UMUMNYA orang kagum dengan teknologi yang terus maju dan berkembang, sampai-sampai ada yang memandang agama tak begitu penting lagi dalam kehidupan.
Hal ini wajar, karena hidup manusia dapat berjalan begitu cepat dan mudah karena temuan teknologi, sehingga tidak ada urusan teknis yang membutuhkan waktu panjang seperti dahulu.
Masak misalnya, dahulu harus cari kayu bakar dan meletakkan panci di atas tungku. Kini, cukup masukkan beras ke dalam ricecooker sambungkan ke listrik, beberapa saat kemudian matang. Bismillah, “Allahumma bariklana fima rozaqtana.”
Kalau mau bertanya lebih dalam memikirkan, kita bisa ajukan pertanyaan, “Kira-kira apa maksud Allah hadirkan kehidupan akhir zaman secara mudah dalam hal kebutuhan teknis manusia dengan temuan teknologi yang seakan tiada henti?”
Menjawabnya kita bisa melakukan beberapa pendekatan. Pertama, normatif. Kedua, empiris. Ketiga, rasional.
Secara normatif, kehadiran teknologi dalam kehidupan dunia ini adalah keniscayaan, sebab Allah memang yang menghendaki kehidupan ini mudah bagi manusia. Bahkan dalam konteks laut, sejak 1400 tahun silam, Allah telah menyebut yang namanya kapal di laut.
وَلَهُ الْجَوَارِ الْمُنْشَآَتُ فِي الْبَحْرِ كَالْأَعْلَامِ
“Dan kepunyaanNya-lah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung.” (QS. Ar Rahman: 24).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa bahtera tersebut nampak besar seperti gunung. Jadi, jangan pernah merasa teknologi itu hadir karena usaha manusia belaka, tapi karena memang Allah kehendaki itu terjadi bagi kehidupan ini.
Bahwa kemudian belakangan banyak penemu teknologi dari peradaban Barat, hal ini harus mendorong kita untuk melihat secara lebih tajam, darimana peradaban Barat itu bangkit dan berkembang dalam hal teknologi.
Secara empiris, Allah mewajibkan manusia untuk beribadah. Dalam sehari semalam ada sholat 5 waktu. Mungkinkah manusia menunaikan kewajiban itu jika dalam sisi memenuhi kebutuhan sehari-hari memerlukan waktu yang lama dan tenaga yang besar?
Di sini kita harus paham, mengapa teknologi itu dihadirkan, sehingga orang mau makan tidak perlu waktu lama. Bahkan mau ke luar negeri tinggal terbang dengan pesawat juga tidak begitu lama.
Artinya, tak akan bisa diterima alasan orang tidak beribadah karena sulitnya memenuhi kebutuhan hidup. Idealnya, semakin canggih teknologi semakin kuat ketaatan umat manusia kepada-Nya. Faktanya?
Terakhir secara rasional. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa suatu waktu Khalid bin Walid menjadi imam sholat, karena kepribadiannya lebih dominan sebagai panglima di medan perang, ia pun membaca surah pendek dan dinilai oleh yang ahli Al-Qur’an sempat bacaannya kurang tepat. Ketika diingatkan perihal itu, Khalid menjawab, “Saya memang sibuk jihad.”
Sekarang apakah masih rasional seseorang mengatakan dirinya tak sempat baca Al-Qur’an karena kesibukan? Apakah bisa diterima akal sehat dalam sehari orang tidak sempat sholat lima waktu. Bukankah kehidupannya sudah Allah mudahkan.
Cuaca panas, tinggal on-kan ac, sejuk pun diperoleh. Ingin minum kopi panas, dispenser pun sudah tersedia. Kurang apalagi? Di sini, rasio kita sebenarnya dalam “gugatan” nyata, mengapa masih malas dalam ibadah dan ketaatan, padahal semua sisi kehidupan manusia saat ini benar-benar telah mudah. Allahu a’lam.
Imam Nawawi