AdvertisementAdvertisement

Refleksi Usai Jalani Madrasah Ramadhan Selama 30 Hari

Content Partner

SETELAH kita menjalani ibadah puasa sebulan penuh, ada baiknya kita melakukan evaluasi, instropeksi, dan muhasabah, apakah ibadah yang kita jalani tersebut telah mengantarkan kita kepada sasaran atau target yang dituju?

Sangat disayangkan jika puasa kita sebulan penuh hanya menghasilkan lapar dan haus saja, sebagaimana yang disinyalir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah haditsnya:

“Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar saja” (HR. Ahmad)

Hampir semua khatib dan penceramah di bulan Ramadhan selalu mengulang-ulang ayat ini, dan bahkan kita semua telah menghafalnya. Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al Baqarah: 183)

Bahwa target puasa dan semua rangkaian ibadah yang menyertainya, baik yang wajib maupun yang sunnah, baik yang dikerjakan di siang hari maupun di malam hari adalah “la’allakum tattaqun”, mudah-mudahan menjadi orang yang bertaqwa.

Kita berlapar lapar di siang hari dan begadang di malam hari, tujuannya cuma satu, TAQWA. Disiplin yang ketat selama sebulan penuh ternyata tujuannya hanya satu, lahirnya insan yang bertaqwa.

Lalu, apa istimewanya orang yang bertaqwa? Di hadapan Allah semua manusia itu memiliki kedudukan yang sama. Allah tidak menilai manusia karena kekayaan yang dikuasai, jabatan yang dipegang, popularitas dan ketenaran, serta strata sosialnya.

Allah hanya menilai manusia dari satu sisi saja, yaitu nilai ketaqwaaannya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu”. (QS. Al Hujurat: 13)

Kita bersyukur jika diberi posisi yang baik, berupa jabatan, pangkat, dan kedudukan yang tinggi di mata manusia. Dengan jabatan itu kita bisa menebarkan kasih sayang, menegakkan keadilan, dan mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Dengan kedudukan yang tinggi kita bisa mempengaruhi banyak orang agar berbuat baik, beramar ma’ruf dan nahi munkar. Dengan kedudukan dan posisi yang baik di masyarakat kita bisa mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk tunduk dan patuh terhadap syari’at Islam.

Namun, apalah artinya jabatan yang tinggi kalau diperoleh dengan cara yang curang, bohong, menipu, dan manipulasi. Di sisi Allah, jabatan itu tidak menambah nilai, tapi justru mengurangi. Jabatan itu tidak menguntungkan, tapi malah merugikan. Jabatan seperti itu tidak menyelamatkan, tapi akan menghancurkan. Allah tidak tidur. Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar. Allah Maha Menyegerakan hisab.

Sebagai bahan untuk mengoreksi diri kita sendiri, apakah kita termasuk golongan orang yang bertaqwa atau belum, maka ayat berikut ini patut untuk dikaji, direnungkan, dan dijadikan bahan evaluasi. Allah berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran: 133-134)

Ciri pertama, orang yang bertaqwa itu gemar berinfaq. Dalam Al-Qur’an terdapat 24 ayat yang menggabungkan dua perintah sekaligus, yaitu perintah shalat dan membayar zakat. Wa aqimush-shalata wa aatuz-zakah, tegakkan shalat dan tunaikan zakat.

Shalat dan zakat itu ibarat dua sisi mata uang. Uang itu baru bisa menjadi alat tukar jika kedua sisinya bergambar sempurna. Sebaliknya, uang itu tidak akan laku jika hanya bergambar satu sisi saja. Uang tersebut palsu.

Sama halnya dengan orang yang beragama, jika hanya rajin shalat tanpa rajin mengeluarkan infaq, shadaqah, dan zakat, maka keberagamaan orang tersebut adalah palsu. Orang yang bertaqwa dan tidak palsu ketaqwaannya jika mereka terhubung secara vertikal dengan Allah melalui shalat dan tersambung secara horizontal melalui zakat, infaq, dan shadaqah.

