Hati ibarat seorang sopir pada sebuah kendaraan. Tentunya sopir yang baik haruslah mempunyai kapasitas yang layak agar mampu membawa sebuah kendaraan berikut para penumpangnya selamat hingga mencapai suatu di tujuan. Ia tahu bagaimana harus menggunakan rem, bagaimana menggunakan kopling, menggunakan spion, dan semua accesoris kendaraan.
Bahkan ia mampu mengukur berapa besarnya pijakan yang dibutuhkan pada pedal gas agar mencapai suatu tujuan dengan waktu yang telah ditetapkan. Selain itu sopir yang baik mustinya mempunyai pengetahuan yang lengkap bagaimana mengemudi dengan baik berdasarkan aturan – aturan berkendara yang berlaku.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap rambu – rambu dalam berkendara itu dibuat untuk memberikan jaminan rasa aman dan keselamatan bagi para pengguna jalan agar bisa mencapai tujuan perjalanannya dengan selamat dan gembira. Apa jadinya apabila seorang sopir tidak memahami hal tersebut? Tentulah kendaraan yang ia kemudikan akan banyak mengalami kendala bahkan hancur sebelum beranjak dari tempatnya start. Andaipun mampu bergerak menuju tujuan, bisa ditebak bahwa perjalanan yang ia lakukan akan mengalami banyak hambatan atau bisa jadi mengalami musibah yang besar sehingga menjadikan kendaraan beserta penumpangnya tidak selamat sampai di tujuan.
Sekolah ibaratnya adalah kendaraan, sementara Kepala Sekolah dan para Guru atau Karyawannya adalah kru dari kendaraan tersebut. Kurikulum adalah rambu – rambunya, sedangkan visi dan misi sekolah adalah tujuan yang hendak dituju oleh kendaraan tersebut. Para penumpangnya adalah para siswanya dan juga orangtua siswa maupun lingkungan.
Maka hal pertama yang harusnya menjadi perhatian sebelum seseorang bepergian adalah menentukan arah dan tujuan kemana ia hendak pergi. Demikian halnya bagi setiap orang tua mustinya sudah faham betul arah atau tujuan pendidikan bagi putra putrinya. Tidaklah mungkin tujuan itu sekedar atau ‘pokoke’ sekolah, seperti dalam ungkapan “kemana kaki melangkah, kesana arah dituju”.
Sebenarnya apa sih yang diinginkan oleh orang tua terhadap pendidikan anaknya? Mau ia jadikan apa si anak dan mau dibody seperti apa anaknya tersebut dengan pendidikan yang ia pilih itu. Dan yang paling penting adalah apa harapan tertinggi yang diinginkan oleh orang tua terhadap anaknya tersebut? Bahkan kalau perlu (dan ini harus) adalah harapan orangtua ketika dia telah pergi meninggalkan dunia ini.
Apabila telah jelas kemana tujuannya, maka selanjutnya ia harus bisa memilih kira – kira kendaraan apa dan dengan spesifikasi bagaimana yang bisa atau memenuhi criteria yang dapat digunakan agar bisa sampai pada tujuan yang hendak dituju.
Saat ini jumlah sekolah sangatlah banyak. Masing – masing menawarkan kelebihan – kelebihannya, baik berupa deretan presatsi akademik hingga fasilitas fisik dan non fisik. Bahkan ada beberapa sekolah menawarkan sekolahnya dengan standart fasilitas ‘menyerupai’ hotel berbintang. Maka disinilah pergeseran orientasi kemudian terjadi. Sekolah / bersekolah adalah menjadi sesuatu yang bertarif atau bertaraf. Mulai dari tarif ekonomi dengan level taraf ‘ndeso’ sampai yang bertarif eksekutif dengan level bertaraf Internasional.
Dan salah satu yang menyebabkan pembelokan atau bahkan kerusakan orientasi pendidikan adalah hal – hal tersebut diatas. Dengan bahasa yang dipermudah, maka akan kita dapat simpulkan dengan pernyataan seperti ini : “ Kalau anak anda sekolah di tempat kami, maka akan mendapatkan pelayanan begini, begini dan begini. Tapi untuk dapatkan fasilitas itu ‘maaf’ biayanya segini …… “. Itu adalah bahasa dari pengelola / penyelenggara sekolah. Lain lagi wali muridnya, mereka akan mengatakan : “ Saya mampu bayar berapa saja, asal anak saya … bla bla bla … dan mendapat … bla bla bla …. “.
Sebaliknya, bagi sekolah yang bertarif ekonomi dan bertaraf ‘ndeso’ akan semakin jatuh tersungkur. Sebab sekolah ini akan berfikir ‘apa adanya’ tanpa greget dan terkesan menyerah dengan keadaan. Dimulai dengan permakluman – permakluman kecil; maklum sekolah ndeso, maklum sekolah urip – uripan, daripada tidak sekolah, dan lain – lain, maka kemudian akan terjadi sebuah pembenaran dan yang lebih akut lagi phobia atau semacam alergi dengan sesuatu yang bersifat inovasi.
Fenomena di atas jika dibiarkan berlarut – larut, maka akan menjadikan lembaga pendidikan menjadi lembaga bisnis oriented, terkotak – kotak dan saling menjaga bahkan menciptakan gap antara sekolah satu dengan lainnya, antara masyarakat satu dengan lainnya, antara tujuan satu dengan tujuan lainnya.
Lalu dimanakah sekolah yang diharapkan itu? Seperti apa modelnya? Dimana keberadaannya? Berapa biayanya? Siapa saja yang boleh sekolah di sana?
Di tengah begitu gemerlapnya panggung kemewahan dunia yang diciptakan oleh perkembangan teknologi dan budaya, sungguh bukan sesuatu yang mudah untuk mendapatkan sekolah yang mampu memberikan solusi penawar racun dan penyakit dunia lainnya. Kalau tidak boleh dikatakan ‘mustahil’ maka adalah seperti mencari jarum ditumpukan jerami gambaran mencari sekolah yang benar – benar mampu memberikan harapan dan masih punya komitmen pendidikan yang lurus yang membela terhadap kepentingan peserta didik.
Meskipun demikian, sebenarnya tidak begitu sulit mewujudkan sekolah yang diharapkan itu. Sebab, Allah SWT melalui Rosulnya Muhammad SAW telah menunjukakan sebuah sekolah yang sempurna, dengan guru / pendidik yang sempurna, kurikulum yang sempurna, visi dan misi yang sempurna, dan sejarah mencatat para alumni sekolah / madrasah itu adalah para alumni yang sempurna pula.
Sekolah itu adalah Sekolah Islam. Guru – gurunya adalah mereka yang senantiasa mengabdi dengan selalu itba’ nabi, kurikulum yang digunakan adalah bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah, Visi dan misinya adalah menuju ketauhidan dan menyiapkan manusia taat kepada Allah dan RosulNya dengan senantiasa hidup dengan selalu mengharap keridhaan rabbnya.
Ia boleh saja didirikan di kota, di desa, di pinggir pantai, atau di puncak gunung, maupun di dasar laut. Asal criteria – criteria diatas menjadi pijakan, maka ia pantas menjadi pilihan. Sekolah itu hadir untuk alam semesta, kehadirannya adalah rahmatan lil ‘alamin. Disana berkumpul bersama antara si kaya dan si papa, antara rakyat dan pejabat, antara hitam dengan yang putih, dan sebagainya. Ia tidak mengenal berapa besarnya biaya untuk menyelenggarakannya, sebab biaya sepenuhnya berasal dari Allah SWT melalui para aghniya pilihanNYA, melalui para Muzakki dan munfiqin panggilanNYA.
Sekolah ini menjadikan hidup ini sebagai butir – butir soal yang diambil dari setiap detail kehidupan, kemudian dikerjakan dengan mencari jawaban pada Al Qur’an dan sunnah – sunnah yang berlaku atasnya. Para siswa tidak dijauhkan dari jawaban sebenarnya dengan ’dikondisikan‘ mengikuti pendapat dan rujukan yang bersal dari akal pikran maupun persangkaan manusia belaka, akan tetapi jawabannya senantiasa disandarkan pada kebesaran dan kekuasaan rabbnya dan apa yang menjadi takdirNYA. Setiap materi yang diajarkan menghunjam dalam dilubuk hati peserta didiknya, yang kemudian membuka pintu hidayah dan mencabut akar – akar kemusyrikan dan kekufuran padaNya dan RosulNya. Maka kemudian yang terjadi adalah lahirnya para alumni – alumni pendidikan tauhid yang cerdas dan selamat karenanya.
