ALLAH Subhanahu wa Ta’ala selalu punya rencana atas tindakan-tindakan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang sia-sia dalam takdir dan ciptaan-Nya. Bahkan, ketika Allah murka dan menjatuhkan hukuman duniawi, selalu ada hikmah yang Dia selipkan di dalamnya, sehingga hamba-hamba-Nya bisa memetik pelajaran.
Di saat bersamaan, seringkali rahmat-Nya turun dan bisa dinikmati seluruh makhluk tanpa kecuali, padahal yang berhak dan dituju oleh rahmat itu sebenarnya hanya sebagian dari mereka. Tentu saja, ini bukan karena Allah salah alamat. Lalu, apa rencana Allah di dalamnya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah mereka menahan zakat hartanya, melainkan Allah akan menahan tetesan hujan dari langit, dan kalau saja bukan karena hewan-hewan niscaya mereka tidak akan dituruni hujan.” (Hadits hasan-shahih, riwayat Ibnu Majah no. 4019 dan al-Hakim no. 8623, dari Ibnu Umar).
Teks di atas dipotong dari sebuah riwayat panjang. Sebetulnya, konteks lengkapnya berbicara tentang ancaman Allah kepada orang-orang yang enggan membayar zakat, juga beberapa kemaksiatan lainnya.
Hanya saja, kalimat terakhir dalam hadits tersebut sangat menarik. Bahwa, boleh jadi Allah murka kepada orang-orang yang tidak mau berzakat, dan kemudian menahan tetesan-tetesan hujan sebagai peringatan bagi mereka. Akan tetapi, Allah masih bersedia menurunkan hujan di muka bumi ini. Mengapa? Ternyata, hujan-hujan itu bukan untuk manusia-manusia durjana yang telah berani melanggar syariat-Nya. Itu adalah manifestasi rahmat-Nya kepada hewan-hewan yang tidak berdosa.
Atas dasar ini, sebetulnya sangat layak bagi kita untuk mengintrospeksi diri. Di zaman ketika kemaksiatan semakin merajalela dan banyak orang tidak menunaikan zakat hartanya (zakat maal), tidakkah kita merasa aneh bila hujan masih saja turun seperti biasanya?
Siapakah sebenarnya yang dituju oleh Allah dengan curahan rahmat-Nya ini? Apakah manusia-manusia yang berada di sekeliling kita sebenarnya cukup berhak menerimanya? Bahkan, termasuk kelompok manakah diri kita sendiri di hadapan rahmat tersebut: kelompok yang berhak atau tidak?
Di dalam Al-Qur’an, Allah menyebut hujan sebagai rahmat. Misalnya, dalam surah al-Furqan ayat 48 dinyatakan: “Dia-lah (Allah) yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.”
Bila kita menyaksikan lebih banyak kemaksiatan dan kedurjanaan di sekeliling kita, sementara rahmat Allah masih mengucur dengan sangat deras, ketahuilah bahwa ia bukan pemberian bagi manusia. Mungkin, Allah sudah tidak peduli apakah hujan itu menimbulkan banjir dan tanah longsor yang merugikan manusia, sebab Allah memang tidak memberikannya kepada mereka.
Bisa jadi, Allah hanya ingin menghidupkan kembali rerumputan dan mengalirkan sungai-sungai seperti sediakala. Dengan rumput itu Allah hendak memberi makan belalang, ulat, hewan liar, dan menggerakkan roda ekosistem secara normal. Dengan sungai itu Allah mencukupi kebutuhan ikan, kepiting, katak, buaya, kerang, dan sebangsanya.
Memang, bisa saja manusia yang durhaka turut mengambil manfaat darinya, namun itu urusan mereka. Sebab, setiap pemberian Allah pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Tatkala manusia menikmati karunia Allah dengan penuh sukacita namun enggan melaksanakan syariat-Nya, maka tunggulah datangnya azab, entah di dunia ini atau di akhirat kelak.
Allah berfirman,
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
Hadits di atas juga menginspirasikan satu hal lain lagi. Bahwa bersikap baik dan menjaga kelestarian lingkungan dapat dimaknai sebagai bentuk terima kasih kita kepada alam sekitar, baik berupa hewan, tumbuhan, maupun benda-benda mati.
Siapa tahu bahwa sebenarnya manusia di sekeliling kita – bahkan kita sendiri – sudah pantas diazab, akan tetapi karena Allah masih menyayangi hewan-hewan dan tetumbuhan maka manusia terciprati rahmat yang sesungguhnya ditujukan kepada makhluk-makhluk tak berdosa itu. Andai saja mereka tidak ada, maka rahmat Allah pun tidak akan turun, dan azabnya sudah digelar sejak lama.
Pada kenyataannya, terkadang makhluk-makhluk Allah selain manusia memang lebih layak dirahmati-Nya. Sebab mereka tidak henti-hentinya bertasbih memuji Allah sementara manusia malah sering absen mengingat-Nya.
Allah berfirman,
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan ia bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra’: 44)
Alhasil, jasa-jasa mereka terhadap keberlangsungan eksistensi kita seringkali tidak terduga. Betapa banyak peristiwa dan fakta yang kita alami sebagai kejadian normal, namun sesungguhnya belum kita fahami secara utuh hakikatnya. Ada bagian-bagian tertentu darinya yang masih menjadi misteri dengan tanda tanya besar di sekelilingnya. Hadits diatas sekilas menyingkap salah satunya.
Bahwa apa pun yang bergulir di alam ini sesungguhnya memiliki arah dan tujuan tertentu, dan terkadang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Kalau bukan karena wahyu, kita tidak akan pernah mengerti bahwa tidak selamanya hujan menjadi pertanda rahmat Allah kepada suatu kaum.
Bisa jadi Allah sebetulnya murka kepada mereka, namun membiarkan mereka karena alasan-alasan tertentu, misalnya memberi kesempatan bertaubat dan memperbaiki diri. Kalau pun hujan dan rahmat-Nya masih terus turun, sebenarnya bukan untuk mereka tetapi untuk makhluk-makhluk Allah yang lain. Wallahu a’lam.
Ust. M. Alimin Mukhtar, pengasuh Ar Rohmah Hidayatullah Malang