pada ketinggian dengan pepohonan yang rimbun selalu mengalirkan kesejukan. Apalagi jika memandang hamparan pulau-pulau di perairan Teluk Bone, memberi energi tersendiri dalam jiwanya.
Sulit terlupakan manis dan lezatnya pao apang[3]. Ada juga penjang, jenis ikan teri benang, halus berwarna putih, munculnya hanya sekali dalam setahun. Biasanya dipanggang dengan menggunakan daun pisang sebagai pembungkus. Makannya dicampur dengan garam, cuka atau jeruk nipis dan lombok. Sedap sekali. Juga ikan teri basah yang direbus pakai asam dicampur dengan biji jampu sereng (jambu monyet) yang masih muda, teramat sedap dijadikan lauk. Juga buah yang disebut coppeng ( jamblang, jambu keling), jampu salo’ (jambu air) dan jambu biji yang semuanya mudah diperoleh tanpa harus mengeluarkan uang.
Apalagi kakeknya (ayah dari ibunya) yang dikenal dengan panggilan Emme. Nama sebenarnya adalah Puang Adang sangat rajin berkebun. Pribadinya sangat menarik. Banyak sekali buah-buahan dalam kebunnya. Orang kampung mengenalnya sebagai orang tua yang rajin berzikir. Pada waktu mencangkul atau menyabit rumput dia lakukan sambil berzikir, kedengaran bergumam dari jauh. Tidak pernah mau menjual hasil kebunnya. Kalau hasil kebunnya dicuri orang lalu ada yang melaporkan kepadanya, Puang Emme hanya ketawa sambil menjawab, “Makessinni tu ko iyatona mmalangi alena, nasaba nakko iya’ malangngi, depa nattentu napujina”[4].. Dan masih banyak lagi kenangan yang mengandung nilai nostalgik yang sangat sulit dilupakan. Juga kehidupan orang desa yang diwarnai keramahan, gotong royong dan persaudaraan yang kental yang sulit ditemukan pada kehidupan masyarakat kota.
Kini dia harus berangkat meninggalkan kampung yang telah memberinya warna hidup baik fisik maupun jiwa, menuju kota Makassar, 227 Km dari kampungnya. Sebuah kota besar yang sudah lama dikenal namanya namun belum pernah hidup didalamnya. Informasi yang sering didengarnya bahwa kehidupan perkotaan adalah cenderung kejam. Tapi dibalik itu sering pula menangkap cerita bahwa di kota besar juga kita dapat menjadi orang besar, sesuatu yang dicita-citakannya.
Memprihatinkan, memang, kehidupan yang dijalaninya pada waktu bermula tiba di Ibu Kota Propinsi Sulawesi[5]. Apa boleh buat terpaksa harus dijalaninya. Maklum orang tua tidak punya pekerjaan yang dapat mendatangkan uang. Tetapi karena orang tuanya seorang ulama yang kharismatik sehingga anggota masyarakat di lingkungan yang dia tempati yang kebanyakan berasal dari kampungnya, Sinjai, sehingga sang ayah ditempatkan secara proporsional.
Di Kampung Malimongan Baru (Jalan Pong Tiku dan sekitarnya sekarang) dipercayakan mengimami sebuah mesjid yang dikenal dengan nama Mesjid Lailatul Qadri sambil memberi tuntunan agama di mesjid itu. Lewat kegiatan ini keperluan hidup agak teratasi namun sangat jauh dari cukup. Untung sang Ibu sangat giat mencari nafkah untuk membiayai anak-anak yang sekolah. Baru anak yang tertua, Djunaid Kahar yang telah berumah tangga. Tapi belum sanggup juga membantu. Apalagi di rumah yang ditempati itu ternyata banyak juga keluarga yang nebeng. Keluarga dari kampung yang belum mempunyai pekerjaan tetap dan belum memiliki rumah tempat tinggal. Rumah ini dijadikan tempat transit sambil mencari lowongan kerja.
Ada keluarga dekat yang bernama Haji Muhiddin, yang lebih populer dikalangan keluarga dengan panggilan Tuang Muhidding. Jabatannya lumayan tinggi sebagai Menteri Kejaksaan Negara Indonesia Timur (NIT), cukup berjasa menampung beberapa orang keluarga bekerja di Kejaksaan.
Pemandangan baru yang dia saksikan yang sangat tidak mengenakkan perasaannya di Makassar adalah seringnya ada orang yang mabuk-mabukan dengan teriakan-teriakan yang tidak sedap didengar telinga. Mereka berkumpul di satu tempat yang disebut lontang[6]. Ditempat itu mereka minum ballo[7] beramai-ramai sambil makan baluta[8], atau ikan, ayam atau bebek yang dipanggang. Sering juga terjadi perkelahian antara kelompok anak muda yang hanya disebabkan karena persoalan sepele, karena ketersinggungan perasaan atau karena persoalan perempuan, dll. Semuanya tidak pernah disaksikan dikampungnya.
[3] Jenis mangga yang manis sekali, ukuran buahnya sedang, jarang terdapat di daerah lain.
[4] Bhs Bugis Sinjai artinya: Bagus sekali kalau dia sendiri yang ambil untuk dirinya karena sudah pasti dia senangi, kalau saya yang beri belum tentu dia menyenanginya.
[5] Waktu itu Sulawesi belum terbagi-bagi atas beberapa Propinsi seperti sekarang.
[6] Bahasa Makassar artinya tempat menjual dan minum minuman keras.
[7]Bahasa Mks yang berarti arak. Kalau arak yang dibuat dari beras yang difermentasi bernama ballo ase. Yang diambil dari nira aren bernama ballo inru. Dan yang diambil dari nira nipah disebut ballo nipa.
[8] Bahasa Makassar yang berarti marus, yakni darah kental yang direbus dan diberi rempah,
makanan haram ini sangat disenangi karena mirip hati.