Mestinya, orang yang mempunyai kedekatan dengan Allah melalui ibadah-ibadah shalat, dzikir, dan doa, juga mempunyai kepadulian yang tinggi terhadap kemiskinan, kefakiran, dan penderitaan manusia.

Itulah sebabnya, ketika kita akan mengakhiri shalat, kita membaca salam dengan menolehkan wajah ke kanan dan ke kiri. Seolah-olah kita melakukan inspeksi, apakah di samping kanan dan kiri kita masih ada orang yang belum “salam”, selamat dan sejahtera. Apakah ada orang yang hari ini masih lapar? Apakah orang yang di sebelah kita berpakaian layak? Apakah orang di sebelah kanan dan kiri kita telah tercukupi sandang, papan, dan pangannya? Apakah anak-anak mereka telah bersekolah?

Orang yang bertaqwa bukanlah mereka yang hanya pandai mengumpulkan harta lalu menghitung-hitungnya. Mereka, selain pandai mencari rezeki juga pandai menyalurkannya. Mereka tidak pernah “ngemplang zakat”, rajin bershadaqah dan berinfaq. Mereka sangat peduli terhadap anak yatim, para janda miskin, kaum dhu’afa dan fakir miskin.

Puasa Ramadhan melatih kita semua untuk “peduli”. Dengan puasa kita diingat tentang betapa menderitanya orang yang tidak makan dan minum. Betapa sengsaranya para kuli bangunan yang harus bekerja keras di jalanan. Betapa beratnya para buruh tani yang bekerja di sawah di bawah terik matahari. Betapa capeknya para buruh dan pekerja pabrik di tengah pengap dan desingan suara mesin.

Allah mengecam keras orang yang hoby-nya sekadar mengumpulkan uang dan menyimpannya di bank dan di lemari lalu berbangga diri. Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS. At Taubah: 34)

Setiap rupiah yang kita kumpulkan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Harta yang kita kuasai bisa menjadi penolong kita di akherat, tapi juga dapat memasukkan kita ke neraka, na’udzu billah. Tergantug kecerdasan kita dalam mengelolanya. Jika kita bakhil, medit, alias pelit, maka akibatnya akan kita rasakan di dunia maupun di akherat.

Allah berfirman:

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat”. (QS. Ali Imran: 180)

Ada kiat cerdas dari hadits Qudsiy untuk kita semua. Jika kita ingin mendapatkan nafkah (kekayaan) dari Allah, maka rajinlah berinfaq. Allah berfirman dalam hadits Qudsiy yang artinya:

“Allah berfirman, Hai anak Adam, berinfaqlah engkau, nicaya Aku (Allah) memberikan nafkah kepadamu”. (HR. Bukhari)

Kiat cerdas yang kedua, jika kita ingin terjauh dari berbagai kesulitan hidup, maka tolonglah orang yang sedang dalam kesulitan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:

“Barangsiapa yang ingin doanya terkabul dan dibebaskan dari kesulitan hidup, hendaknya dia mengatasi kesulitan orang lain. (HR. Ahmad)

Percayalah, jika kita suka menolong orang lain, maka hidup kita akan tertolong. Jika kita suka menyelesaikan kesulitan orang lain, maka Allah akan mengatasi semua kesulitan hidup kita. Meskipun saat ini kita miskin, jangan “bermental miskin”. Yakinlah bahwa kita adalah “orang kaya” walaupun saat ini masih miskin. Jadilah “pemberi” bukan “penerima”, apalagi “peminta-minta”.

Itulah ciri pertama orang yang bertaqwa yang disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 33, yaitu gemar berinfaq, baik di saat lapang maupun di saat sulit. Di saat berkecukupan memberi infaq yang sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya. Di saat sulit mereka juga tetap memberi. Setidak-tidaknya dengan memberi nasehat yang baik atau sekadar memberi senyuman yang tulus.

Ciri kedua orang bertaqwa, mampu menahan emosi (al kazhiminal ghaizh).Ramadhan adalah madrasah terbaik bagi kaum muslimin untuk melatih kesabaran. Orang yang berpuasa dilatih untuk tahan godaan, tahan nafsu,
tahan syahwat, dan tahan emosi.

