Kalau kita bertanya, mengapa Indonesia seakan kian jauh dari idealitas kemerdekaannya? Maka jawaban paling mendasar adalah, karena dasar dari berbangsa dan bernegara dari sisi nilai dan spirit juang bukan lagi tidak dipahami, tetapi telah jauh ditinggalkan. Akibatnya kebingungan dan kerancuan menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan.
Demikian pula kala kita bertanya bagaimana sebuah kemenangan dakwah diperoleh, maka jawabannya bukan pada kekuatan kekuasaan, militer, atau pun ekonomi. Melainkan kekuatan ilmu. Oleh karena itu, perintah Iqra’ Bismirabbik di dalam Al-Qur’an menyingkap sebuah rahasia fundamental perihal strategi meraih kemenangan sejati.
Terkait hal ini, menarik apa yang diuraikan oleh Prof. Dr. Abd al-Fattah El-Awaisi dalam Buku Emas Baitul Maqdis.
“Sebagaimana kita ketahui bahwa “kemenangan” pengetahuan selalu mendahului kemenangan politik dan militer. Karena, pengetahuan, yang berarti persepsi, harus dimiliki sebelum melakukan pergerakan politik dan militer, bahkan urusan politik dan militer yang tidak didasari ilmu pengetahuan pasti hasilnya adalah kegagalan. Oleh karena itu, aksi politik dan militer tanpa fondasi pengetahuan yang terstruktur, terorganisir dan disiplin adalah sebuah bencana.”
Jika kita tarik dalam konteks yang lebih spesifik, perihal iman dan Islam diri ini, maka jelas tidak mungkin akan lahir sebuah kekuatan besar dari dalam diri untuk berpikir dan bertindak nyata di dalam kehidupan, tanpa kuatnya ilmu tentang bagaimana Islam ini menuntun kehidupan kita sebagai manusia sebagai hamba dan khalifah Allah dari langkah yang paling mendasar hingga teknis dan “budaya.”
Oleh karena itu, bagi seorang Hamid Fahmy Zarkasyi ilmu pengetahuan mesti menjadi prioritas utama bagi umat muslim sekarang. Sebab tanpa ilmu, pemikiran dan gerakan umat akan tercerai-berai, emosional, reaktif, dan sudah barang tentu tidak sistematis dan mudah dipatahkan lawan.
Sistematika Wahyu sebagai “Ilmu”
Menariknya, Hidayatullah memiliki sebuah manhaj yang dikenal dengan istilah Sistematika Wahyu, sebuah konsep dasar perihal bagaimana membentuk kepribadian diri sebagai Muslim yang tidak saja siap ibadah, tapi juga siap dakwah, dengan basis historis kenabian itu sendiri, mulai masa Muhammad yatim, menggembala, berdagang, berkhadijah dan ber-Gua Hira hingga akhirnya menerima wahyu dari Surah Al-Alaq, Al-Qolam, Al-Muzzammil, Al-Mudatstsir dan Al-Fatihah.
Masing-masing fase itu dilihat sebagai sebuah “cara” Allah membentuk kepribadian Nabi Muhammad ﷺ untuk membawa risalah Islam. Menjadi yatim membuat Muhammad tidak ada tempat mengadu, bergantung. Oleh karena itu harus memiliki mental yang kuat, tangguh, alias tidak cemen, tidak cengeng.
Artinya, seorang Muslim harusnya memiliki mental untuk survive, mandiri, dan tidak mudah menyerah. Segala kelemahan diri dan ketidakberdayaan harusnya menjadikan diri memiliki etos kerja dan etos ilmu yang tinggi. Faktanya, fase ini menjadi semacam kaidah pembentukan mental tangguh, terutama jika melihat masa kecil kebanyakan ulama yang yatim namun penuh heroisme dalam banyak sisi, terutama dalam menuntut ilmu.
Jelas tulisan ini tidak akan membahas satu demi satu apa yang ada di dalam Sistematika Wahyu, namun dari fase keyatiman saja kita sudah jelas mendapatkan sebuah kesadaran bahwa seorang Muslim hakikatnya adalah sosok yang tangguh. Secara garis besar, fase berdagang berarti bagaimana membentuk mental dan kemampuan mandiri secara finansial, sehingga tidak menjadi beban orang dan mampu berkontribusi dalam pembangunan. Ustadz Nasirul Haq pernah mengatakan bahwa umat Islam tidak wajib (tidak dituntut) menjadi kaya, namun, amalan seperti sedekah dan zakat, serta wakaf, tidak mungkin diamalkan melainkan oleh sosok Muslim yang kaya.
Sekarang kita bisa saksikan bersama bagaimana sebuah negara menjadi adi daya karena menguasai perdagangan? Bahkan umat Islam harus rela menjadi jajahan Eropa karena “kalah” dalam “pertarungan” dagang. Oleh karena itu, jika sistematika wahyu dipahami sebagai ilmu maka menjadi pedagang, pengusaha, pebisnis atau apapun istilah di bidang ekonomi akan menjadikan setiap jiwa sadar bahwa semua itu dilakukan bukan untuk berbangga-bangga, tetapi membela umat Islam.
Dan, sebagai sebuah pamungkas agar tidak terlalu panjang ulasan ini, ayat yang pertama turun kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah Iqra’ Bismirabbik. Maknanya jelas, bahwa kalau umat Islam mau menang jangan kalah dalam hal membaca, apalagi sampai salah dalam membaca.
Menurut Adian Husaini dalam bukunya Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam umat Islam telah terseret pada cara berpikir Orientalis di dalam memahami Islam. Akibatnya jelas, sarjana syariah namun tidak mendakwahkan syariah. Sarjana Al-Qur’an, namun justru mengkritik Al-Qur’an.
Sebuah fakta nyata bahwa umat Islam ini masih belum menang di dalam banyak bidang kehidupan. Dan, sumber kemenangan itu tidak lain dengan mengamalkan nilai dan makna dari Iqra’ Bismirabbik secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari.
Jika tiba-tiba bergerak ini dan itu, tapi tidak matang dari sisi Iqra’ Bismirabbik, maka bisa diprediksi, gerakan itu akan mudah patah dan menjadi sebuah trauma bagi banyak kalangan, yang akhirnya menjadikan etos jihad lemah dan layu. Allahu a’lam.  Â
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah