DEPOK (Hidayatullah.or.id) — Menandai berakhirnya hari bulan suci Ramadhan 1444, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Ummul Quro, Kampus Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, Jawa Barat, menggelar curah gagasan (brainstorming) sebagai refleksi Ramadhan yang digelar selepas shubuh dua hari ini, Kamis – Jum’at, 29-30 Ramadhan 1444 (20-21/4/2023).
Anggota Dewan Pertimbangan (Wantim) Hidayatullah Ust. Dr. Ir. H. Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, M.Si, menyampaikan bahwa tarikan spirit yang amat ia rasakan selama Ramadhan ini adalah betapa luar biasanya Al Qur’an yang bukan saja sebagai mukjizat akhir zaman, tetapi juga solusi patent dalam mengentaskan berbagai masalah yang ada.
“Spirit terbesar yang saya rasakan pada bulan Ramadhan adalah bagaimana kita berquran,” katanya.
“Saya renungkan selama itikaf ini, saya merasa berdosa karena belum mendekap Al Quran ini padahal saya merasa masih sangat muda untuk menghafal, menghayati, dan mengamalkan. Ini adalah kelalaian saya terhadap Al Qur’an,” tambahnya.
Di usianya yang 59 tahun sekarang ini, Aziz merasa masih terlalu banyak lalai dengan Al Quran. Di sisi lain, Al Quran sebagai solusi belum sepenuhnya dapat diserap, dipelajari, dihafalkan, dan diamalkan.
“Saya sendiri merasa masih terlalu lemah dalam berquran. Padahal kita diminta untuk bersungguh sungguh karena Allah menjanjikan solusi di sana sebagai jalan keluar dari berbagai masalah kita. Saya pikir masih ada kesempatan. Wallaziina jaahadu finaa lanahdiyannahum subulana,” katanya seraya menukil Al Quran Surat Al-‘Ankabut Ayat 69.
Dengan spirit berquran tersebut, ia pun mensinyalir pentingnya mengarusutamakan Al Quran sebagai langkah kolosal sehingga dapat menjelma menjadi gerakan quranisasi individu, jamaah, komunitas, ummah, bangsa, dan negara.
Dengan gerakan quranisasi, maka setengah dari masalah bangsa dapat diselesaikan. “Namun jangan hanya dihafalkan, melainkan juga harus dipelajari dan diamalkan,” katanya mengingatkan.
Berkenaan tentang kesadaran akan gerakan tersebut, dengan penuh semangat ia pun mengaku masih cukup muda untuk mempelajari, menghafal, dan mengamalkan Al Qur’an. “Orang mungkin melihat sudah tua, tapi saya merasa masih muda untuk itu. Rasanya saya ada tekad,” katanya.
Gerakan Quranisasi menurut Aziz sangat selaras dan setararikan nafas dengan visi lahirnya Hidayatullah yang ingin menebarkan energi kitabullah ini agar umat manusia merasakan kebahagiaan dengan Al Qur’an.
“Jadi program Hidayatullah ini sudah on the track yang ingin melahirkan penghafal Al-Qur’an. Tapi jangan berhenti belajar. Al Quran tidak saja kita hafalkan, tetapi juga ditadabburi dan diamalkan sebab intinya kehidupan ini adalah Al Qur’an,” cetusnya.
Dulu Para Nabi, Sekarang Al Quran
Lebih jauh, Ustadz Aziz dalam refleksinya mengemukakan bahwa setiap masalah diselesaikan dengan mukjizat. Hal itulah yang berlaku pada umat umat terdahulu, dimana ada Nabi yang diutus kepada umat tertentu dengan segala masalah dan problematikanya.
Saat ini, tak ada lagi nabi yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk menyelesaikan masalah umat manusia di muka bumi. Kendati demikian, Tuhan tetap memberikan keistimewaan kepada umat akhir zaman berupa kitabullah dan kalamullah yang yaitu Al Quran.
“Setiap umat ada mukjizat dengan kehadiran para nabi. Di akhir zaman sekarang ini tak ada lagi nabi setelah Rasulullah Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, tapi Allah Ta’ala menurunkan Al Qur’an sebagai mukjizat,” katanya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, saat ini kita harus melahirkan para penghafal Al-Qur’an. Tapi tidak saja menghafal, melainkan juga menghayati dan mengamalkan.
“Jika Al Qur’an ini betul betul dihayati dan diamalkan, maka akan melahirkan sumber daya manusia yang kuat, melahirkan manusia manusia yang memiliki kemampuan yang hebat dan betul betul dalam,” katanya.
Disamping itu, kata dia, ada tantangan gerakan quranisasi yang sukar dihadapi saat ini apabila tak memiliki cukup kemampuan bertahan dalam mengendalikannya, yaitu gadget. Menurutnya, kemajuan teknologi tidak saja menghadirkan kemudahan, tetapi juga ancaman yang dapat melalaikan.
Tiga Penopang Peradaban
Diakhir pemaparannya, Aziz mengemukakan tentang impianya yang ingin menulis buku tentang peradaban sebagai sumbangsih pikiran yang diharapkan turut memperkaya khazanah keislaman kontemporer.
Aziz mengaku terinspirasi dari Al Qur’an surah Al Hadid dimana ia kemudian menemukan tiga dimensi penopang untuk tegaknya peradaban, yaitu Ideologi (Wahyu), Keadilan (Mizan), dan besi (Hadid). Pada kata “besi”, Aziz memberi penanda bahwa ia mencakup beragam perangkat pendukung.
“Tidak ada peradaban yang bisa tegak tanpa “besi”. Maka jangan coba coba perang kalau tidak selevel kekuatannya. Tidak ada negara yang bisa sejahtera, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, tanpa kekuatan persenjataan,” katanya menjelaskan besi yang dimaksud.
Demikian pula dengan keadilan. Menurut Aziz, sebuah peradaban dapat ditegakkan apabila ada bangunan keadilan sosial dalam tatanan kehidupannya. Tanpa keadilan, mustahil peradaban bisa ditegakkan.
Keadilan dan bekal kekuatan “besi” merupakan dua bagian yang saling beririsan, saling terpaut, saling mendukung, dan melahirkan keseimbangan. Keduanya pun akan semakin kokoh apabila berada dalam bimbingan wahyu.
“Peradaban bisa tegak apabila ada besi yang mengawal. Pengawalnya adalah keadilan dan besi. Handphone itu besi, tank besi, kulkas besi, komputer besi, teknologi besi, senjata besi, dan lain sebagainya. Jadi jangan dulu ngomong peradaban kalau belum kuat dari penguasaan besi,” tandasnya seraya berpesan semua anak anak kita hendaknya dibekali dasar Al Qur’an sebelum memasuki sektor sektor lainnya dalam kehidupan.*/Yacong B. Halike