Hidayatullah.or.id — Wakil Rektor University of The Holy Qur’an and Islamic Science (UHQIS) Negara Republik Sudan atau yang dikenal dengan Universitas Al-Qur’an menawarkan kerjasama pendidikan dengan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah (STISHID) Balikpapan, Kalimantan Timur, Republik Indonesia.
Akhir Desember (23/12/2014) lalu, Prof. Dr. Ahmad Said Salman, nama sang wakil rektor, menawarkan kerjasama ketika berkunjung ke kampus STISHID Balikpapan di bilangan Gunung Tembak.
Menurut Professor yang biasa disapa Syeikh Ahmad Said tersebut, ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan kerjasama tersebut. Mulai dari peluang lanjut studi di Universitas al-Qur’an bagi mahasiswa dan dosen STIS hingga kerjasama beberapa program pengembangan kedua kampus ke depan.
Tawaran dari Universitas al-Qur’an tersebut tentu saja langsung mendapat respon positif dari STIS Hidayatullah.
“Alhamdulillah, STIS merasa sangat terhormat bisa bekerjasama dengan Universitas al-Qur’an dan ini adalah berita gembira buat seluruh umat Islam di Indonesia,” terang Ketua STIS Hidayatullah, Paryadi Abdul Ghofar.
“Insya Allah STIS segera mengurus kelengkapan berkas yang dibutuhkan untuk penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) tersebut,” imbuh Abdul Ghofar kembali.
Gelar Syahid Pertama Dalam Islam Direbut Wanita
Di waktu yang sama, Syaikh Ahmad berkesempatan memberikan pidato kepada mahasiswa STIS. Dalam paparannya, Ahmad menyebutkan, seorang Muslimah memiliki peran istimewa dalam membangun peradaban Islam.
Dia menjelaskan, sejak awal kedatangannya, Islam telah memuliakan wanita. Bahkan manusia yang pertama menyicipi kemuliaan Islam juga seorang wanita, yaitu bunda Khadijah. Termasuk gelar syahid yang pertama direbut oleh Sumayyah, ibunda dari sahabat Ammar bin Yasir.
Meski secara fisik terlihat lemah, tapi sesungguhnya wanita-wanita Muslimah itulah yang melahirkan dan mendidik generasi-generasi hebat sebagai pelanjut perjuangan kelak.
“Bukan tanpa alasan jika Khadijah pertama kali yang meyakini ajaran yang disampaikan Nabi tersebut,” ungkap Ahmad menjelaskan.
Sebab Nabi ketika itu benar-benar membutuhkan sosok pendamping yang menguatkan dalam mengawali gerakan dakwahnya. Kesadaran seperti itulah yang hendaknya senantiasa terpatri dalam diri setiap wanita Muslimah, terutama sebagai penuntut ilmu.
Syaikh menegaskan, sebab kejayaan peradaban Islam hanya bisa diraih dengan dasar ilmu yang benar. Sedang sumber ilmu terbesar tak lain kembali kepada al-Qur’an (back to holy al-Qur’an).
Dalam acara yang digelar di Aula Kampus II Lantai II di Komplek STIS Hidayatullah Putri, Syaikh Ahmad juga mengingatkan agar tak menjadikan ilmu dan hafalan al-Qur’an sebagai tujuan akhir. Bagi seorang Muslim semua itu hanya sebatas sarana untuk taqarrub (mendekat) kepada Allah.
“Ia dikejar bukan untuk dibanggakan, tapi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
“Nilai-nilai al-Qur’an inilah yang kelak menjadi roda penggerak yang mengatur segala aktivitas manusia. Mulai dari adab kepada diri sendiri, keluarga, teman, guru, tetangga, dan seterusnya. Puncaknya adalah beradab dan berakhlak kepada Allah dalam urusan ibadah”
Lebih jauh, pria yang juga dikenal kepakarannya di bidang Bahasa Arab tersebut menambahkan, hal mendasar yang wajib dimiliki oleh seorang penuntut ilmu adalah senantiasa menghadirkan kebesaran Allah dalam setiap urusan. Dengannya diharapkan, tumbuh benih-benih takwa sebagai syarat meraih ilmu yang bermanfaat.
“Ilmu itu tak akan berguna jika tidak dilandasi dengan iman dan takwa,” ujarnya seraya mengutip Surah al-Baqarah [2]: 282.
Menurut Syaikh Ahmad, hal inilah yang membedakan antara peradaban Islam dengan apa yang diusung oleh Barat. Meski Barat mengklaim maju dalam peradaban mereka, tapi sejatinya peradaban tersebut rapuh sebab jauh dari nilai-nilai al-Qur’an.
Sedang di saat yang sama, al-Qur’an telah menjanjikan kejayaan peradaban buat umat Islam. Sebab, menurut al-Qur’an, umat Islam adalah umat yang terbaik, jika memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Allah. (stishid)