AdvertisementAdvertisement

Teknokrasi, Tantangan Masa Depan Dakwah Islam

Content Partner

Oleh Asih Subagyo

ADALAH Dr. Kuntowijoyo (alm), beberapa tahun lalu menyampaikan akan lahirnya teknokratis, jika perkembangan teknologi terus melaju.

Dalam bukunya Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas [Kuntowijoyo : 2019] Kita sungguh-sungguh khawatir bahwa kemajuan teknologi akan menyebabkan timbulnya kesadaran teknokratis. Kesadaran teknokratis itu akan menyusutkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, semuanya hanya dipandang dari sudut teknis, manusia hanya akan menjadi satu dimensi (one dimensional man).

Sebuah kecemasan yang “menghantui” dan cukup berasalan, karena senyatanya teknologi terus berkembang dengan cepat, bahkan hingga sampai banyak tergantinya pernan manusia oleh mesin (robot).

Sehingga, apa yang disampaikan oleh pak Kunto itu, senyatanya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Disaat beberapa tahun belakangan ini, sebagian besar kaum cendekia, bahkan juga masyarakat awan, disibukkan dengan terma revolusi industri 4.0, ataupun society 5.0 itu.

Menurut KBBI, tek·no·kra·si /téknokrasi/ n 1 pemerintahan yg dijalankan oleh teknokrat; 2 pengelolaan kehidupan masyarakat yang dilakukan oleh teknisi.

Sedangkan Wikipedia mendefinisikan teknokrasi sebagai bentuk pemerintahan ketika para pakar teknis menguasai pengambilan keputusan dalam bidangnya masing-masing. Insinyur, ilmuwan, profesional kesehatan, dan orang-orang yang punya pengetahuan, keahlian atau kemampuan akan membentuk badan pemerintahan. Dalam teknokrasi, para pengambil keputusan akan dipilih berdasarkan seberapa jauh mereka menguasai bidang mereka.

Dalam konteks pergerakan Islam, Pak Kunto dalam Paradigma Islam [Kuntowijoyo : 2008], dengan cukup lugas menjelaskannya sebagai berikut:

“Pada situasi sekarang memang, mustahil menggerakkan masa, apalagi atas nama Islam. Dalam periode ideologi, kita memang memerlukan mobilisasi massa. Tetapi pada jaman teknokrasi seperti sekarang ini, massa tidak begitu memainkan peranan yang berpengaruh. Yang berpengaruh besar justru Teknokrasi. Jika suatu saat nanti, Islam bisa menguasai Teknokrasi, perjuangan politik lewat mobilisasi massa, sudah tidak relevan lagi. Dan itu bukan mustahil. Teknokrasi tidak selalu berarrti jaringan kekuasaan politik, tetapi juga jaringan bisnis, pendidikan, media massa, dan lain sebagainya”.

Demikian halnya jika dikaitkan dengan bonus demografi di Indonesia, dimana dalam sensus penduduk tahun 2020 lalu, generasi X, Y, Z, Alpha dan generasi sesudahnya, saat ini berjumlah lebih dari 65% dari jumlah penduduk Indonesia.

Dimana dalam berbagai literatur disebutkan, bahwa generasi milenial dan generasi sesudahnya itu, mereka memiliki kecenderungan native digital. Artinya generasi ini lebih digital minded, dan sangat bergantung dengan device yang berhubungan dengan perangkat digital dan juga internet.

Dan pada saat yang bersamaan, ada tuntutan skill tahun 2020, sebagaimana yang tertuang dalam sebuah rumusan yang bertajuk The Future of The Jobs Report, oleh World Economic Forum. Maka teknokrasi menjadi menemukan momentumnya.

Tantangan Dakwah

Dakwah, secara stimologis diartikan dengan kata kerja “mengajak” atau “menyeru”, sedangkan secara terminologis, dakwah adalah mengajak atau menyeru manusia agar menempuh kehidupan ini di jalan Allah SWT. Artinya, dakwah ini adalah tugas mulia, yang dilakukan oleh orang-orang mulia (pilihan), dengan target dan tujuan yang mulia pula.

Oleh karenanya, siapapun yang berdakwah (du’at), harus memahami berkenaan dengan obyek dakwahnya. Setiap obyek dakwah (mad’u), karena mereka spesial, juga harus diberlakukan secara special. Meski ada juga yang sifatnya generik (‘aam), namun keberhasilan dakwah seringkali ditentukan dengan bagaimana metode pendekatan yang spesial itu.

Dalam kaitannya, dengan teknokrasi dan juga beberapa hal yang melatarinya tersebut, maka tantangan dakwah saat ini, adalah mempersiapkan para da’i teknokrat untuk mengisi lini dakwah diberbagai aspek kehidupan itu.

Meskipun saat ini fenomena mentoring sejak sekolah dan kuliah, juga fenomena hijrah dari berbagai kalangan, nampaknya belum cukup mewakili dari gagasan teknokrasi yang diwacanakan selama ini. Namun ini harus menjadi sistemik dan terintegrasi, sehingga menjadi kekuatan umat. Hal ini untuk menampilkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alaamin.

Demikain halnya, jika dikaitkan dengan tuntutan generasi milenial dan sesudahnya, sudah barang tentu, dakwah tidak bisa lagi dikelola secara serampangan dan asal-asalan. Tetapi harus terprogram dengan baik, memanfaatkan teknologi dan resource yang ada, dengan melibatkan mereka dalam gerakan dakwah. Mendekatkan mereka dengan teknologi.

Sebagai tahap awal mungkin “sebatas”memanfaatkan teknologi, namun bisa diarahkan untuk melakukan rekayasa teknologi, bahkan menciptakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan umat. Sebab, generasi inilah yang nantinya akan menjadi teknokrat dan terjun dalam teknokrasi dimaksud, oleh karenanya masing-masing aspek mesti ada ahlinya dan dikuasai.

Berbagai model untuk menghasilkan teknokrat di atas dapat dilakukan. Dalam jangka pendek misalnya, dapat dilakukan dengan mengirimkan anak-anak terbaik yang memiliki kapasitas sebagai teknokrat tersebut, ke perguruan tinggi terbaik baik di dalam maupun di luar negeri.

Sedangkan jangka panjang, bisa mendirikan perguruan tinggi (universitas), yang menjadi mesin bagi lahirknya teknokrat muslim yang memiliki aqidah yang lurus serta integritas, kualitas, kapasitas, kapabilitas dan kompetensi sesuai dengan jamanya.

Oleh karenanya, terma teknokrasi yang diangkat ini mesti menjadi triger untuk menjawab tantangan bagi Ormas dan Gerakan Islam, dalam rangka merumuskan sebuah grand design atau setidaknya road map (peta jalan), yang mampu menjawab tantangan jaman ini.

Sudah barang tentu, dengan menghadirkan bentuk, model dan spektrum dakwah kekinian yang komprehenshif (syumuliyah), sehingga mampu menjawab dan mengakomodasi kepentingan generasi dan juga tantangan global saat ini dan masa depan. Sebab, dakwah kedepan nampaknya akan lebih mengarah ke dakwah bil hal. Menyelesaikan problematika keumatan, yang semakin kompleks.

Dengan kata lain, kyai, ustadz, da’i, mubaligh dlsb, harus bersentuhan kulit langsung dengan umatnya. Dia hadir membersamai dengan tarikan nafas umatnya. Jika tidak, maka akan ditinggal, mereka akan mencari alternatif lain, dan itu bisa jadi akan dijawab oleh ganasnya lingkungan dan mesin cerdas (artificial intelligence).

Sehingga jangan sampai kita menyesal, jika kemudian Islam ditinggalkan oleh pengikutnya, ketika problematika keummatan yang ada, tidak ada solusinya sesuai dengan konteks dan jamannya. Wallahu a’lam.

ASIH SUBAGYO, penulis adalah Ketua Bidang Organisasi Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

SAR Hidayatullah Hadiri Rakor Basarnas Perkuat Kolaborasi dan Efektivitas Operasi

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Ketua Umum SAR Hidayatullah, Irwan Harun, didampingi Sekretaris Jenderal, Tafdhilul Umam, menghadiri undangan sebagai peserta Rapat...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img