Hidayatullah.or.id — Menghadapi problematika umat yang begitu kompleks sekarang ini tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan fisik dan intlektual saja, tapi dibutuhkan kekuatan ruhiyah (spiritual).
Demikian ditegaskan Sekjen PP Hidayatullah, Abu A’la Abdullah, saat menyampaikan materi dalam acara Halaqah Peradaban di Masjid Ummul Quro Komplek Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu.
Abu Al’a menjelaskan sesunguhnya tarbiyah ruhiyah bukan ibadah yang berdiri sendiri, tetapi merupakan rangkaian dari amaliyyah meliputi kekuatan aqidah sebagai inti “kekuatan” bagi seorang muslim.
Rangkaian itu selanjutnya adalah perpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan bertauhid, bersyariah, berakhlaq, serta memperkuat kualitas dan kuantitas sholat, tilawah dan zdikir.
“Tapi ternyata untuk memaksimalkan amal-amal tersebut sangat berat, karena memang manusia memiliki sifat-sifat yang Allah takdirkan pada setiap individu seperti sifat tamak, jahula (bodoh), sifat isti’jal (tergesa-gesa), lemah, dan dzholim,” imbuhnya.
Realitasnya tugas sebagai khalifah (khaliifatullah) dan hamba Allah (Abdullah) adalah pekerjaan yang teramat berat. Maka untuk menjalankannya perlu solusinya diantranya.
“Pertama, memperkuat tauhid karena hakikat tauhid adalah al-ikhlas. Kedua adalah memahami Al-Qur’an dan as-sunnah. Ketiga adalah kuantitas dan kualitas ibadah terbaik,” terangnya di hadapan ratusan jamaah.
Di akhir pembahasannya, pria kalem yang biasa disapa Ustadz Abu mengajak untuk melakukan perenungan. Kenapa Indonesia yang mayoritas muslim tidak bisa bersatu. Korupsi dan pezinahan merajalela. Dan, kenapa di Negeri yang secara geografis sangat subur ini tidak jua sejahtera.
“Jawabannya sederhana. Karena tidak menjalankan Al-Qur’an dan sunnah dengan baik”, tukas Ustadz Abu.
Beliau menerangkan, salah satu cara untuk meningkatkan kualitas ruhiyyah perlunya “design” suasana praktis untuk membuat “benteng” ruhiyyah agar tetap terjaga yaitu melalui lingkungan yang Islami, bergaul dengan orang-orang yang baik, baik kulturnya, juga baik sistem pendidikannya.
Bagi yang berada “zona nyaman” seperti telah berprofesi dengan gaji yang cukup, tempat tinggal yang aman dan nyaman, untuk tetap melakukan dakwah dengan fantasiru fil ardh yakni keluar dari kenyamanan karena kenyamanan biasanya melalaikan sehinga malas untuk taqarub kepada Allah.
“Dengan adanya kecemasan terhadap kondisi umat maka akan timbul rasa tidak nyaman, dengan begitu insya Allah akan ada upaya keras dan terus menerus untuk berusaha dan ibadah kepada Allah Ta’ala. Dengan demikian kondisi ruhiyah meningkat,” tandasnya. /* Lalu Mabrul