Sepekan lamanya saya berkeliling Tanah Cenderawasih, baik Papua Barat maupun Papua. Selain melihat ciptaan Allah berupa alam yang begitu indah di Papua saya mendapati spirit yang selalu modern.
Spirit itu adalah yang diperas dan dimetodologikan dengan begitu sederhana, konkret, namun dahsyat oleh Allahuyarham Ustadz Abdullah Said, yakni Allah di Balikpapan sama dengan Allah di Papua.
“Ketika itu saya tidak pernah tahu apa itu Papua, mau menemui siapa, dan harus melakukan apa. Belum lagi, dari sisi alam, Papua punya tantangan sendiri, yakni Malaria. Pikiran sebagai manusia tidak jelas rasanya, tapi ingat pesan Ustadz Abdullah Said bahwa Allah di Balikpapan juga Allah yang di Papua, melangkahlah saya dan teman-teman yang tugas di Papua ini,” ucap Ustadz Sulthon, yang kini Ketua DPW Hidayatullah Papua Barat sekaligus pengurus teras MUI Papua Barat.
Sama namun dengan lika-liku yang berbeda dialami oleh Ustadz Mualimin Amin. Pria murah senyum itu kala mendapatkan tugas pertama adalah ke Medan. Namun karena satu dan lain hal, Ketua DPW Hidayatullah Papua saat ini diubah tugasnya ke Ambon Maluku.
“Ustadz Lathif Usman yang hubungi saya. Nak, kamu tugasnya dipindah ke Ambon. Silakan siap-siap berangkat. Kalau di Ambon nanti ketemu orang berjenggot, jilbab besar, maka itu sudah orang Hidayatullah, temui dan bergabunglah. Saya bilang, siap berangkat. Tak lama muncul pikiran, bagaimana bisa ketemu, di Ambon turun dari kapal ambil arah mana. Macam-macam. Tapi saya ingat spirit Allahuyarham, bahwa Allah di Balikpapan sama dengan Allah di Maluku, dengan bismirabbik saya melangkah tanpa ragu,” tuturnya.
Kisah di atas bukan sebuah “dongeng.” Itu kisah hidup, nyata, pelakunya masih tersenyum segar dan sampai detik ini kesibukannya dakwah dan tarbiyah umat. Hasil dari spirit itu pun jelas, yakni kampus-kampus Hidayatullah di seluruh Papua.
Dalam hati saya hanya takjub bukan main. Bagaimana keteladanan mengelola Gunung Tembak menjadi sebuah pelajaran hidup bagi banyak kader Hidayatullah. Mereka boleh jadi belum ikut training manajemen mendirikan dan mengembangkan pesantren, tapi dengan spirit itu, mereka bisa seiring berjalannya waktu yang dipenuhi ketaatan dan keyakinan luar biasa.
Bahkan, berpindah-pindah tempat tugas di Papua, bagi mereka bukan hal rumit. Kalau sudah tugas, bismillah jalan. Kini, mereka menjadi tokoh dengan kapasitasnya yang diakui oleh masyarakat.
Di sini saya menemukan pelajaran bahwa Islam ini bukan agama yang melulu harus dikaji, tapi juga harus segera diamalkan dengan penuh keyakinan. Bukan berarti abaikan ilmu, tapi ilmu yang ada segera ditajamkan. Sembari terus diperkuat sisi keilmuannya.
Dan, ungkapan Syaikh Ibn Athaillah memberikan penjelasan atas semua itu. “Cahaya adalah tentara hati, sebagaimana kegelapan adalah tentara nafsu.”
Ketika spirit syahadat yang meyakini Allah dimana saja akan memberikan pertolongan selama taat dan kokoh dalam jama’ah dihujamkan dalam hati dan diejawantahkan dalam kerja-kerja nyata, saat itu hati telah menjadi sosok tentara.
Syaikh Ibn Athaillah menjelaskan, karena begitu hati mendapatkan cahaya Ilahiyah, ia akan mendapatkan penyingkapan, ilmu, dan tahqiq. Itulah kenapa Ustadz Suharsono memberikan penilaian bahwa kader-kader awal Hidayatullah itu mampu merasakan dahsyatnya iman dan amal, namun tidak (sanggup) membahasakannya secara verbal.
Dalam bahasa Allahuyarham Ustadz Abdullah Said, syahadat yang baik yang menghasilkan iman adalah syahadat yang teruji dan terbukti.
“Untuk dapat merasakan iman yang sudah berkecambah dalam diri, atau mengukur kekuatan iman yang dimiliki, harus melalui uji coba menghadapi beban dan problema. Di sana baru dapat dirasakan keberadaannya. Iman baru dapat kita saksikan hasil kerjanya bila sudah mampu memikul sekian beban. Iman baru dapat kita ketahui kehebatannya disaat mampu menyelesaikan sekian problem.” (Buku Kuliah Syahadat halaman: 84).
Menariknya, para seniro di Papua Barat dan Papua tak mau itu berhenti pada diri mereka. Ustadz Sulthon, Ustadz Mualimin Amin, dan Ustadz Sudirman Ambal tak mau berhenti mewariskan spirit yang selalu modern itu ke dalam jiwa para pemuda.
Oleh karena itu, tanpa dinyana, Pemuda Papua Barat langsung mengundang saya menghadiri Muswil Papua Barat. Tak berselang lama, Pemuda Papua langsung meminta saya langsung ke Jayapura.
Dalam hati saya berpikir, “Kalau Pemuda Hidayatullah Papua dan Papua Barat bangkit, apakah masih mungkin Pemuda Hidayatullah di wilayah lain akan rela tidur dan tidak menyergap, menyadap dan menyedot spirit yang selalu modern, selalu dibutuhkan sepanjang masa, yang telah menghasilkan kekuatan besar itu? Allahu a’lam.
Tapi, sejak Papua kukunjungi, gelombang Muswil Pemuda Hidayatullah terus bergulir, Aceh, Lampung, Jakarta, Gorontalo, Palangkaraya, Kupang, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Kalimantan Timur. Allahu Akbar!!!
*) IMAM NAWAWI,Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah