SEORANG kawan bercerita, selama satu tahun ia berkendara ke mana-mana tanpa sedikit pun merasa khawatir. Ia menjelajahi jalanan di kota-kota yang dikunjunginya tanpa takut ditilang oleh polisi lalu lintas.
Sampai pada suatu hari, ia dicegat oleh polisi dan saat itu baru tahu jika SIM-nya sudah mati sejak setahun sebelumnya. Ia hanya diam termangu-mangu. Ternyata, selama ini ketenangannya tidak dibangun di atas pijakan yang valid. Ia memang tenang, tapi sebenarnya tertipu.
Bagaimana jika masalahnya lebih gawat dibanding urusan dokumen berlalu-lintas di jalan raya? Bukankah akan sangat mengerikan jika kita mengalami hal-hal semacam ini?
Misalnya, dalam urusan kehidupan beragama untuk perjalanan menuju akhirat. Sebab, ketertipuan jenis terakhir ini bisa jadi tidak disadari sekarang. Ia baru diketahui secara pasti tatkala berhadapan dengan Allah di Hari Perhitungan, pada saat penyesalan tidak lagi berguna dan segala alasan tidak bisa diterima begitu saja.
Allah menyinggung kisah orang-orang yang tertipu ini dalam Al-Qur’an. Perhatikan firman-Nya dalah surah al-Kahfi: 103-105:
“Katakanlah: “Maukah kalian Kami beritahu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan-Nya. Maka terhapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian pun bagi (amalan) mereka pada Hari Kiamat nanti.”
Betapa banyak orang yang hidupnya tulus dan penuh pengabdian, namun sebetulnya ia tidak mengabdi kepada Allah. Bisa jadi, ia justru mengarahkan pengabdiannya kepada perusahaan-perusahaan dan majikan-majikan duniawi. Dedikasinya luar biasa, pengorbanannya sangat besar, dan kesungguhannya telah menginspirasi banyak orang.
Bahkan ia rela menomerduakan keluarga, kerabat, kawan, dan tanah airnya. Sayangnya, sekali pun tidak terbetik nama Allah di hatinya, sehingga amalnya akan menguap bagaikan fatamorgana di gurun sahara.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang kafir itu amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An-Nuur: 39).
Lalu, apa sebenarnya yang membuat manusia-manusia seperti ini tertipu sedemikian rupa, sehingga tidak menyadari kesia-siaan amalnya kecuali setelah segala sesuatunya amat-sangat terlambat?
Menurut Al-Qur’an, penyebab pertamanya adalah tidak mau menuruti bimbingan Allah dan merasa cukup dengan kemampuannya sendiri. Pada saat itulah, setan akan menempel di hatinya dan menjadi penasehat utama dalam seluruh urusan hidupnya. Maka, sangat boleh jadi, pilihan-pilihannya terlihat hebat dan mengagumkan, namun sesungguhnya tidak bernilai sedikit pun di mata Allah.
Allah menjelaskannya dalam surah az-Zukhruf: 39-40,
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (yakni, Al-Qur’an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkannya). Maka, setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu sungguh menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. Sehingga apabila orang-orang yang berpaling itu datang kepada Kami (di Hari Kiamat), dia pun berkata: “Aduhai, semoga (jarak) antara aku dan kamu (yakni, setan) seperti jarak antara timur dan barat.” Maka, setan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia). (Harapanmu itu) sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu, karena kamu telah menganiaya (dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu. Maka, apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya), dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?”
Keberpalingan dari bimbingan Allah seringkali tidak memberi efek langsung terhadap kehidupan duniawi seseorang. Bahkan, sangat boleh jadi seseorang yang kafir lagi durjana menikmati kehidupan yang sangat nyaman dan lapang. Wajahnya tetap rupawan, rumahnya terlihat megah, kendaraannya semakin mengkilat, uangnya pun bertambah banyak. Bahkan, ia menjadi idola dan dikerumuni banyak orang, atau memiliki massa melimpah dan dielu-elukan khalayak ramai di mana pun ia hadir.
Hanya saja, jangan tanya bagaimana nasibnya di akhirat nanti. Sebagaimana Allah katakan dalam surah al-Kahfi diatas, “Kami tidak mengadakan suatu penilaian pun bagi (amalan) mereka.”
Menurut al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam Tafsir Zaadul Masir, maksud pernyataan ini adalah: mereka tidak dianggap samasekali, tidak memiliki nilai dan kedudukan sedikit pun di sisi Allah. Na’udzu billah!
Saat ini, ketika Allah masih memberi kesempatan dan waktu, ada baiknya kita menyelisik bagian-bagian hidup kita, satu demi satu.
Bertanyalah kepada diri sendiri, tentang pernikahan kita, anak-anak kita, pekerjaan kita, rumah kita, kendaraan kita, gelar-gelar pendidikan yang kita sandang, jabatan-jabatan yang kita emban, dan segala atribut maupun status yang kita miliki.
Untuk siapakah semua itu? Bila nama Allah tidak terbetik di sana, atau bahkan tidak layak disebut-sebut karena statusnya yang haram dan nista, segeralah berhenti.
Sangat boleh jadi segala ketenangan kita selama ini hanyalah tipuan-tipuan setan yang hendak melalaikan dari jalan yang lurus. Berbenahlah, sebab Allah sangat gembira melihat hamba-hamba-Nya yang mau memperbaiki diri. Wallahu a’lam.
ALIMIN MUKHTAR