SEORANG mukmin bukanlah seseorang yang hidup tanpa dilanda masalah dan ujian. Sebaliknya, keimanannya justru menjadi alasan bagi Allah untuk menurunkan berbagai ujian, sebagaimana firman-Nya,
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Qs. al-‘Ankabut: 2-3)
Singkatnya, Allah ingin melihat apakah pengakuan itu serius atau hanya bergurau; walau sebetulnya sangat mudah bagi-Nya untuk mengetahui isi hati manusia. Sebab, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya (lihat: Qs. al-Mu’min: 19). Tampaknya, ujian adalah bagian dari cara Allah untuk mematangkan iman kita masing-masing.
Di balik setiap ujian Allah ingin mengajarkan banyak hikmah kepada hamba-Nya. Salah satunya adalah bagaimana berpikir positif.
Sebagai misal, ketika membicarakan musibah yang menimpa kaum muslimin dalam Perang Uhud, Allah memandu kita untuk melihat sebuah “kekalahan” dan “kegagalan” dari sudut-sudut yang positif, sehingga setiap musibah tidak menghancurkan jiwa namun justru meneguhkannya.
Dalam Qs. Ali ‘Imran: 140-142, Allah berfirman, “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun telah mendapat luka serupa (pada perang Badar). Masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); supaya Allah membedakan orang-orang beriman (dengan orang-orang kafir); dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Allah tidak menyukai orang-orang zalim. Dan, agar Allah membersihkan orang-orang beriman (dari dosa mereka) serta membinasakan orang-orang kafir. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata (pula) orang-orang yang sabar?”
Jika dipersepsi secara negatif, kekalahan dalam Perang Uhud bisa saja meruntuhkan iman. Dalam Sirah Nabawiyah dikatakan bahwa lebih dari 70 orang Sahabat gugur, termasuk Hamzah bin ‘Abdul Mutthalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah kekalahan sedahsyat itu bisa menggiring mereka berprasangka buruk kepada Allah dan merasa ditinggalkan-Nya?
Jika demikian, benih-benih kemunafikan dan kekufuran mudah bersemi. Beruntunglah Allah segera menurunkan wahyu-Nya. Dipandu-Nya Rasulullah dan para Sahabat untuk memilih sikap yang benar, sehingga menjadi teladan abadi bagi kita.
Demikianlah, dalam menghadapi setiap kegagalan dan musibah, ayat-ayat di atas – juga banyak ayat lain yang senada – memandu kita untuk tetap tegar dan bisa memetik hikmah dari setiap kejadian. Jika kita bersikap sebaliknya dan merasa gagal, maka jiwa pun melemah; dan ketika itulah syetan mudah masuk untuk membisikkan beragam kekeliruan.
Hikmah lain dari musibah adalah menghapuskan dosa-dosa dan menaikkan derajat di sisi Allah. Setiap musibah yang menimpa seorang muslim, bila dihadapi dengan sabar, akan menjadi penebus dosa. Rasulullah bersabda,
“Tidak ada satu pun musibah yang mengenai seorang muslim melainkan dengan itu Allah menghapuskan darinya dosa-dosanya, bahkan dikarenakan sepucuk duri yang menusuknya.” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari ‘Aisyah).
Diriwayatkan pula bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para Nabi, kemudian setingkat demi setingkat (di bawahnya). Maka, seseorang akan diuji sesuai dengan (tingkatan) agamanya. Jika agamanya kokoh, maka semakin berat pula ujiannya. Jika agamanya rapuh, maka ia akan diuji sesuai dengan (tingkatan) agamanya itu. Ujian tidak akan berhenti menimpa seorang hamba sampai akhirnya ia berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak memiliki satu dosa pun.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits hasan-shahih).
Demikianlah. Karena ujian adalah bagian dari konsekuensi iman, maka setiap ujian adalah peluang mendapatkan pahala, sebagaimana sabda beliau, “Besarnya pahala itu disertai dengan besarnya ujian. Sungguh, bila Allah mencintai suatu kaum, niscaya Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha, maka baginya keridhaan (dari Allah); dan barangsiapa yang marah, maka baginya kemarahan pula.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Anas. Hadits hasan-shahih).
Meskipun demikian, kita dilarang meminta agar diuji oleh Allah. Sebab, kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi hati kita ketika itu, apakah siap ataukah tidak. Sungguh, hati kita sangat mudah berubah bahkan dalam hitungan detik.
Sebaliknya, Islam justru mengajarkan kita untuk memohon kepada-Nya keselamatan dan keteguhan iman. Singkat kata, kita dilarang “menepuk dada” dan menantang turunnya ujian, akan tetapi diperintahkan untuk bersikap rendah hati dan meneguhkan jiwa ketika ujian itu benar-benar datang.
Oleh karenanya, dikisahkan bahwa menjelang pecahnya sebuah pertempuran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di depan barisan para Sahabat, lalu berkhutbah, “Wahai manusia, jangan berangan-angan menjumpai musuh (di medan perang). Mintalah kepada Allah keselamatan. Namun, bila kalian telah berhadapan dengan mereka, maka bersabarlah, dan ketahuilah bahwasanya surga itu berada di bawah bayangan pedang.” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari ‘Abdullah bin Abi Aufa).
Jadi, ujian pasti menghampiri kehidupan seorang mukmin. Hanya saja, jangan angkuh dan menantang kedatangannya. Jika ia benar-benar terjadi, semoga Allah meneguhkan hati kita dalam menghadapinya. Amin. Wallahu a’lam.
Ust. M. Alimin Mukhtar