Kalau sekadar menahan lapar dari subuh hingga maghrib, sebagian besar kaum muslimin dapat lolos dan berhasil. Akan tetapi untuk menahan mata dari melihat HP dan mengomentarinya, tak semua mampu melakukannya.

Ketika seseorang mengirim pesan kurang bersahabat, apalagi sampai menyinggung perasaan, melecehkan, mengejek, atau merendahkan, maka spontan hati tergerak untuk membalas, mengomentari, atau bahkan melawan balik. Itu sekadar contoh sederhana.

Dikisahkan bahwa suatu hari datang seorang Badui ke masjid. Di ruang utama masjid ia melepas sarungnya, lalu kencing seenaknya. Melihat keadaan seperti itu, kemarahan para sahabat hampir meledak tapi segera ditahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Si Badui tersebut dibiarkan buang air sampai selesai.

Rasulullah lalu memerintahkan sahabat untuk mengambil seember air dan menyiramnya. Setelah disiram, beliau saw memberi wejangan, seandainya kalian tidak saya cegah, maka kalian akan mengejar Badui tersebut hingga iapun lari kesana kemari sambil terkencing-kencing. Semua lantai masjid ini akan terkotori oleh air kencingnya. Pertanyaannya, cukupkah seember air untuk membershkannya? Dengan kesabaran dan kemampuan menahan emosi, maka cukup satu ember untuk membersihkannya.

Sabar adalah kemampuan mengelola emosi sehingga dapat merespon situasi secara tepat dan efektif. Orang yang sabar akan memilih waktu yang paling tepat untuk merespon keadaan. Mereka tidak grasa-grusu, tidak reaktif, dan tidak panik. Mereka tetap logis dan penuh pertimbangan. Orang yang sabar akan tahan goda, seperti orang yang sedang berpuasa menunggu waktu maghrib tiba.

Itulah sebabnya, Allah swt menyeru kepada kita:

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”. (QS. Al Baqarah: 45)

Jika kita ingin sukses, lakukan dua hal tersebut, sabar dan shalat. Sabar menunggu momen yang pas dan menggunakan cara serta pendekatan yang tepat. Sabar itu tidak identik dengan alon-alon asal kelakon. Juga tidak identik dengan terburu-buru.

Jika yang diperlukan adalah kecepatan, maka kenapa harus lamban? Jika yang dibutuhkan adalah ketelitian, kewaspadaan, dan kehati-hatian, mengapa harus terburu-buru. Jika harus melakukan persiapan yang matang, kenapa keburu nafsu? Carilah waktu yang pas dan cara yang tepat, itulah SABAR.

Semua pasti ingin kaya, bahkan ingin kaya raya. Akan tetapi jika keinginan itu harus segera terwujud dan tidak sabar menunggu proses, maka yang terjadi adalah menempuh jalan pintas. Jika kebetulan punya jabatan, maka jabatannya akan digunakan untuk memperkaya diri sendiri. Jika ada kesempatan, mereka akan korupsi.

Adalah normal jika para pemuda mempunyai syahwat terhadap perempuan. Akan tetapi pemuda yang sabar akan menunggu waktu sampai semua kematangan untuk menikah dipersiapkan sebaik-baiknya. Mereka tidak akan berzina, mengumbar syahwat mata dan telinga. Mereka sabar menunggu sampai aqad nikah.

Betapa seriusnya Allah SWT mengajak kita untuk bersabar. Allah berfirman:

“Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabranmu”. (QS. Ali Imran: 200)

Orang yang bertaqwa ditandai dengan kemampuan menahan emosi. Emosi itu tidak sekadar marah. Orang benci itu emosi. Sebaliknya orang yang jatuh cinta juga emosi. Cinta-benci, suka-tidak suka, marah-cuek, dan segala perasaan hati adalah emosi.

Orang yang bertaqwa adalah orang yang dapat mengelola emosinya dengan baik. Marah itu boleh, asal terkendali. Tidak suka itu boleh, asal tidak keterlaluan. Sebaliknya cinta itu juga boleh, asal tidak habis-habisan. Maka jika mencintai sesorang, cintailah sewajarnya, begitupun sebaliknya.

Tanda ketiga orang bertakwa adalah mudah memaafkan (Al-‘Afina anin-Nas). Ada kebiasaan baik di kalangan kaum muslimin selepas Ramadhan, yaitu saling bermaaf-maafan.

Sekalipun ajaran ini tidak disyari’atkan secara khusus saat menyambut idul fitri, tapi inti ajaran saling memaafkan itu sangat baik dan sangat dianjurkan. Muslim yang baik tidak menunggu Idul fitri untuk saling memaafkan, tapi setiap waktu kita harus berlapang dada untuk memberi maaf kepada saudara kita.

Memberi maaf tidak harus diminta. Kita bisa memaafkan saudara kita tanpa sepengetahuannya. Cukup diniatkan dalam hati. Akan lebih baik lagi jika setelah memaafkan, lalu diikuti dengan mendo’akan kebaikan atas saudara kita yang baru kita maafkan. Itu adalah ahklaq mulia dan sangat terpuji.

Orang yang berpuasa dan diterima amalan puasanya akan berlapang dada. Jika berbuat salah, mereka tidak menunda-nunda waktu untuk segera minta maaf. Demikian pula jika ada saudaranya yang berbuat salah kepadanya, mereka segera memaafkannya, baik diminta maupun tidak diminta.

Orang yang bertaqwa akan jauh dari sikap dendam, hasad, dan iri hati. Sikap tersebut sungguh sangat membahayakan orang lain juga merugikan diri sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan:

“Waspadalah terhadap hasad (iri dan dengki), karena sesungguhnya hasad mengikis pahala-pahala sebagaimana api memakan kayu”. (HR. Abu Dawud)

Begitu bahayanya sikap hasad ini, sampai-sampai kita disunnahkan untuk membaca berulang-ulang surat Al-Falaq yang intinya meminta perlindungan Allah dari pengaruh sifat hasad ini. Kita jadikan bacaan al-Falaq ini di pagi dan sore sebagai wirid harian. Menjelang tidur kita kembali membaca surat tersebut.

Tanda keempat orang bertaqwa adalah senantiasa melazimkan dzikir dan istighfar. Orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat salah atau dosa. Akan tetapi orang yang baik adalah orang yang apabila berbuat salah, mereka segera mengingat Allah lalu meminta ampun kepada-Nya.

Rasulullah saw bersabda:

“Semua anak Adam pembuat kesalahan, dan sebaik-baik pembuat kesalahan ialah mereka yang bertaubat”. (HR. Ibnu Majah)

Wahai para pendosa, segeralah bertaubat kepada Allah. Jangan menunda-nunda. Jangan menunggu masa tua. Sekarang juga. Dengan bertaubat kepada Allah, segala dosa akan dimaafkan, segala noda akan dihapuskan.

Suatu dosa tidak akan menjadi besar jika disusul segera dengan istighfar. Sebaliknya dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus tanpa istighfar, maka akan menjadi dosa besar.

Satu lagi, adalah sebuah kesalahan besar jika orang merasa tidak pernah bersalah. Dosa besar bagi orang yang merasa tidak pernah berbuat dosa. Akhirnya, hanya dengan istighfar berbagai masalah dapat terpecahkan.

Lenyaplah segala duka cita, terbentang jalan keluar atas problem kehidupan, serta melimpahnya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Semoga shiyam dan qiyam Ramadhan kita diterima Allah SWT.

Mudah-mudahan kita termasuk golongan muttaqin yang ditandai empat indikator di atas, yaitu gemar berinfaq, cerdas emosi, mudah memaafkan, dan senantiasa berdzikir dan beristighfar.[]

*Dikutip dari naskah khutbah Idul Fitri 1440 rilis DPP Hdayatullah

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Marriage is (not) Scary, Ibadah Terpanjang yang Menyatukan Keberkahan dan Tantangan

SEJAK remaja, saya selalu menjadi tempat curhat orang-orang di sekitar, dari teman dekat hingga kenalan singkat. Entah karena saya...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img