“Jika diri berniat membuat masakan, maka pastikan semua bahan dan alat telah disiapkan.”
Ungkapan ini bisa jadi arahan pertama stering commite kepada jajaran organizing commite dalam sebuah gelaran acara pada even tertentu. Namun hal ini berlaku umum, jika ditarik pada konteks yang lebih luas.
Sebagai contoh, kita bisa ubah kalimat di atas menjadi seperti ini. “Jika Presiden berniat mensejahterakan rakyat, maka pastikan semua sosok yang akan dipilih duduk di jabatan strategis adalah pribadi yang berintegritas dan memiliki trackrecord terdepan dalam urusan dan pembelaan terhadap rakyat.”
Sesimpel itu? Ya, sesimpel itu. Itulah kenapa kala masuk ke pasar, Umar bin Khathab tidak menyiapkan training marketing. Malah ia berseru, “Tidak boleh masuk pasar (menjadi pedagang) kecuali yang memahami fiqh (mengerti halal dan haram).
Dan, tindakan seperti itu tidak mungkin diambil oleh seorang pemimpin yang dia sendiri tidak mengerti mengapa dan bagaimana dalam memimpin. Dalam kata lain, kini kita berada di era dimana kadang seorang presiden bukanlah pengendali, justru ia sosok yang paling terkendali, sehingga kerapkali, mulai dari ucapan sampai kebijakan sering bikin rakyat awam pun bertanya-tanya.
Sekalipun ada sosok pembeda dalam hal ini, yakni Presiden Turki Erdogan yang walau pun Amerika, Eropa dan Rusia menentang pengembalian Hagia Sophia menjadi masjid, ia tetap pada pendiriannya. Kenapa? Jelas, historis, bukti, dan argumentasi jauh lebih unggul dibanding mereka yang tak mengerti namun ke media memprotes seolah keputusan Erdogan salah.
Erdogan benar-benar istimewa, bagi rakyat Turki ia baik karena berani mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid. Bagi umat Islam dunia, ia pemimpin luar biasa. Indonesia bahkan menjadi negara yang banyak channel youtube mengulas soal Hagia Sophia dengan perspektif yang progresif.
Bagaimana Membentuk Diri ?
Pertanyaannya adalah mengapa Presiden Turki luar biasa dan Presiden Indonesia biasa saja?
Jawaban analisanya sudah kita sama-sama pahami. Tetapi langkah yang lebih penting adalah bagaimana membentuk diri menjadi pemimpin yang tak sekedar baik, tapi luar biasa.
Pertama, bertanyalah dalam hati, apakah dengan amanah kepemimpinan ini saya akan membawa kemajuan?
Jika jawabannya, iya. Maka sejak sekarang dan hari-hari ke depan pikiran dan tindakan akan difokuskan bagaimana menghadirkan kemajuan demi kemajuan, sekalipun sederhana, sedepa, atau bahkan setitik. Dalam bahasa Ustadz Abdullah Said, jangan ada sedetik berlalu tanpa kemajuan dakwah.
Bahkan betapa penting pertanyaan bagi sosok pemimpin, Albert Einstein berkata, “Jika saya diberikan satu jam untuk menyelesaikan sebuah masalah yang mana hidup saya bergantung pad ahal tersebut, maka 55 menit pertama akan saya habiskan untuk menentukan pertanyaan yang paling tepat. Begitu saya mengetahui pertanyaan yang paling tepat dan sesuai untuk masalah tersebut, maka dalam waktu kurang 5 menit saya akan mampu memecahkan masalah tersebut.”
Sekarang betapa banyak anak muda yang diberi latihan kepemimpinan lantas kala ditanya progresivitas hanya mampu merangkai kalimat keluhan demi keluhan?
Jadi, coba lakukan bertanya dalam diri sendiri, jawab dengan jujur dan transformasikanlah jawaban jujur itu di dalam realita kehidupan.
Kedua, jujur, apakah diri benar-benar ingin membentuk diri atau mencari keuntungan pragmatis?
Melatih diri dalam wahana kepemimpinan sebenarnya suatu hal yang sangat istimewa. Tapi sayang disayang, banyak anak muda memandang latihan kepemimpinan dalam sebuah organisasi hanya sebagai cara tebar pesona. Akibatnya mereka silau dengan hal-hal yang artifisial dan jauh dari hal-hal substansisal.
Bicara saja dulu, harus berani, soal salah benar urusan belakangan. Akibatnya jelas, sekarang Indonesia kaya sosok pejabat yang bicara sekenanya dan tak ada rasa bersalah. Bahkan andai pun dipaska untuk revisi berkali-kali.
Oleh karena itu cara membentuk diri yang terbaik adalah jujur pada diri sendiri bahwa berlatih kepemimpinan dalam organisasi adalah sebagai media menempa diri untuk mendapat keuntungan hakiki bukan artifisial.
Artinya siap menempa diri, siap berperan, siap bertanggungjawab, sehingga tidak suka merangkai kalimat keluhan dan menyalahkan orang. Apalagi sangat antusias kala melihat akan ada keuntungan bisa dikantongi dan sebaliknya sangat tidak peduli bila sesuatu dipandangnya tak memberikan pundi-pundi Rupiah.
Sosok pemimpin besar masa kini dan nanti adalah pribadi yang siap konsisten dan percaya diri membangun kepribadian yang unggul. Seperti Nabi Yusuf Alayhissalam yang tak pernah kampanye bahwa dirinya layak memimpin. Seperti Umar yang tak ingin keturunannya menjadi pemimpin hingga melahirkan dinasti. Seperti Al-Fatih yang tidak mengambil keputusan melainkan akan sejati dalam kebenaran.
فَاَ مَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَآءً ۚ وَاَ مَّا مَا يَنْفَعُ النَّا سَ فَيَمْكُثُ فِى الْاَ رْضِ ۗ كَذٰلِكَ يَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَ مْثَا لَ ۗ
“Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 17).
Dalam kata yang lain, manusia yang berorientasi pada keuntungan pragmatis tak ubahnya buih, ia akan banyak uang, aset, dan kedudukan, tapi akhirnya hilang. Karena memang sepanjang hidup tidak ada gunanya bagi manusia lain. Sedangkan manusia yang berorientasi jauh, mencari ridha Allah dan keuntungan negeri akhirat, ia akan abadi dan terus menjadi bintang dalam setiap perbincangan umat manusia dari zaman ke zaman. Allahu a’lam.*
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah