AdvertisementAdvertisement

Sistematika Wahyu sebagai Metodologi Berislam dan Mengajarkan Islam

Content Partner

DALAM mempelajari sesuatu, kita mengenal istilah metode atau bahasa sederhananya adalah cara. Terdapat berbagai macam metode atau cara, misalnya, untuk belajar membaca Al Qur’an, ada metode Tilawati, Qiroati, dan Al Hidayah.

Secara terminologi, metode sendiri merupakan merupakan ilmu-ilmu/cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji.

Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis method dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sehingga dapat dipahami bahwa metode adalah cara yang diyakini dan ditempuh oleh seseorang untuk mempelajari sebuah kebenaran atau ilmu pengetahuan tertentu.

Untuk menentukan sebuah metode yang tepat dalam mencapai sebuah kebenaran, maka diperlukan analisa mendalam tentang proses untuk mengungkap kebenaran tersebut yang berlandaskan pada best experience (pengalaman terbaik) orang orang yang telah melakukannya.

Pembelajaran Bahasa Arab menggunakan metode tikror dan tadrib (pengulangan dan pengayaan), misalnya, merupakan pendekatan yang dilakukan berdasarkan pengalaman para pengajar Bahasa Arab di Pondok Modern Gontor yang telah berhasil menciptakan sistem pembelajaran Bahasa Arab yang nyaris anti gagal.

Dengan metode ini, Pondok Modern Gontor berhasil melahirkan santriwan dan santriwati yang mahir dalam berbahasa Arab baik lisan maupun tulisan.

Metode ini kemudian digunakan khususnya di banyak pesantren mengacu pada keberhasilan Pondok Modern Gontor dalam mengajarkan Bahasa Arab.

Inilah urgensinya menentukan metode yang tepat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan atau mencapai sebuah kebenaran dengan belajar pada best experience.

Sistematika Wahyu sebagai Metode Berislam (Tarbiyah)

Bagaimana kaitannya dengan cara (baca; metode) seseorang untuk menemukan kebenaran akan tuhannya yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala? Tentu analisa yang terbaik adalah dengan mengkaji dan mempelajari bagaimana manusia terbaik, yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Muhammad diantar oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk melalui tahapan demi tahapan dalam mentarbiyah diri beliau, hingga berhasil menjadi sosok insan kamil dengan bimbingan Allah Ta’ala.

Sosok Rasulullah bukanlah orang yang dilahirkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang mengenal Allah sebagai Tuhan. Bahkan nyaris lebih dari separuh kehidupan beliau dilalui dalam satu tatanan masyarakat yang jahiliyyah dan jauh dari nilai nilai peradaban Islam.

Tetapi, karena kegelisahan yang terus menerus muncul dalam gejolak batinnya yang berlawanan dengan sistem yang dianut Bangsa Arab pada saat itu, dan hasil kontemplasi beliau di sebuah gua yang jauh dari keramaian, hingga Allah memberikan karunia terbesar kepada beliau berupa mukjizat Al Qur’an. Kekuatan Wahyu ini kemudian menjadi starting point terbangunnya pondasi peradaban Islam yaitu kalimat Tauhid, Laa Ilaaha Illallaah.

Pada saat di gua Hira tersebut, Allah Ta’ala tidak menurunkan Al-Qur’an secara utuh kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi secara bertahap dengan surah Al-Alaq ayat 1 sampai 5 sebagai ayat ayat pertama yang mengungkap kekuasaan Allah dan membuka tabir seorang hamba bernama Muhammad bahwa tidak ada dzat yang maha kuasa selain Allah.

Terlepas dari terdapatnya pendapat bahwa ayat yang pertama kali turun adalah surat Al Muddatssir dan surat Al Fatihah, akan tetapi jumhur ulama meyakini bahwa Al ‘Alaq ayat 1 sampai 5 merupakan surat yang pertama kali diturunkan Allah kepada Muhammad melalui malalikat Jibril (Uin et al., 2020).

Dengan kekuatan Al ‘Alaq inilah, Nabi Muhammad SAW mentarbiyah dirinya menjadi figur manusia terbaik yang sangat dekat dan bergantung kepada Allah. Al ‘Alaq ayat 1 sampai 5 merupakan sebuah epistimologis dalam mengenal Allah, yaitu proses mempelajari dan menggali kebenaran dengan paradigma “bismirobbikalladzii kholaqa”.

Dan, selama 23 tahun perjalanan hidup Rasulullah berikutnya dilalui dengan kisah kisah yang sarat dengan nilai ketauhidan sebagai sebuah gambaran akan keberhasilan menanamkan keyakinan “Laa ilaaha illallahu” bahwa tidak ada yang Maha Kuasa selain Allah.

Keislaman sosok manusia terbaik ini semakin paripurna dengan peragaan ayat ayat yang turun berikutnya yaitu surah Al Qolam, Al Muzzammil, Al Muddatssir, dan Al Fatihah (Thalib, 1971) sebagai sebuah framework berislam.

Turunnya ayat ayat Al Qur’an ini menjadi pelengkap dari sebuah epistimologi mengenal Allah melalui Al ‘Alaq, dengan memegang teguh panduan hidup berqur’an (Al Qolam), senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah wajib dan nawafil sebagai bukti kecintaan dan ketundukan kepada Sang Maha Pencipta (Al Muzzammil).

Berikutnya, terpanggil untuk mengajak umat dalam berbagai lapisan, dimulai dari keluarga terdekat, tetangga, hingga komunitas masyarakat untuk hidup berislam (Al Muddatssir), hingga mewujudkan tatanan masyarakat dengan sistem nilai berperadaban Islam (Al Fatihah).

Inilah lima surah yang menjadi fondasi memproses seorang hamba menjadi seorang abdullah sekaligus menjadi khalifatullah sebagaimana tujuan dan fungsi penciptaan manusia.

Adapun ayat ayat lain selain 5 surat di atas merupakan ayat ayat yang berafiliasi dengan hal hal yang mengandung perintah dan ajaran tauhid, pedoman hidup (qur’an), ibadah, seruan mengajak kepada kebaikan (dakwah), dan sistem sosial kehidupan termasuk syariah dan muamalah (peradaban).

Sehingga, framework lima surah pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW merupakan sebuah konsep tarbiyah yang bukan hanya berlaku untuk beliau tetapi juga dapat diterapkan pada diri semua pribadi muslim.

Hidayatullah sebagai sebuah lembaga tarbiyah sejak zaman pendirinya allahuyarham KH Abdullah Said sekaligus founder Sistematika Wahyu, secara konsisten melakukan gerakaan tarbiyah berlandaskan pada manhaj Sistematika Wahyu ini.

Seluruh santri, guru, dan warganya ditanamkan fondasi Tauhid yang kuat kepada Allah agar tumbuh kesadaran dan ketergantungan yang kuat hanya kepada Allah.

Berbagai kegiatan dikemas untuk menunjukkan sisi kelemahan seorang hamba agar lahir sebuah deklarasi meminta bantuan dan pertolongan hanya kepada Allah.

Secara sistematis kegiatan ini direkayasa dalam kegiatan yang disebut dengan istilah pra wahyu, dimana setiap orang dikondisikan untuk merasakan fase keyatiman, menggembala, berdagang, bergua hira, hingga berkhadijah sebagai metode tarbiyah yang menapaktilasi perjalanan Rasulullah hingga mendapatkan wahyu dari Allah.

Setelah tumbuh kesadaran dan semakin menancap keyakinannya kepada Allah, aktivitas tarbiyah berikutnya diisi dengan tahapan tahapan yang telah dipaparkan sebelumnya pada framewok berislam dengan manhaj Sistematika Wahyu ini.

Hasilnya, dapat dilihat pada diri santri santri Hidayatullah, khususnya assabiqunal awwaluun serta murid murid langsung allahuyarham KH Abdullah Said yang tersebar di pelosok nusantara, yang memperagakan hidup bertauhid dengan penuh kesungguhan.

Sistematika Wahyu sebagai Metode Menyebarkan Islam (Dakwah)

Selain sebagai sebuah panduan berislam yang diungkap oleh KH Abdullah Said, Sistematika Wahyu juga merupakan framework penting dalam menyebarkan ajaran Islam. Sistematika Wahyu yang dimulai dengan pengenalan terhadap Tauhid (laa ilaaha illaalaahu) merupakan metode berdakwah yang sistematis dan memiliki impact berkelanjutan.

Hal ini selaras dengan pernyataan para Rasul yang diutus oleh Allah bahwa misi utama mereka dalam berdakwah adalah untuk mengajak ummat agar menyembah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan satu dzat pun di alam semesta ini (Q.S. An Nahl: 36).

Hal ini juga menegaskan bahwa Sistematika Wahyu dengan Al ‘Alaq (1-5) sebagai ayat yang pertama turun merupakan konsep yang sangat krusial untuk menjadi pedoman berdakwah bagi umat Islam. Bahwa hal pertama dan utama yang digunakan untuk mengajak manusia tertarik dengan Islam adalah mengenalkan mereka akan kekuasaan Allah.

Maka, wajar kalau kemudian setiap Nabi menyampaikan redaksi kalimat yang sama kepada umatnya, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia” (Q.S. Al A’raaf: 59, 65, 73, 85), sebagai sebuah isyarat bahwa misi utama mereka adalah mengajak umatnya untuk tunduk dan taat hanya kepada Allah.

Fenomena umat manusia yang cenderung hidup dalam kemewahan materi dan mengejar status sosial di masyarakat, faktor utamanya disebabkan karena mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar benarnya.

Diantara manusia yang tenggelam dalam hedonisme (cinta dunia) dan materialisme (cinta harta), adalah dari kalangan umat Islam sendiri, yang, sayangnya, belum mengaktualisasikan ajaran Islam dalam kehidupannya.

Disinilah panduan berdakwah dengan manhaj Sistematika Wahyu diperlukan, karena tahapan tahapan yang disajikan sebagai sebuah metode dakwah mengikuti pola dakwah yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW.

Tepat setelah nabi Muhammad menerima wahyu pertama beliau mengajak istrinya, Khadijah RA, untuk mengucapkan kalimat syahadat sebagai sebuah deklarasi ketundukan kepada Allah. Setelah itu berturut turut beliau mendakwahi Zaid bin Haritsah, Ali Bin Abu Thalib dan Abu Bakar sebagai golongan pertama yang memeluk Islam.

Setelah muncul kesadaran bertauhid, maka umat kemudian diajak untuk menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman utama dalam kehidupan ini. Tanpa kesadaran bertauhid, tentu akan sangat sulit bagi seorang manusia untuk menjadikan Qur’an sebagai rujukan kehidupan pada saat terdapat tawaran panduan hidup yang meninabobokan mereka dengan kecanduan terhadap kesenangan kesenangan dunia.

Inilah perbedaan manusia bertauhid dengan manusia yang tidak bertauhid. Ketika ia membaca satu persatu ayat ayat Al Qur’an, akan muncul konektivitas yang kuat antara ayat ayat tersebut dengan kehidupannya, dan akan tumbuh kesadaran untuk menjadikan Qur’an sebagai panduan hidup.

Disinilah peran penting misi dakwah Rasulullah SAW sebagai seorang utusan yang menyampaikan ayat ayat Allah, mengajarkannya, dan menjadikan Qur’an sebagai proses manusia dalam mensucikan jiwanya (Q.S. Al Jumuah: 2).

Maka gerakan dakwah berikutnya setelah menanamkan Tauhid dalam diri manusia adalah dengan mengajarkan Qur’an dan mentransformasikannya ke dalam diri setiap manusia agar Qur’an bisa diperagakan dalam setiap aspek kehidupan.

Para sahabat merupakan bukti otentik mengapa metode Sistematika Wahyu menjadi kunci keberhasilan dakwah. Mereka memiliki konektivitasnya yang kuat dengan Allah, dan setiap kali ayat ayat yang diwahyukan kepada Rasulullah disampaikan kepada mereka, para sahabat akan mempelajari ayat ayat tersebut sampai mereka benar benar mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka.

Pada tahapan dakwah berikutnya, tentu saja untuk membantu seorang hamba agar senantiasa semakin dekat dengan Allah dan memegang teguh prinsip hidup ber-Qur’an, diperlukan sarana yang kuat yaitu ibadah. Maka gerakan spiritual melalui Al Muzzammil menjadi sarana penting untuk membangun interaksi dengan Sang Pencipta.

Framework dakwah berikutnya adalah menumbuhkan spirit beribadah dalam diri umat khususnya melalui gerakan qiyamul lail. Sudah cukup banyak khasiat dan manfaat dari qiyamul lail yang ditegakkan oleh seorang hamba, salah satunya adalah mengangkat derajat hamba pada tingkatan maqooman mahmuudan (Q.S. Al Israa: 79).

KH Abdullah Said semasa hidup beliau selalu menekankan para santri nya agar senantiasa menegakkan qiyamul lail sebagai wujud kecintaan dan ketergantungan hamba kepada Rabbnya. Selain sarat mengandung nilai tauhid, qiyamul lail juga menjadi tempat untuk membaca dan mendengarkan Al Qur’an lebih khusyuk agar dapat terinternalisasi ke dalam jiwa manusia. Selain itu, inilah kesempatan untuk bertabattul, melepaskan diri dari hiruk pikuk dunia, dan bermunajat kepada Sang Maha perkasa.

Dengan tiga tahapan awal dalam konsep Sistematika Wahyu ini, nyaris bisa diminimalisir benturan kepentingan dengan orang orang yang menjadi objek dakwah. Karena bingkai yang dibangun dengan Sistematika Wahyu adalah mengenalkan Allah, memahami, dan mengamalkan Al Qur’an, beribadah, berdakwah, dan hidup dalam bingkai syariah.

Sebuah konsep kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia, yang dibuktikan dengan 85% manusia di dunia ini adalah umat beragama dengan Islam menjadi agama kedua yang dianut (24,52%) setelah kristen (32,11). Ini berarti pada umumnya manusia di dunia ingin bertuhan, hanya saja belum dan tidak semua memiliki keyakinan bahwa Tuhan yang Maha Satu hanyalah Allah.

Sehingga, dakwah dengan pendekatan Sistematika Wahyu memiliki peluang yang terbuka untuk diterima bukan hanya di kancah nasiona tetapi juga masyarakat internasional, karena muatan dakwahnya berlandaskan kalimat Laa ilaaha illalaahu.

Dan dua tahapan berikutnya menjadi point penting yang membedakan Sistematika Wahyu sebagai manhaj dakwah dengan metode yang lainnya. Seorang hamba yang telah merasakan nikmatnya bertuhan, ber-Qur’an, dan “bermesraan” dengan Allah pada saat beribadah, akan terpanggil dan tergerak untuk menyebarkan kebaikan tersebut kepada orang di sekitarnya.

Sebuah terminologi yang sempat masyhur di kalangan barat yaitu “pay it forward” dapat menjadi gambaran bagaimana seorang mukmin akan berinisiatif secara gigih untuk mengajak keluarga, sahabat, tetangga, dan masyarakatnya untuk juga mendapatkan kebaikan yang sama dengan berislam secara kaffah dengan manhaj Sistematika Wahyu.

Diutusnya Mushab bin Umair oleh Rasulullah SAW untuk berdakwah di Yatsrib (Madinah) menjadi evidence bahwa sosok Mushab yang telah menikmati indahnya berislam rela menanggalkan dan meninggalkan seluruh kenikmatan harta dunia yang dimiliki, untuk mengajarkan Qur’an pada masyarakat di Yastrib.

Begitu juga dengan Muadz bin Jabal yang dikirim ke Yaman dengan misi dakwah, hingga Saad bin Abi Waqqash yang berdakwah hingga ke negeri Cina, bahkan pada saat Rasulullah sudah wafat, sebagai bukti bahwa gerakan dakwah terus berkelanjutan.

Ketika gelombang dakwah ini semakin deras, maka akan muncul sebuah kesadaran untuk membangun komunitas yang memiliki paradigma berpikir yang sama yaitu paradigma “iqra bismirabbik” sehingga terbentuklah masyarakat bertauhid.

Pada masyarakat inilah, sistem nilai kehidupan akan dibangun dengan nilai nilai berlandaskan syariah yang telah diatur dalam Al Qur’an dan diperagakan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat sehingga terwujud masyarakat yang berperadaban Islam.

Hijrah Rasulullah dari Makkah menuju Madinah merupakan strategi jitu untuk membangun komunitas masyarakat berislam yang bertumpu pada well being society sehingga menjadi rujukan higga saat ini.

Pada tahap ini, manhaj dakwah Sistematika Wahyu menebarkan energi yang sangat kuat kepada umat Islam yang sudah tercelup dengan manhaj ini untuk terlibat dalam peragaan nilai nilai Islam yang mencakup pada semua aspek kehidupan.

Sistem pendidikan yang dibangun mengacu pada konsep pendidikan Islam sehingga melahirkan generasi generasi Qur’ani yang beradab dan kompetitif. Sistem ekonomi selalu menekankan prinsip keadilan dalam Islam tanpa adanya dominasi pemerintah (komunis) ataupun figur figur pemilik modal tertentu (kapital).

Begitu juga hukum menjadi tegak dengan menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law). Pada masyarakat inilah akan muncul sosok sosok pemimpin yang lahir bukan secara instant dan karena kepentingan sesaat, tetapi pemimpin yang dibentuk karena rasa takutnya kepada Allah.

Kesimpulan

Sistematika Wahyu merupakan warisan penting dari manhaj nubuwwah yang dinapaktilasi oleh Hidayatullah melalui foundernya, KH Abdullah Said, sebagai salah satu solusi terbaik dalam mengenalkan Islam (dakwah) dan membina umat (tarbiyah).

Tentu saja dalam konteksnya hari ini, Sistematika Wahyu perlu dikaji lebih mendalam secara berkesinambungan oleh para kader muda dan para senior lembaga agar terjadi transformasi yang utuh dalam mewujudkan peradaban Islam, sebagai sebuah mujahadah melahirkan kepemimpinan “alaa minhajin nubuwwah”.

Selain itu, Hidayatullah perlu menjadi pioneer dalam memperagakan masyarakat berperadaban Islam dalam semua aspek kehidupan dengan sistem pendidikan, ekonomi, hukum, hingga politik dalam organisasi agar menjadi model dalam menggerakkan potensi umat mewujudkan energi masyarakat berperadaban yang lebih luas dalam skala nasional hingga global.

*) Dr. Muzakkir Usman, M.Ed, penulis adalah Direktur Hidayatullah Institute (HI). Disampaikan pada Halaqah Kader Wustha dengan murobbi Ust. H. Dr. Abdu Aziz, Depok 12 Rajab 1445 H

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Hidayatullah dan Revitalisasi Peran Muballigh dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

PERAN muballigh dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di Indonesia sangatlah penting. Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, muballigh terus menjadi...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img