SETIAP bertemu Ustadz Hasyim HS, di mana saja selalu ada nasehat yang disampaikan. Baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak diminta apalagi diminta.
Tapi tidak semua santri dan kader Hidayatullah bisa mendapatkan langsung nasehat dari beliau. Faktor sungkan, segan, malu ataupun takut karena sosok Ustadz Hasyim HS sebagai seorang Alim yang tidak banyak bicara.
Padahal ketika sudah dekat dan akrab maka beliau banyak cerita dan nasehat yang disampaikan. Bahkan terkadang sulit untuk berhenti bercerita.
Penulis bertemu dan mengenal pertama kali saat beliau menguji calon alumni STAIL Hidayatullah Surabaya angkatan pertama. Beliau menguji manhaj Sistematika Wahyu. Kesan teman-teman dan penulis saat itu, beliau adalah sosok kyai dengan aura yang sangat berwibawa.
Pertanyaannya sederhana dengan nada datar dan menatap teruji, tapi tidak mudah untuk menjawabnya. Keringat dingin membasahi baju sebelum diuji beliau.
Qadarullah, penulis mendapatkan SK tugas di Hidayatullah Gunung Tembak dan bertemu beliau kembali. Alhamdulillah pengalaman diuji di Surabaya menjadi pintu untuk bisa mendekat ke beliau sambil nostalgia.
19 tahun bertugas di Gunung Tembak, membersamai beliau dalam tugas mendidik para kader muda. Bukan hanya sebagai ustadz tapi seperti orang tua.
Banyak nasehat yang beliau berikan ketika silaturahim ke rumahnya ataupun bertemu di masjid. Bahkan biasa bercerita sambil canda dan tertawa.
Pernah penulis curhat atau mengadu tentang banyaknya permintaan dari daerah untuk alumni STIS PUZ, sementara jumlah alumni terbatas.
Beliau diam sejenak lalu menjawab, “Seandainya semua guru dan santri-santri Gunung Tembak ini ditugaskan semua ke daerah maka tetap kurang. Karena kader itu mahal dan sulit didapatkan, sejak dulu hingga nanti ke depan. Maka tugas kita istiqomah mencetak kader, berapapun dan bagaimanapun kondisinya”.
Tenang rasanya mendengar nasehat beliau.
Ada nasehat sederhana tapi membekas bagi penulis yang belau sampaikan, “Latihan tanggungjawab dari merawat motor sendiri agar tidak kotor, berdebu dan merapihkan sandal sendiri saat di masjid atau di rumah. Itu tidak mudah dan tak memerlukan sekolah tinggi-tinggi tapi berat, buktinya banyak motor kader tak terawat kebersihannya dan sandal di masjid masih banyak yang berserakan”
Ustadz Hasyim HS sebagai banyak mutiara nasehat yang diberikan sesuai dengan kondisi. Saat tugas, nasehatnya, “Jangan minta dipahami orang lain tapi pahami dulu orang lain”
Saat menikah, “Pahami istri sebagai sahabat, sehingga kekurangan dan kelebihannya menjadi indah”
Saat kerja bakti, “Ini bukan sekedar kerja fisik tapi amal sholeh, ketaatan kepemimpinan dan tarbiyah” beliau saat sehatnya tak pernah absen kerja bakti, bahkan datang lebih awal, padahal senior dan dimaklumi untuk istirahat di rumah
Saat motivasi santri-santri. “Jika masih muda dan tidak mau menyesal, maksimal kan waktu untuk belajar, jangan santai apalagi malas”
Semua warga dan santri, menjadikan ustadz Hasyim HS sebagai guru, teladan, inspirator dan motivator. Diamnya saja menjadi nasehat, tentu nasehatnya ditunggu-tunggu.
Cerita-cerita yang bernuansa nasehat juga mengalir dari ustadz Hasyim HS. Sang penasehat telah meninggalkan kita secara fisik, namun nasehatnya menjadi warisan amal jariyah yang terus mengalir pahala kebaikannya kepada beliau.
Beliau meninggalkan istri tercinta Ustadzah Rosmala Dewi, delapan putra putri dan 25 cucu. Alhamdulillah semua masih istiqomah berkiprah di Hidayatullah.
Semoga semua mendapatkan hikmah dan kesabaran yang luar biasa dari wafat orang tua tercintanya.[]
*) Dr Abdul Ghofar Hadi, penulis Wasekjend I DPP Hidayatullah