JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Cendekiawan internasional berdarah Inggris Palestina Prof. Dr. Abd Al-Fattah El-Awaisi menyebut pemuda memiliki tanggung jawab besar membebaskan Baitul Maqdis dan untuk melakukan hal tersebut haruslah dengan ilmu.
“Tanggung jawab pembebasan Baitul Maqdis ada di pundak pemuda,” kata El-Awaisi saat menjadi narasumber Kuliah Peradaban sesi-4 secara hibryd di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah, Jakarta, Selasa, 28 Rajab 1443 (1/3/2022)
Melalui majelis tersebut, peraih penghargaan Islamic World Istanbul Science Award ini berpesan bahwa untuk membebaskan Baitul Maqdis haruslah dengan ilmu.
Ia pun berbagi kisah mengenai upayanya melakukan telaah ilmiah mendalam tentang Baitul Maqdis yang sudah dibukukan dan kini telah diterjemahkan berjudul “Roadmap Nabawiyah Pembebasan Baitul Maqdis”. Buku ini ditulisnya selama 30 tahun lebih berdasarkan kajian, rihlah ilmiah, kesaksian selama hidup, dan analisa.
“Ilmu itu penentu amal. Bagaimana ilmu seseorang maka begitulah amalnya. Benar berfikir (maka) benar amalnya. Salah berfikir, salah amalnya. Jadi kalau mau membuat sesuatu yang konkrit, selesaikan buku ini. Bedah, pelajari, kaji, insya Allah, ini adalah intinya inti dari pemikiran saya selama lebih 30 tahun,” katanya melalui penterjemah Ust Ardhi Rosyadi.
Berkenaan dengan pentingnya ilmu tentang Baitul Maqdis, El-Awaisi menekankan bahwa jangan hanya lantang menyuarakan pembebasan Baitul Maqdis tetapi minim pengetahuan tentangnya. Kondisi ini ia istilahkan seperti investor yang mau menamam modal tapi tidak tahu tentang yang akan ditanami saham.
“Bagaimana mungkin kita berorasi untuk membebaskan Baitul Maqdis tapi ternyata masyarakat kita tidak tahu apa apa tentang Baitul Maqdis. Tidak tahu bahwa Masjidil Aqsha adalah masjid yang mulia. Tidak tahu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berjuang membebaskan Baitul Maqdis selama hidupnya,” ungkapnya.
Dia menegaskan, apa yang kita sampaikan tentang pembebasan Baitul Maqdis tidak akan masuk jika tak ada maklumat sedikitpun berupa ilmu tentang Baitul Maqdis. Hal ini kemudian senafas dengan wahyu pertama turun yang memerintahkan untuk membaca.
“Wahyu yang turun pertama kali kepada Nabi bukan berperanglah, atau bunuhlah. Tapi, bacalah (iqra’!). Akan tetapi, perlu digaris bawahi, harus tekan kontrol B, tebalkan. Baca atas nama siapa?,” kata El-Awaisi seraya bertanya kemana muara pembacaan itu dilakukan.
Dia melanjutkan pertanyaannya, apakah membaca atas nama Amerika? Atau membaca dengan fikrah Rusia? Atau membaca dengan mindset Cina? El-Awaisi kemudian menekankan bahwa pembacaan tersebut adalah atas sepenuh bimbingan Allah SWT.
“Inilah, yang, sayang sekali, bukan hanya kita, orang orang Arab bahkan orang Palestina sendiri terlalaikan selama lebih dari 100 tahun ini. Yaitu ilmu dan makrifat,” ujarnya kemudian.
Lebih jauh, Profesor Hubungan Internasional di Istanbul Sabahattin Zaim University, Turki, ini menyampaikan tentang kedudukan istimewa Baitul Maqdis sebagai pusat peradaban dunia.
“Bahkan, kita harus percaya diri menyatakan dan meyakini bahwa Baitul Maqdis adalah pusat keberkahan dan insya Allah akan memimpin semua peradaban dunia,” katanya.
Konsekwensinya kemudian adalah ketika kondisi Baitul Maqdis khususnya Masjidil Aqsha tidak berada di tangan umat Islam maka melemahlah peradaban dunia khususnya peradaban Islam.
Sebaliknya, ketika Baitul Maqdis khususnya Masjidil Aqsha berada dalam kepemimpinan dan genggaman umat Islam, maka peradaban Islam akan berada dalam puncak kejayaannya.
Baitul Maqdis sebagai Titik Persatuan
Lebih jauh Prof El-Awaisi menerangkan, Baitul Maqdis memiliki ikatan yang kuat dengan Islam dari awal dakwah ini yaitu sejak malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dan memerintahkan membaca (iqra’!). “Sejak itu juga Baitul Maqdis memiliki ikatan yang kuat dengan Islam dan umat Islam,” imbuhnya.
Dia menegaskan Baitul Maqdis juga merupakan kiblat pertama umat Islam dimana Rasulillah SAW shalat menghadap Baitul Maqdis sebelum isra’ miraj. Barulah setelah isra’ miraj turun perintah untuk shalat 5 kali dalam sehari semalam. Bahkan dalam surah Al Muzammil, Rasulullah SAW diperintahkan untuk shalat dengan kiblat ke arah Baitul Maqdis, belum kemudian ke arah Ka’bah.
“Sementara yang disebut kiblat adalah titik persatuan umat, dimanapun umat Islam berada maka titik persatuannya adalah kiblat. Dulu kilblat kita adalah Baitul Maqdis, maka Masjidil Aqsa adalah titik persatuan umat Islam sebelum isra’ miraj,” kata El-Awaisi.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Rasulullah SAW shalat menghadap masjid Aqsha 16 atau 17 bulan. Dan sebelum hijrah, Rasulullah SAW shalat dengan menghadap sepenuhnya ke Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis.
Di awal pemaparannya, El-Awaisi mengatakan apa yang disampaikan tidak dimaksudkan ntuk menggurui melainkan semata dalam rangka untuk meraih faedah dan keberkahan dari Allah subhanahu wata’ala.
Agenda Kuliah Peradaban sesi-4 di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah Jakarta kali ini sekaligus merupakan tempat perdana yang dikunjungi Prof. Dr. Abd Al-Fattah El-Awais usai menjalani masa karantina dalam agenda turnya ke Indonesia hingga beberapa hari kedepan.*/Ainuddin Chalik