Oleh Zachary Foster*
SUDAH 5 minggu sejak Human Rights Watch (HRW) melaporkan bahwa ‘Israel’ membuat warga Palestina kelaparan “sebagai senjata perang”; 5 minggu sejak PBB mengatakan lebih dari 1 dari 4 orang di Gaza kelaparan; 5 minggu sejak 1 dari 2 orang di Gaza menghadapi tingkat kerawanan pangan tingkat “Darurat” atau “Bencana”; 5 minggu sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa risiko kelaparan “meningkat setiap hari.”
‘Israel’ membuat lebih dari satu juta warga Palestina kelaparan hingga meninggal. “Semua orang di Gaza kelaparan,” lapor PBB pekan ini. “Jika kondisi seperti ini terus berlangsung,” kata Alex de Waal, Direktur Eksekutif World Peace Foundation, kelaparan akan terjadi di Gaza pada awal bulan Februari.”
Menurut sejumlah kesaksian, masyarakat menggiling pakan kelinci menjadi bubuk untuk membuat roti karena tepung tidak dapat ditemukan. Kini, Al Jazeera memberitakan bahwa pakan ternak pun telah habis. Jangan salah, Gaza berada di ambang kelaparan.
Kelaparan yang terjadi di depan mata kita tidak dimulai 5 minggu yang lalu atau bahkan 3 setengah bulan yang lalu.
Asal mula kelaparan di Gaza saat ini dapat ditelusuri hingga bulan Januari 1991, ketika ‘Israel’ mewajibkan semua warga Palestina di Gaza (dan Tepi Barat) untuk mendapatkan izin memasuki wilayah Palestina yang kini disebut ‘Israel’.
Selama beberapa dekade, pada tahun 1970-an dan 1980-an, ‘Israel’ telah memberikan insentif kepada warga Palestina di Gaza untuk bekerja di ‘Israel’. Idenya adalah mereka akan mendapatkan lebih banyak uang sehingga menerima penjajahan militer yang dikenakan kepada mereka.
Namun, pada akhir tahun 1980-an, penjajahan tersebut menimbulkan kebencian. Tampaknya masyarakat ingin mengungkapkan pendapat terhadap pemerintah yang mengendalikan kehidupan mereka. Keinginan warga Palestina itu ditolak, jadi mereka bangkit pada akhir tahun 1987 yang dikenal dengan Intifadhah.
‘Israel’ membutuhkan strategi baru untuk membungkam warga Palestina. Oleh karena itu, lahirlah rezim izin kerja. Semua warga Palestina di wilayah-wilayah terjajah sekarang perlu mengajukan izin bekerja di ‘Israel’.
Hak universal diubah menjadi hak istimewa yang didambakan. ‘Israel’ mengancam mata pencaharian 40% warga Gaza yang bekerja di ‘Israel’ pada saat itu, kemudian memanfaatkan hak untuk bekerja di ‘Israel’ untuk menundukkan perlawanan Palestina. Perlawanan apa pun terhadap penjajah, termasuk perlawanan tanpa kekerasan, dan aktivitas politik apa pun, akan mendiskualifikasi warga Palestina untuk menerima izin kerja.
Rezim izin kerja gagal meyakinkan warga Palestina untuk menerima penaklukan, jadi ‘Israel’ memberlakukan lebih banyak pembatasan, khususnya, lockdown: militer ‘Israel’ mendirikan penghalang jalan dan pos pemeriksaan masuk dan keluar dari kota-kota dan desa-desa Palestina yang mencegah kebebasan bergerak di dalam atau keluar Gaza selama periode 64 hari pada tahun 1994, 84 hari pada tahun 1995 dan 90 hari pada tahun 1996. Selama periode lockdown total, tingkat kehilangan pekerjaan mencapai angka yang mengejutkan sebesar 70% di Jalur Gaza.
Inilah saat kerawanan pangan pertama kali mencapai tingkat darurat di Gaza. Krisis ini menjadi sangat buruk sehingga Program Pangan Dunia (WFP) meluncurkan operasi darurat pada tahun 1996, yang menargetkan 10.000 keluarga di Jalur Gaza yang kesulitan untuk mendapatkan cukup makanan.
Segalanya membaik pada akhir tahun 1990-an, namun pada awal tahun 2000-an, ketika kekerasan antara ‘Israel’ dan Palestina mencapai tingkat tertinggi hingga saat ini, ‘Israel’ kembali memberlakukan lockdown.
Dengan adanya lockdown, muncullah kehilangan pekerjaan massal, dengan kehilangan pekerjaan massal, muncullah kerawanan pangan. Lockdown pada awal tahun 2000-an menyebabkan tingkat kehilangan pekerjaan sebesar 40% di Jalur Gaza, menyebabkan satu juta warga Palestina mengalami kerawanan pangan.
Sebuah studi pada tahun 2004 menemukan prevalensi malnutrisi dan defisiensi nutrisi di Gaza. Program Pangan Dunia (WFP) kembali meluncurkan “operasi darurat” pada tahun 2002–2004, kali ini tidak hanya membantu puluhan, melainkan ratusan ribu orang yang membutuhkan bantuan pangan darurat.
Situasi di Gaza semakin memburuk, dan kita masih berada di awal tahun 2000-an.
Pada tahun 2005, Perdana Menteri ‘Israel’ Ariel Sharon memutuskan untuk mengencangkan jerat di sekitar Gaza sekali lagi, namun ia menggunakan trik licik untuk membenarkan hal tersebut. Ia menyingkirkan 6.000 pemukim ilegal ‘Israel’ yang tinggal di Gaza, lalu mendeklarasikan “berakhirnya kendali dan tanggung jawab ‘Israel’ atas Jalur Gaza.” Di mata ‘Israel’, apa pun yang terjadi di Gaza setelah September 2005 “bukanlah tanggung jawab mereka.”
Pakar hukum internasional menolak argumen tersebut, karena ‘Israel’ masih menguasai 6 dari 7 perbatasan darat, pencatatan penduduk, rezim perpajakan, air tanah, wilayah udara, perairan pesisir, jaringan telekomunikasi dan listrik, hal-hal yang memberikan ‘Israel’ kekuasaan yang sangat besar atas Gaza. Itu berarti ‘Israel’ masih menjadi kekuatan penjajahan di Gaza menurut sebagian besar pakar hukum internasional.
Kemudian, pada bulan Januari 2006, Hamas memenangkan pemilu demokratis yang bebas dan adil. Enam bulan kemudian, mereka menangkap seorang serdadu ‘Israel’, Gilad Shalit. ‘Israel’ menerapkan lockdown yang paling parah hingga saat ini. Pelintasan Rafah ditutup selama 148 hari pada tahun 2006 sehingga mendorong tingkat kehilangan pekerjaan kembali sebesar 40%. PDB per kapita turun sebesar 30% dalam satu tahun.
Setelah Hamas memenangkan pemilu tahun 2006, Amerika Serikat dan ‘Israel’ mendanai dan mendukung saingan Hamas, Fatah, meskipun mereka kalah dalam pemilu. Hal ini memicu perang saudara, di mana Hamas mengambil alih Gaza pada bulan Juni 2007.
Militer ‘Israel’ sekali lagi mengencangkan jeratnya di sekitar Gaza untuk menghukum rakyat Gaza karena telah memilih Hamas. Grafik berikut menunjukkan jumlah orang yang keluar dari Gaza dari tahun 2000 hingga 2022:
Dalam setahun, Federasi Industri Palestina memperkirakan bahwa 98% bisnis terpaksa tutup. Tidak termasuk pengiriman uang ke luar negeri dan bantuan makanan, tingkat kemiskinan di Gaza dengan cepat meningkat menjadi 79%, sedangkan 66% berada dalam “kemiskinan parah”.
“Diet”
Pada akhir tahun 2000-an, ‘Israel’ ingin membuat rakyat Gaza menderita, namun tidak kelaparan. Pada saat itu, para pemimpin ‘Israel’ tidak berpikir dunia akan membiarkan kematian akibat kelaparan terjadi di Gaza. (Ternyata mereka salah tentang hal itu.)
Oleh karena itu, untuk memastikan tidak terjadi kelaparan, Kementerian Kesehatan ‘Israel’ mulai menghitung kebutuhan kalori penduduk Gaza, dan hanya mengizinkan makanan sebanyak itu masuk. Dov Weisglass, penasihat mantan Perdana Menteri Ehud Olmert, menyimpulkan kebijakan ‘Israel’ seperti ini: “Idenya adalah untuk membuat orang-orang Palestina melakukan diet, namun tidak membuat mereka mati kelaparan.”
Pada tahun 2023, penduduk Gaza telah menjalani “diet” selama 16 tahun, dan berada di ambang kehancuran. Laporan PBB tahun 2022 menemukan bahwa 76% rumah tangga khawatir tidak memiliki cukup makanan; 54% warga Gaza harus meminjam uang untuk membeli makanan; 52% harus mengurangi biaya kesehatan dan 46% harus mengurangi atau menghentikan pembayaran utilitas, seperti listrik demi menyediakan makanan yang cukup. Sementara itu, rumah tangga menghabiskan rata-rata 56% uangnya untuk makanan.
Begitulah keadaan Gaza jauh sebelum 7 Oktober. Penduduk yang terkepung sangat bergantung pada bantuan pangan untuk bertahan hidup.
Setelah hampir empat bulan melakukan perang genosida di Gaza, ‘Israel’ telah memberlakukan lockdown paling parah hingga saat ini, mencegah makanan apa pun masuk ke Gaza selama hampir sebulan, dan sejak itu hanya sebagian kecil dari kebutuhan pangan Gaza.
Pada saat artikel ini ditulis, diperkirakan 95% orang yang kelaparan di dunia kini berada di Gaza.[]
*) Zachary Foster, penulis adalah sejarawan Palestina. Artikel ini dikutip dari Palestine Beehiiv yang diterjemahkan oleh Sahabat Al Aqsha