Bagaimanakah pendidikan saat ini, bukankah banyak sekolah Islam telah berdiri dengan kurikulum diniyyah yang lengkap dipadu dengan berbagai macam methode pembelajaran modern?
Fenomena banyak munculnya sekolah – sekolah Islam saat ini, dengan berbagai macam tawaran ‘plus’ didalamnya memang patut disyukuri. Namun hendaknya mata dan hati haruslah padu dalam melihat kemudian bersikap padanya. Masih dengan jelas tampak di mata bahwa kehadiran sekolah – sekolah itu pada awalnya menumbuhkan harapan baru yang menyejukkan. Mulai dari penampilan yang cukup meyakinkan dan dipadu dengan performance yang cukup mengesankan, sekolah – sekolah itu berdiri menawarkan sebuah model sekolah pilihan.
Maka berbondong – bondonglah masyarakat (khususnya masyarakat muslim dari kalangan menengah ke atas) datang memberikan simpati dan kepercayaan padanya. Mulai dari menyekolahkan anaknya di sana hingga turut serta memberikan fasilitas pendidikan atasnya. Namun kemudian justru inilah yang menjadi sebuah tantangan atau ujian yang akhirnya menjatuhkan mental dan kelurusan niat para pelaku atau penyelenggaranya. Satu persatu mereka gugur dan roboh diterjang badai materi dan tuntutan nafsi – nafsi para pemilihnya.
Terlebih lagi ternyata, banyak dijumpai bahwa salah satu komponen terpenting dari sebuah penyelenggaraan sekolah, yaitu kurikulum-nya tidaklah dirancang dan diambil dari sumber utamanya yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Sebaliknya kurikulum yang dipakai hanya sekedar dipadukan atau dikumpulkan jamnya atau sekedar nama pelajarannya dengan warna – warna Islam yang masih sebatas slogan. Yang lebih mengerikan lagi adalah Al Qur’an dan Sunnah baru dipakai sebagai pembenaran saja apabila dibutuhkan atau dimintakan sebuah pembelaan. Isi dan muatannya serta segala hal yang menyangkut esensinya tidak disampaikan dengan alasan “sudah tidak sesuai tuntutan jaman“ atau kalah dengan ”menurut pakar ini ….. Prof. Dr. …… MM. MBA. Phd“.
Belum lagi kalau bicara methode – methode pembelajaran, maka larislah methode – methode hasil olah akal manusia yang kemudian dijadikan pilihan dalam pembelajaran. Sulit memang kalau ingin menghindar dari hal tersebut, sebab dari presentasinya yang begitu memukau menjadi hal yang wajar kalau kemudian para pelaku pendidikan tertarik dan tergila – gila mengagumi dan mengikutinya. Namun pertanyaannya, Apakah Islam tidak mengajarkan sebuah methode pendidikan untuk ummatnya?
Jawabannya adalah Islam memiliki methode yang lebih baik dan telah terbukti hasilnya dengan sempurna. Mana referensinya? Tidakkah cukup seorang alumni pendidikan Islam dengan methode ilahiyyah yang bernama MUHAMMAD bin Abdullah bin Abdul Muthallib menjadi bukti kehebatan methode Islam itu? Lalu hadir berikutnya Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Abdurrahman bin Auf, Khadijah binti Khuwailid, Fathimah az Zahra, Aisyah binti Abu Bakar, Asma binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar bin Khattab, dan seterusnya. Ada Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, dan seterusnya. Kemudian ada Ibnu Taimiyyah, Ibnu Farabi, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, dan juga seterusnya.
Adakah yang cacat dari mereka sebagai the real produk pendidikan Islam itu? Lalu apa kunci keberhasilan pendidikan mereka? Tidak lain adalah karena mereka dididik dengan pendidikan berbasis TAUHID. Wallahu a’lam bish showab. *Abu Fina (Kepsek SD Integral Hidayatullah Ngawi)