Sebagai sebuah elemen penting kehidupan berbangsa dan bernegara, eksistensi santri telah mendapat penghargaan memadai dari negara dan pemerintah, yang ditandai dengan adanya Hari Santri setiap tanggal 22 Oktober.
Dalam webinar yang diselenggarakan Pemuda Hidayatullah tentang Menyongsong Negarawan Masa Depan (16/10/20), Hidayat Nur Wahid sebagai narasumber sempat mengisahkan bahwa dipilihnya tanggal 22 Oktober adalah bagian dari gagasan dirinya yang pernah menjadi santri dimana pada waktu tersebut tercatat sejarah besar bagi kalangan santri dari KH. Hasyim Asy’ari berupa maklumat resolusi jihad, yang berhasil menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Agresi Militer Belanda kedua yang membonceng Sekutu.
Hal itu menunjukkan bahwa santri di Indonesia telah memiliki kiprah dan peran strategis yang menyejarah, dimana ini tidak boleh berhenti dengan sebuah ungkapan kebesaran sejarah, tetapi juga harus dibarengi oleh rencana strategis perihal rencana strategis kaum santri masa depan, setidaknya dalam hal bagaimana unggul dalam segala bidang di era digital seperti sekarang.
Jika dahulu, santri mampu mengusir penjajah dan Sekutu, maka kini dan nanti santri harus mampu mengungguli konsep-konsep, gagasan-gagasan, yang secara aqidah, syariah, dan peradaban berbenturan dengan nilai dan ajaran Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Santri harus mampu mempertahankan etos jihad sekaligus etos keilmuan untuk membawa bangsa Indonesia semakin maju dan beradab.
Lantas apa yang sejatinya menjadi tantangan kaum santri di dalam konteks ke-Indonesia-an dan peradaban?
Pertama, secara intelektual, kaum santri penting untuk bisa mendudukkan segala macam pemikiran dan konsep kehidupan bahkan peradaban yang tidak relevan dengan nilai-nilai Islam. Upaya ini sangat penting mengingat masyarakat yang secara keilmuan inferior sudah pasti akan mengikuti keilmuan dari peradaban lain yang lebih superior, sekalipun identitas dasarnya tetap melekat. Masalah umat Islam sekarang bukan tidak mau ibadah, tapi secara peradaban, masih belum siap untuk mengungguli apa yang lahir dari buah pemikiran peradaban lain, sehingga Islam dipandang tak lebih dari ritual. Padahal Islam pada saat yang sama juga peradaban.
Kedua, kaum santri penting untuk semakin percaya diri di dalam menjawab beragam tantangan permukaan kehidupan, seperti kreativitas di media sosial, yang kini menjadi tempat masyarakat berhimpun, menghibur diri, bahkan menemukan inspirasi. Kaum santri harus mendalam dalam penggalian ilmu, namun saat yang sama juga harus hadir mengimplementasikan ilmu yang diperoleh dalam ragam peraga dakwah yang memungkinkan. Di era sekarang, media sosial adalah sarana yang paling digemari masyarakat, dimana sudah seharusnya semua itu dibombardir oleh konten-konten positif dari kaum santri.
Ketiga, membangun mindset dan gerakan kemandirian ekonomi. Santri harus mulai berpikir menjadi produsen, penjual, bukan lagi sebatas pembeli. Menarik ungkapan Heppy Trenggono dalam bukunya “9 Pertanyaan Fundamental” bahwa orang pintar, cerdas dan tentu saja punya iman, sukses itu jika kita berhasil menjual sesuatu. Sedangkan orang bodoh, berkata bahwa sukses itu kalau bisa membeli sesuatu.
Santri harus berani terjun ke dunia dagang, bisnis, dan keuangan, agar kedepan lahir pengusaha-pengusaha yang dapat memberikan solusi atas problematika berat bangsa ini, yakni pengangguran dan kemiskinan. Karena jika pengusaha ke depan diisi oleh kaum santri, insha Allah kebaikan dan maslahat yang dihasilkan akan jauh lebih baik. Sekarang, umat Islam sejatinya tidak saja menjadi konsumen tetapi juga telah terjebak pada ketidakberdayaan ekonomi secara menyeluruh.
Keempat, aktif berorganisasi. Santri juga harus terlibat aktif dalam organisasi, karena sebuah kesadaran tak cukup tumbuh dalam akal dan sanubari, tetapi juga dimanivestasikan dalam kehidupan sehari-hari. KH. Hasyim Asy’ari saja mendirikan organisasi besar bernama NU untuk melangkah bersama demi tujuan mulia. Bahkan, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi yang baru saja kembali kehadirat-Nya juga seorang santir yang aktif berorganisasi.
Tentu saja, masih ada langkah-langkah lain yang tak kalah strategis yang harus dilakukan oleh kaum santri. Namun, empat langkah di atas adalah yang paling kasat mata menantang dan butuh segera mendapatkan jawaban. Semoga pada 2045 Indonesia sudah bisa dipimpin oleh kaum santri, tidak terkecuali para santri yang aktif berorganisasi di Pemuda Hidayatullah. Aamiin.
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah