UNSUR dalam diri manusia ada dua yaitu jasmani dan ruhani. Keduanya adalah potensi yang diberikan oleh Allah untuk manusia dalam rangka mengabdi kepada-Nya.
Jasmani dan ruhani ini juga sebagai dua unsur yang tidak bisa dipisahkan. Tidak bisa dinamakan manusia kalau tidak memiliki ruhani dan begitu sebaliknya.
Kedua unsur tersebut memiliki kebutuhan dan pekerjaan yang berbeda. Kebutuhan jasmani adalah makanan dan minuman yang bergizi untuk memberikan energi atau kekuatan. Jika tidak dipenuhi maka akan kelaparan, muncul penyakit maag dan tidak mampu beraktifitas.
Jenis makanan jasmani harus halal dan baik bagi kesehatan. Artinya, ada batasan, yang tujuan dari pembatasan itu adalah untuk kebaikan dan keselamatan manusia sendiri.
Adapun pekerjaan jasmani adalah melakukan aktifitas-aktifitas lahiriyah untuk menjadi khalifatullah. Jasmani ini yang bekerja dengan tangan, kaki, pikiran, badan dalam bingkai kerja-kerja dakwah, tarbiyah dan amal shaleh yang lain.
Kemudian unsur kedua adalah ruhani yang berpusat pada hati yang memiliki kebutuhan spritual dengan ibadah, berdzikir, membaca al-Qur’an dan amalan-amalan yang lain.
Kebutuhan ini sebenarnya fitrah yang dimiliki oleh semua orang tapi tidak semua orang bisa merasakan kelaparan ruhani ketika hatinya terlanjur tertutup atau terkotori oleh dosa-dosa. Namun akibat yang ditimbulkan dari ruhani yang kelaparan adalah karakter emosional, temperamental dan mudah melakukan kemaksiatan.
Selanjutnya masalah pekerjaan hati adalah ikhlas yang terwujud dengan sikap sabar dan syukur. Hati yang ikhlas adalah penentuan pekerjaan jasmani dan ruhani itu bernilai di hadapan Allah.
Pekerjaan-pekerjaan jasmani sejatinya hanya berbuah kelelahan dan mungkin sedikit sekali kekayaan -dibandingkan kekayaan Allah Ta’ala- kalau tidak ada keikhlasan di dalamnya.
Ketika hati tidak ikhlas berarti ada perselingkuhan hati kepada selain Allah. Itu artinya syirik. Entah karena ingin dipuji (riya’), untuk kepentingan duniawi atau kesyirikan yang nyata.
Sehingga, pekerjaan ruhani berupa amal ibadah dan amal shaleh akan menjadi bumerang yang tidak berbuah pahala tapi kemurkaan dari Allah karena adanya kesyirikan tersebut.
Ikhlas adalah pekerjaan paling berat bagi hati. Sehingga pantas hanya orang ikhlas saja yang tidak bisa diganggu oleh setan laknatullah. Jangankan menggoda, untuk mendekat saja, setan tidak berani kepada orang-orang yang ikhlas.
Namun, di lain pihak, hati ini juga memerlukan apresiasi atau bahasa umumnya motivasi dalam bentuk pujian. Apresiasi bisa menjadi penyemangat untuk melakukan sebuah amal dalam rangka meningkatkan kinerja.
Penulis cukup tersentak, ketika ada beberapa teman yang sudah merasa telah bekerja keras dan begitu yang penulis perhatikan. Tapi tiba-tiba muncul sebuah pernyataan, yang sengaja atau tidak, mengatakan seolah-olah mereka tidak ada kontribusi dan tidak bekerja. Plus, ditambah lagi dibandingkan dengan beberapa teman yang selalu mendapat apresiasi padahal belum banyak juga yang dikerja.
Mereka down dan tidak bersemangat untuk bekerja lagi. Sebenarnya sikap seperti itu juga kekanak-kanakan. Tetapi sikap orang yang tidak menghargai pekerjaan orang lain meski hanya sebuah apresiasi juga bukan sikap orang yang dewasa.
Penulis kemudian jadi termenung, di mana sebenarnya titik temu antara ikhlas dan apresiasi. Orang ikhlas memang tidak memerlukan apresiasi dari siapapun selain dari Allah Subhanahu wata’ala. Apresiasi dari Allah melebihi apapun bentuk apresiasi. Meskipun tidak langsung dirasakan dan tidak kelihatan wujudnya, tetapi apresiasi itu nyata dan pasti adanya.
Namun, secara manusiawi untuk orang-orang awam atau pemula yang memerlukan motivasi, maka apresiasi adalah jembatan menuju keikhlasan.
Anak-anak dan para santri, untuk bisa memotivasi diri tanpa apresiasi dari orang lain adalah pekerjaan yang berat.
Bukankah para psikolog mengajarkan untuk sering mengapresiasi para anak dengan pujian positif agar terangsang potensi positifnya. Wallahu a’lam bish shawwab.
________________
*ABDUL GHOFAR HADI, penulis adalah dosen STIS Hidayatullah Balikpapan dan penulis buku.