Oleh Asih Subagyo
USIA 50 tahun bagi sebuah gerakan Islam (ormas/harakah) dalam konteks Indonesia, bisa dibilang masih muda, meskipun juga ada yang menganggap telah dewasa. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat.
Jika dikelompokkan berdasarkan periodesasi sejarah bangsa ini, maka setidaknya ormas Islam di Indonesia di bagi dalam 4 (empat) tahapan, yaitu: lahir pra-kemerdekaan, lahir paska kemerdekaan (Orde Lama), lahir masa Orde Baru, dan lahir di Era Reformas dan sesudahnya.
Sehingga, jika menilik katagorisasi ini, maka Hidayatullah yang lahir pada 1 Muharam 1393 H atau bertepatan dengan 5 Pebruari 1973 itu, merupakan ormas yang lahir di awal Orde Baru.
Mantan Wapres RI, M Jusuf Kalla, dalam beberapa kesempatan selalu mengulang pernyataannya bahwa Hidayatullah merupakan ormas Islam di Indonesia yang tercepat pertumbuhannya. Beliau juga menyampaikan bahwa, Hidayatullah selalu hadir di tempat-tempat yang terpencil, terisolir dan tertinggal.
Pernyataan tersebut, bukan hanya pemanis bibir. Akan tetapi, menjadi terkonfirmasi, jika melihat sebaran jaringan Hidayatullah, hingga saat ini di 34 Propinsi, 374 Kabupaten/Kota, 310 Sekolah, 620 Pesantren dlsb. Sehingga, dari data-data tersebut menunjukkan bahwa sebagai organisasi,Hidayatullah senantiasa tumbuh dan berkembang. Tidak jumud maupun stagnan.
Fakta tersebut, sekaligus menjawab dan menggugurkan analisa beberapa pihak yang memprediksi dengan bermacam argumen, bahwa Hidayatullah akan mati, bersamaan dengan meninggalnya pendirinya. Akan tetapi kenyataan membuktikan lain. Bahwa pascawafatnya muassis Hidayatullah, Allahuyarmam KH. Abdullah Said tahun 1998, ternyata Hidayatullah terus bertumbuh dan semakin ekspansif.
Hal ini menegaskan dan membuktikan bahwa, nilai-nilai dan khiththah perjuangan, berhasil beliau tanamkan dengan sangat baik, kepada kader-kader terbaiknya, di semua lini. Sehingga mampu mengkonsolidasikan jama’ah menjadi sebuah organisasi yang solid.
Kader adalah Kunci
Sebagai organisasi masa yang berbasis kader, sebagaimana ditegaskan dalam Pedoman Dasar Organisasi (PDO), maka inti dari kekuatan dari Hidayatullah itu sesungguhnya terletak pada kader-kadernya. Sejak awal lembaga ini berdiri, maka kader-kader Hidayatullah merupakan mujahid dakwah yang siap disebar dan ditebar ke berbagai penjuru mata-angin.
Dengan semboyan sami’na wa atho’na, tanpa tapi tanpa nanti. Mereka adalah para du’at yang siap mengemban risalah dakwah dimanapun berada. Meski dengan modal keilmuan yang terbatas dan bekal yang sangat minim. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mampu melahirkan kader militan seperti itu?
Jawabnya adalah terletak pada perkaderannya. Dalam proses perkaderan, maka peran pengkader menjadi lebih dominan dibanding materi dan metode perkaderan itu sendiri.
Murabbi, merupakan sosok yang memberikan tauladan, yang bisa dilihat dan dicontoh oleh mad’u-nya. Sehingga transfer of value dalam hal ini, sesungguhnya lebih dominan dibanding transfer of knowledge.
Penanaman akidah yang kemudian menjadi dasar bagi kader untuk berkarya, dipadukan dengan bekal ruhiyah, melalui riyadhah dengan melakukan ibadah mahdhoh dan ghairu mahdhoh yang intens langsung dibimbing, dicontohkan dan dikontrol oleh masing-masing murabbi. Dan inilah, sebenarnya menjadi substansi dari perkaderan itu. Celupan (sibghah) dari murabbi sebagai pengkader, langsung dipraktekkan dalam keseharian kehidupan dan aktifitas kader.
Organisasi dan Kepemimpinan
Hal lain yang tidak kalah penting adalah, bagaimana Hidayatullah mampu mengkonsolidasikan diri dalam sebuah organisasi modern tetapi tanpa meninggalkan turats. Meskipun secara struktur mengalami perubahan, namun tidak merubah substansinya.
Dari sini, kearifan dan kebijaksanaan kader-kader senior dalam membimbing kader-kader yang lebih muda, memiliki peranan penting dalam menyusun bangunan organisasi yang sesuai dengan jamannya. Sehingga mampu melahirkan sebuah organisasi yang lincah disatu sisi, disisi lain adalah dengan adanya struktur ini, menjadikan kepemimpinan dalam organisasi itu sendiri menjadi lebih efektif dan efisien.
Selanjutnya hasil dari proses perkaderan sebagaimana diuraikan di atas, adalah melahirkan kader-kader yang ta’at, berkarakter, berintegritas dan berkomitmen dalam dakwah Islam. Sehingga dengan mudah para kader tersebut beradaptasi dengan struktur organisasi dimanapun ditugaskan.
Juga termasuk amanah di amal usaha dan badan usaha Hidayatullah. Dengan demikian maka program-program Hidayatullah dapat dieksekusi dengan efektif dan efisien. Dan inilah yang menjadikan Hidayatullah tetap eksis hingga kini.
Tantangan ke Depan
Pencapaian setengah abad pertama Hidayatullah tersebut di atas merupakan manivestasi dari implementasi visi dan misi organisasi. Sudah barang tentu patut disyukuri. Dan masih banyak yang harus ditingkatkan dan diperbaiki.
Akan tetapi, tantangan kedepan merupakan sebuah keniscayaan. Sehingga ke depan, organisasi dituntut untuk tidak hanya sekedar mampu merespons dinamika keummatan, akan tetapi mampu menjawab dan memberi solusi problematika keummatan itu sendiri.
Olehnya, kedepan organisasi dituntut untuk melahirkan dan menciptakan kader-kader yang mampu menjawab tantangan jaman tersebut. “Mesin-mesin” perkaderan ini mesti dibangun dengan berbagai model, untuk mencetak dan melahirkan kader-kader sebagaimana yang diinginkan tersebut. Selanjutnya Organisasi mengkonsolidasikan, menjadi kekuatan umat.
Sudah barang tentu hal ini bukan perkara mudah. Akan tetapi dengan semakin tumbuhya organisasi, ternyata berbanding lurus dengan peningkatan kuantitas dan kualitas kader. Disinilah diperlukan kejelian untuk memilih dan memilah serta menangkap peluang ini, agar organisasi terus bertumbuh dan sustain.
Dengan demikian, tema setengah abad Hidayatullah: Bersama Umat Membangun Bangsa Bermatabat akan terwujud. Dan ini akan menginspirasi pada peringatan seabad kelak, dengan tema menjadi : Bersama Umat Membagun Dunia Bermartabat. Wallahu a’lam.*
*Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi DPP Hidayatullah. Artikel ini sebelumnya telah tayang di Hidayatullah dot com