SETIAP orang memiliki karakter dan ciri khas, yang dengan itu ia dikenal di tengah-tengah masyarakat dan mudah dibedakan dari orang lain. Ada orang yang dikenal karena kelucuannya, ada juga keseriusannya.
Ada lagi yang dikenal karena kebaikannya, ada pula kejahatannya. Daftar ciri khas dan karakter ini dapat terus diperpanjang, misalnya jenis kelamin, usia, ciri fisik, gelar, suara, cara berpakaian, tindak-tanduk, profesi, tempat tinggal, daerah asal, dan masih banyak lagi.
Misalnya, ketika kita bertanya alamat seseorang, terkadang orang yang kita tanyai – atau, kita sendiri – akan menambahkan ciri dan karakter tertentu pada orang yang kita cari. Bisa jadi kita berkata, “Dimana alamat Pak Musa guru?” Atau, “Pak Hasan, aslinya dari Kediri?” Biasanya, dengan ciri khas itulah alamat yang kita tuju lebih cepat ditemukan dan tidak salah atau nyasar kepada orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah bertanya kepada para sahabat, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terbaik diantara kalian?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Yaitu, orang-orang yang jika mereka terlihat (oleh kalian), maka mengingatkan kepada Allah ta’ala.”
Beliau kemudian bersabda lagi, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terburuk diantara kalian? Yaitu, orang yang kesana-kemari menebar fitnah, yang suka merusak kesetiaan diantara orang-orang yang saling mencintai, dan yang mengusahakan timbulnya kerusakan serta dosa di tengah-tengah orang-orang yang bersih (kehidupannya).” (Hadits riwayat Ahmad, sanad-nya hasan li ghairihi).
Menurut beliau, ciri khas orang terbaik adalah jika kita melihat mereka maka kita akan teringat kepada Allah. Berapa banyak orang-orang yang seperti ini di sekitar kita? Berapa banyak orang-orang yang kepribadian dan tindakannya menyejukkan hati dan meningkatkan keimanan, menambah rasa syukur, dan menenangkan jiwa?
Atau, justru sebaliknya, dimana justru lebih banyak orang-orang yang membuat kita semakin jauh dari Allah, bertambah gila kepada dunia, merongrong jiwa, mengotori hati, mengobarkan syahwat, dan mengerdilkan taqwa? Atau, termasuk kelompok manakah kita?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengukur kebaikan seseorang dari harta atau rupa, namun komitmen kepada agama dan keteguhannya berpegang pada syariat. Komitmen itu pasti akan tampak nyata dalam pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatannya.
Orang yang pikiran maupun perasaannya penuh kesia-siaan dan main-main, pastilah mudah dikenali dari kata-kata dan tindak-tanduknya. Agenda kegiatan hariannya pun penuh kesia-siaan, sejak pagi, siang, sore, malam, hingga pagi kembali. Tema perbincangan yang disukainya pun tidak akan jauh dari senda-gurau dan main-main itu. Sebab, hati adalah raja, dan seluruh tubuh adalah tentaranya.
Mau apa dan bagaimana tentara itu sangat tergantung apa dan bagaimana rajanya. Jika hidupnya penuh kesia-siaan, adakah kita langsung teringat kepada Allah begitu melihatnya?
Maka, sangat wajar jika Allah menyuruh kita menutup aurat dan menjaga penampilan. Sebab, itu akan menentukan apakah kita ini termasuk orang terbaik atau justru terburuk. Betapa banyak orang yang cara berpakaiannya justru menebar fitnah, merusak rumahtangga orang lain, dan memicu perzinaan serta dosa. Sungguh, betapa buruk perbuatan mereka. Na’udzu billah!
Sangat beralasan pula kiranya jika para ulama’ melarang kita berteman dengan orang-orang yang tidak membuat kita segan bermaksiat di dekatnya. Tentu saja, akan lebih terlarang lagi jika teman tersebut justru merupakan sumber kemaksiatan dan bencana pada agama kita. Inilah seburuk-buruk orang!
Diriwayatkan dari Imam ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah berteman dengan orang jahil (tidak bermoral); jauhkan dirimu darinya dan hati-hati kepadanya; Berapa banyak orang jahil yang menjatuhkan martabat orang yang baik-baik saat mereka berteman dengannya; Sebab, seseorang itu akan diukur dengan teman seperjalanannya”.
Dengan demikian, sudah selayaknya kita selalu berusaha untuk menjadi orang yang baik; sosok yang membuat orang lain teringat Allah dimana pun kita berada. Bukan karena ingin dipuji dan dicap sebagai orang shalih, namun agar hidup kita benar-benar terpuji dan shalih di hadapan Allah.
Sebab, seorang muslim adalah saksi bagi sesamanya. Siapa yang baik di mata mereka adalah baik di mata Allah, demikian pula sebaliknya. Karena, seorang muslim sejati akan menilai dengan apa yang digariskan oleh Allah, tentang baik dan buruk, benar dan salah, bukan semata-mata menurut selera pribadi maupun tren yang berkembang.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita, bahwa suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sekelompok sahabat berpapasan dengan iring-iringan jenazah, lalu mereka pun memuji kebaikan orang yang sudah meninggal itu. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan iring-iringan jenazah lainnya, dan mereka menyebut-nyebut jenazah itu sebagai orang yang tidak baik.
Ketika itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sudah pasti!” Mendengar kalimat itu, ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apanya yang sudah pasti?” Beliau menjawab, “Orang yang ini kalian puji kebaikannya, maka sudah pasti baginya surga; dan yang satunya lagi kalian nyatakan sebagai orang yang buruk, maka sudah pasti baginya neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.” (Hadits riwayat Bukhari-Muslim. Redaksi ini milik Bukhari).
Bukankah seorang mukmin adalah cermin bagi sesamanya, tempat saling menimbang, memberi nasihat dan memperbaiki diri? Maka, berhati-hatilah agar jangan sampai mereka bersaksi di hadapan Allah bahwa kita adalah seburuk-buruk manusia! Na’udzu billah.
Ust. M. Alimin Mukhtar