Oleh Dzulkifli M. Salbu*
NABI MUHAMMAD Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dinobatkan sebagai tokoh paling sukses sepanjang masa, baik oleh pengikutnya ataupun yang bukan. Michael H. Hart yang non Muslim, dalam bukunya “100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia” menempatkan beliau pada urutan teratas.
Fakta ini menyisakan pertanyaan kecil, apa indikator paling riil dan konkrit dari kesuksesan beliau. Tentu bukan karena jumlah pengikut, sebab Al Quran secara implisit telah membantah hal itu, setidaknya dalam kasus perang Hunain, untuk tidak bangga dengan angka. Juga bukan pada kemampuan agitasi beliau, sebab faktanya, paman beliau pun “tak berhasil” beliau pengaruhi.
Ada banyak variabel yang bisa jadi jawaban pertanyaan di atas, namun bila mencermati realitas sejarah, maka pilihan kita akan jatuh pada ukhuwah, dan itu akan mengeliminasi faktor yang lain, meskipun juga fundamental.
Kehadiran beliau berhasil menutup jurang disparitas antara borjuis dan proletar, memaksa bangsawan duduk bersanding dengan budak, hal yang mustahal terjadi di zaman jahiliyah.
Perang antar qabilah, yang telah lama berlangsung, diganti dengan perang hadiah, yang dilakukan tanpa berhitung, yang mereka berikan bukan hanya harta, nyawa sekalipun akan dipertaruhkan, demi tersemainya ukhuwah diantara mereka, contoh paling spektakuler tergambar dalam perang Yarmuk.
Semua ini, adalah fakta penegas, bahwa ukhuwah merupakan simbol kesuksesan beliau, yang dengan mudah disentuh dan difahami dengan pendekatan logika sejarah.
Hidayatullah menetapkan jati diri dalam enam poin, dari Sistimatika Wahyu sebagai manhaj tarbiyah dan dakwah, ahlussunnah wal jamaa’ah; Al Harakah Al Jihadiyah Al Islamiyah, Imamah Jama’ah, Jama’atun minal Muslimin dan Wasathiyah.
Jika ukhuwah adalah anak emas dalam khazanah Islam, kenapa dia luput dalam Jatidiri Hidayatullah, apakah tercecer dari ingatan? Atau dianggap anak bawang? Tentu saja tidak, jika jatidiri Hidayatullah adalah identitas, maka ukhuwah adalah entitas, yang lahir normal tanpa caesar dari rahim setiap kader, yang memahami sistimatika wahyu dengan benar.
Substansi Al Alaq ayat 1-5 mengandung kesadaran primordial tentang hakikat ketuhanan dan akan melahirkan kepekaan sosial sebagai buah kesadaran tentang hakikat kemanusiaan, dan ini harus berjalan seiring, itu sebabnya Nabi dengan tegas menjadikan ukhuwah sebagai ukuran keimanan: “Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga dia mencintai saudaranya, seperti dia mencintai dirinya sendiri”.
Maka kader Hidayatullah yang masih berat menerima kekurangan dan kesalahan kawan, sebagai bumbu penyedap rasa persaudaraan, bisa jadi karena belum memahami esensi jatidiri Hidayatullah dengan tuntas.
Orang bijak berkata, “jangan hapus persaudaraan karena kesalahan kawan, tapi hapuslah kesalahan kawan demi persaudaraan”
*)Dzulkifli M. Salbu, penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Wilayah Hidayatullah Kalimantan Selatan