Hidayatullah.or.id — Ada tiga fase metodologi berislam yang harus ada dan sempurna dalam setiap pribadi Muslim. Dengan fase tersebut, niscaya orang itu bisa mencicipi manisnya iman dalam jiwa. Tiga fase tersebut yaitu adanya haqqa tilawatihi, haqqa tuqatihi, dan haqqa jihadihi.
Mutiara nasihat ini hadir dalam uraian panjang lebar Abdurrahman Muhammad, Pimpinan Umum Hidayatullah pada kegiatan Silaturahim Da’i Hidayatullah di Pare-Pare, Sulawesi Selatan (Sulsel), pertengahan April lalu.
Selain diniatkan silaturahim, kegiatan yang digagas oleh Pengurus Wilayah (PW) Hidayatullah Sulsel ini juga menjadi ajang pengembangan kualitas da’i dalam berdakwah.
“Sebagai ujung tombak kebenaran, sudah sepantasnya para da’i senantiasa meng-upgrade diri,” ujar Ketua Departemen Dakwah PW Hidayatullah Sulsel, Sumaryadi. Kali ini kegiatan tersebut mengambil tema besar “Mengokohkan Dakwah Sebagai Mainstream Perjuangan”.
Sementara itu, masih dalam uraiannya, Bapak Pimpinan, demikian beliau karib disapa, menegaskan bahwa hal pertama yang harus dievaluasi oleh setiap dai adalah memperhatikan interaksinya dengan al-Qur’an. Selain tilawah (membaca al-Qur’an) secara intens, para da’i dituntut agar mempelajari sekaligus mengamalkan isi al-Qur’an tersebut.
Lebih jauh Pimpinan Umum Hidayatullah juga mengingatkan jika sebenarnya perintah yang diinginkan adalah “haqqa tilawatihi”.
“Semuanya harus diupayakan secara sungguh-sungguh. Mulai dari memperhatikan cara mengaji hingga mengamalkannya. Sebagai wujud mujahadah maksimal dalam urusan (dakwah) ini,” ucap Bapak Pimpinan.
Untuk itu selain menggiatkan program Gran MBA (Gerakan Mengajar dan Belajar al-Qur’an) sebagai salah satu program unggulan Hidayatullah, Pimpinan juga meminta setiap dai agar berperan aktif di tengah masyarakat dalam memberantas buta huruf al-Qur’an. Hari ini realitas umat Islam, di antara mereka ada ratusan bahkan ribuan orang yang belum mampu baca tulis al-Qur’an.
“Lalu apa yang ingin ditegakkan dari syariat Islam. Sedang umat Islam sendiri masih jauh dari pedoman hidupnya selama ini,” tegas ustadz kelahiran Kota Pare-Pare tersebut.
Di hadapan puluhan peserta Silaturahim Da’i, tak lupa Abdurrahman mengingatkan pentingya mendidik anak berbasis al-Qur’an. Menurutnya, lemahnya umat Islam tak lepas dari hilangnya ruh al-Qur’an dalam karakter pendidikan generasi muda umat Islam.
“Perjuangan ini sangat panjang. Terkadang perubahan itu bahkan memerlukan waktu beratus-ratus tahun lamanya,” ucap Abdurrahman menerangkan.
Terkait itu, Abdurrahman mencontohkan upaya penaklukan Konstantinopel, sebagai ikon kejayaan Romawi Timur masa tersebut. Menurutnya, hal itu tidak terjadi serta merta atau secara instan begitu saja oleh Sultan al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel.
Sebab, lanjutnya, upaya itu telah diawali sejak masa sahabat dan para tabi’in jauh-jauh hari sebelumnya. Sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang mampu menaklukkan Konstantinopel dan sebaik-baik panglima pasukan adalah yang memimpin pasukan penaklukan tersebut. Demikian Nabi menggugah semangat para sahabatnya saat itu.
Selanjutnya, ketika haqqa tilawatihi sudah benar, dengan sendirinya ia melahirkan kekuatan takwa (haqqa tuqatihi). Tanda sederhana jika bacaan al-Qur’an itu bagus terlihat dari bagusnya dzikir dan ibadahnya. Rukuk dan sujudnya kian mantap.
“Sungguh ironis jika ada mujahid dakwah atau mengaku aktifis Islam, sedang tilawah al-Qur’an dan ibadahnya tidak beres,” papar Abdurrahman.
“Apanya yang mau ditolong oleh Allah, sedang shalat lail dan nawafil (sunnahnya) masih bolong-bolong,” imbuhnya kembali.
Beliau mengimbuhkan, dalam urusan orang beriman, puncak seluruh amalan adalah jihad. Jika spirit jihad (haqqa jihadihi) sudah terpancang kokoh dalam jiwa, niscaya akan menggerakkan seseorang untuk bersungguh-sungguh dalam setiap amalan dan kebaikannya. Termasuk dalam perkara berdakwah.
“Dengan semangat jihad, diharapkan lahir da’i da’i yang tangguh di lapangan. Tentunya tidak hanya dengan modal semangat,” tandasnya. */ Masykur Abu Jaulah