AMANAH dan kejujuran adalah perkara nomor satu bagi KH Abdullah Said Rahimahullah, sang Pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah.
Demikian diceritakan oleh Ustadz Mannandring Abdul Gani (75 tahun), santri senior yang kini didapuk anggota Badan Pembina Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah (YPPH) Balikpapan.
Menurut Ustadz Mannandring, masalah kejujuran ini jadi pelajaran utama setelah para santri diajari tata cara shalat.
“Waktu itu diadakan kursus training muballigh pertama kali. Jadi sesudah diajari masalah shalat yang baik, pelajaran kedua adalah soal kejujuran,” kisahnya.
Ustadz yang telah puluhan tahun berdakwah itu mengatakan, kelak kursus atau training bersejarah inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Hidayatullah.
Selanjutnya, para pemuda peserta kursus tersebut lalu direkrut menjadi santri-santri awal Hidayatullah.
“Kalau saya dulu pertama kali (berjumpa) almarhum (Ustadz Abdullah Said) di Gunung Sari. Waktu itu ustadz masih menumpang di rumah keluarga,” ucap Ustadz Manandring mengawali kisahnya. “Kira-kira akhir tahun 1969,” ucapnya sambil mengingat-ingat kembali memori itu.
Rupanya untuk pelajaran kejujuran ini ada yang terbilang unik. Para peserta kursus atau santri awal tersebut dibagikan oleh KH Abdullah Said secarik kertas kosong dan pulpen. Setelah itu mereka disuruh kemana saja dengan catatan menuliskan kejadian atau perbuatan yang dikerjakan selama masa “ujian kejujuran” tersebut.
“Jadi kita dikasih kertas dan pulpen, itu disuruh kemana saja. Kalau umpamanya melihat perempuan itu dicatat. Dihitung satu dua tiga empat dan seterusnya. Kalau tidak tundukkan pandangan itu ditulis juga,” cerita perintis dakwah di Tanah Grogot, Kab. Paser, Kalimantan Timur tersebut.
Tepat waktu yang disepakati, para santri lalu berkumpul kembali. Setelah itu secara bergantian masing-masing diminta untuk melaporkan hasil perjalanannya selama sehari penuh.
“Biasanya Ustadz Abdullah Said bertanya lebih dulu sebagai tes kejujuran, kamu dosa apa saja hari ini? Misalnya, saya melihat perempuan, menyentuh perempuan, berbohong, tidak menundukkan pandangan, pelanggaran itu disebut semua,” lanjutnya.
Pelanggaran itu, terang Ustadz Manandring, bukan cuma soal pergaulan atau interaksi dengan perempuan saja, kalau tidak mengerjakan ibadah nawafil seperti tidak shalat sunnah, tidak baca al-Qur’an, tidak zikir atau tidak berdoa setelah shalat, dianggap pelanggaran juga.
“Kalau ada yang tidak menulis dosa atau pelanggarannya biasanya ditanya lagi, kamu sudah jujur atau bohong?” kata Ustadz Manandring yang sudah memiliki 19 cucu dari 14 anak tersebut.
Seperti ini, lanjutnya, bukan hanya sebagai ujian kejujuran, tetapi juga tes mental bagi santri. Sebab kalau mengaku dan menulis banyak pelanggaran, tentu bikin santri malu di hadapan ustadz dan santri yang lain. Tapi kalau tidak ada yang dicatat, berarti dosa lagi karena berbohong.
Masih soal tes mental dan kejujuran, lain waktu KH Abdullah Said pernah menggelar pertemuan khusus yang dihadiri oleh seluruh pengurus, ustadz, dan santri. Namanya “Rapat Putih”. Isinya adalah para santri diperkenankan untuk mengoreksi secara terbuka para ustadz dan pengurus.
Sebaliknya, pihak yang dikoreksi tidak boleh merespons apalagi reaktif menanggapi masukan dan kritikan yang disampaikan oleh para santri. “Jadi betul-betul itu tes mental buat ustadz-ustadz,” ucap Ustadz Manandring.
“Ada yang diam saja, ada yang tunduk terus, ada juga yang kelihatan merah kupingnya. Itulah tes mental dan ujian kejujuran Ustadz Abdullah Said dahulu,” pungkas Ustadz Manandring sambil tersenyum. Kisah ini pernah diceritakan di hadapan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah di Masjid Ar-Riyadh, Balikpapan, medio tahun 2022 lalu.* (Abu Jaulah/MCU)