AdvertisementAdvertisement

Sadar dan Rela Hidup Sengsara

Content Partner

USIANYA sangat muda, namun mimpinya tak biasa. Bukan pundi-pundi Rupiah yang ia bayangkan, melainkan kampung peradaban.

Sejak belia memang punya tekad, sehingga langkahnya tak pernah gontai apalagi lunglai. Ia menatap tajam, bergerak lincah, dan berbicara penuh optimisme.

Tanpa sosok itu, mungkin Indonesia belum bisa mengenal Hidayatullah, selain dari sebuah kata yang artinya “Hidayah Allah.” Sosok muda itu adalah Abdullah Said.

Amin Rais menyebutnya sebagai man action (manusia pekerja). Manusia yang dalam 24 jamnya berpikir bagaimana bergerak yang menghasilkan progresivitas dakwah dan tarbiyah, sehingga beliau dikenal sosok yang semenit pun dilalui dengan kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu, dalam sejarahnya beliau selalu mampu menghadirkan spirit optimisme, bahkan dalam situasi sulit dan sengsara.

“Kesengsaraan bisa jadi akan melahirkan satu motivasi yang cukup tinggi yang pada akhirnya berubah bentuk menjadi energi,” tulis beliau dalam bukunya Kuliah Syahadat (lihat halaman 130-131).

Dalam kata lain, orang tidak akan mau berjuang, berkorban, apalagi sampai rela merasakan hidup sengsara jika tidak ada visi besar dalam hidupnya.

Kenapa sekarang istilah baper, sakit hati dan galau kerap hadir, karena memang manusia enggan untuk rela berkorban, apalagi sampai mau sengsara.

Padahal, kalau ada iman, diikuti visi dan komitmen mengisi kehidupan dengan kebaikan, sebuah kesengsaraan seperti beliau tegaskan adalah ruang untuk mendapatkan energi positif.

“Bila energi-energi itu dihimpun dalam suatu wadah, maka akan berubah menjadi sinergi. Dari sana akan lahir sebuah revolusi,” lanjut Ustadz Abdullah Said dalam buku Kuliah Syahadat.

Sejak kemarin (5/3/2020) salah seorang kader muda Hidayatullah yang didapuk menjadi Sekretaris Jenderal Pemuda Hidayatullah memulai tahap awal pengorbanan atas amanah besar itu.

Kutangkap betapa berat ia menjalankan semua ini. Tetapi iman, visi, kesadaran, jiwa kekaderan lebih ia kuatkan dibandingkan dengan kenyamanan kekinian.

“Nampaknya hidup sengsara ini sangat perlu pada awal-awal perlangkahan. Ada instrumen ruhaniyah kita yang dapat diaktifkan secara efektif hanya dengan melalui hidup yang serba tidak menyenangkan itu.”

Semua itu jika dibingkai oleh iman dan kesadaran akan menjadi asbab lahirnya etos kerja keras, militansi, dan daya juang.

“Inilah target sampingan yang hanya bisa diperoleh melalui hidup sengsara,”tegas Ustadz Abdullah Said.

Jika demikian, mengapa tidak kita rela melakukan semua ini dengan kesadaran. Toh, dalam bahasa manajemen kekinian, sengsara itu adalah investasi penting untuk menjadi manusia yang bahagia secara seutuhnya. Allahu a’lam.*

IMAM NAWAWI

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Hidayatullah dan Revitalisasi Peran Muballigh dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

PERAN muballigh dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di Indonesia sangatlah penting. Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, muballigh terus menjadi...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img