KETIKA Allah menyebutkan bahwa Al Qur’an adalah hudan (petunjuk), idealnya seorang muslim berkonsentrasi memahami petunjuk itu secara seksama.
Harapannya satu, agar apa yang kita upayakan, benar-benar menghasilkan kebaikan, termasuk dalam hal mendidik anak-anak dan generasi umat.
Mereka tidak saja punya skill, cerdas dan menguasai teknologi. Akan tetapi juga mampu dan mau mendesain diri tampil sebagai orang yang komitmen menjadi orang shalih.
Jika keshalihan hadir dalam diri anak didik kita, maka mereka akan superior yang mampu mengungguli teknologi dengan iman dan ilmu, sehingga kala mereka menghadirkan kreasi dan inovasi baru dalam bidang ilmu dan teknologi, aspek destruktif terhadap alam dan tatanan hidup umat manusia akan benar-benar menjadi perhatian utama.
Sebab kalau mau jujur, kerusakan alam dan gangguan kesehatan mental banyak orang belakangan ini tidak lain karena “ulah” dari tangan manusia itu sendiri.
Ulah tangan yang jauh dari tuntunan Al Qur’an. Mungkin karena asyik dan nyaman dengan kenyamanan semu dan palsu.
Punya smartphone, tapi jiwanya kalah smart. Punya internet tetapi intelektualnya tidak memungkinkan terhubung dengan pesan-pesan spiritual dalam Al Qur’an, hadits dan ilmu yang penting bagi ruhani. Akibatnya manusia hanya tahu uang, materi, jabatan dan kekayaan.
Dan, semakin terkonfirmasi akan hal buruk itu saat kita melihat bagaimana orang banyak terseret pada kejahatan, entah yang melalui dunia maya, maupun dunia nyata.
Salah Kaprah tentang Orang Shalih
Ustadz Abdullah Said dalam salah satu Kajian Malam Jumat (tanggal dan tahun tidak disebutkan) mengingatkan bahwa generasi shalih adalah kunci kebaikan. Namun sayang, kebanyakan orang salah kaprah dalam memahami siapa orang shalih itu.
Begini kata Ustadz Abdullah Said:
“… Kullun minas shalihin, mereka semua (para nabi) adalah orang–orang shaleh. Itulah predikat yang paling menonjol pada diri mereka.
Bukan mereka adalah orang-orang yang cerdas. Bukan intelektualitasnya yang menonjol. Bukan kecerdasannya, keshalehannya, bapak dan saudara-saudara.
Sampai doa nabi Ibrahim distressing “Rabbi habli minas shalihin” karuniai saya, anugerahkan kepada saya kiranya ya Allah keturunan yang shaleh. Doa nabi Ibrahim, doa nabi Sulaiman semua menekankan supaya mereka “wa alhiqna bis shalihin” masukkan kami ya Allah dalam golongan orang-orang yang shalih.
“Waj’alni min ibadika shalihin” jadikan saya dalam kelompok hambamu yang shaleh.
Dalam kondisi modern seperti sekarang ini bapak dan saudara-saudara, nyaris motivasi untuk mengantar orang shaleh tidak ada.
Sebab memang di samping kondisi tidak menolong, pun memang juga tidak ada yang menggiurkan. Seolah-olah bahwa orang yang punya profesi dai, mau jadi shaleh sudah ketinggalan zaman betul, bapak dan saudara-saudara.
Sepertinya tidak tahu perkembangan, ada kesan begitu. Apalagi kalau dikesankan bahwa orang yang shalih kalau jalan tidak menengok ke kiri dan ke kanan.
Orang yang shalih itu selalu tunduk kalau berjalan. Suaranya selalu sayu dan loyo. Kalau makan tidak pernah cukup, itulah ciri-ciri orang shalih.
Kalau di masjid selalu saja tiarap. Jadi memang terkesan citra dan gambaran orang-orang shalih itu kerjanya cuma zikir melulu. Tambah tidak merangsanglah bapak dan saudara-saudara (menjadi orang shalih itu)…”
Menjadi Langkah
Dari paparan Ustadz Abdullah Said itu, kita dapat mengambil pesan bahwa mendidik generasi shalih harus segera menjadi langkah konkret.
Berarti desain pembentukan profil dari murid-murid Pesantren Hidayatullah harus melahirkan pribadi yang shalih. Yakni pribadi ulul albab, yang kuat tauhidnya dan terampil menggunakan teknologi untuk kemaslahatan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana ini menjadi langkah yang menjelma dalam bentuk sistem pendidikan, kurikulum, hingga manajemen mutu pendidikan yang ada.
Dalam kata yang lain, aspek manajerial harus menjadi media yang memungkinkan sisi spiritual tegak dan kokoh dalam pendidikan.
Bukan sebaliknya aspek manajerial menyingkirkan aspek-aspek spiritual, sehingga murid terampil dari sisi skill tapi tidak bisa menjadi pribadi yang shalih.
Dimana pendidikan bagus secara administratif, tetapi rapuh dalam sisi tujuan substantif pendidikan itu sendiri secara manhaji. Murid berprestasi secara akademik, tetapi tidak tertarik untuk peduli dalam membangun peradaban.
Itulah yang harus jadi underline kita semua, agar kelak anak-anak kita kala memimpin bisa amanah. Kala menjabat bisa sayang kepada rakyat. Dan, kala berdagang, sanggup jujur. Saat menjadi hakim, komitmen menegakkan keadilan. Itulah orang-orang yang shalih.[]
*) Penulis bergiat di lembaga kajian Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) | Ketua Umum PP Pemuda Hidayatullah 2020-2023. Publikasi pokok pokok pikiran Ustadz Abdullah Said ini atas kerjasama Media Center Silatnas Hidayatullah dan Hidayatullah.or.id dalam rangka menyambut Silatnas Hidayatullah 2023