AdvertisementAdvertisement

Ya Allah Perbaiki Segala Urusanku dan Jangan Serahkan pada Diriku Sekejap Mata pun

Content Partner

JIKA Anda titip kepada seseorang agar dibelikan nasi goreng di suatu tempat yang cukup jauh dari rumah, apa yang Anda lakukan?

Apakah Anda memberikan uang dan membiarkan orang itu pergi ke tempat yang dimaksud, atau Anda ikut bersamanya dan mendikte seluruh belokan yang harus dilalui, menunjukkan tempatnya, memesan nasi goreng, membayarnya, lalu mengajaknya pulang?

Tentu, tindakan pertamalah yang benar. Jika Anda titip, maka Anda percaya penuh kepada orang yang dititipi itu dan membiarkannya bekerja untuk mewujudkan keinginan Anda, tidak ikut campur apalagi mendikte sedetil-detilnya.

Anda akan pasrah pada hasilnya, dan baru memutuskan perubahan jika orang yang dititipi berkonsultasi. Jika Anda turut-campur dan mendikte, pasti orang tadi jengkel. Ia akan berseru dengan marah, “Pergi saja sendiri!”

Demikianlah semestinya keadaan kita bila memohon sesuatu kepada Allah. Pasrahkan kepada-Nya, bukan mendikte-Nya. Dia lebih tahu apa yang terbaik bagi kita, dan akan mengatur pemberian itu sebaik mungkin.

Namun, yang sering terjadi tidaklah seperti itu. Kita mengaku pasrah dan menyerahkan segalanya kepada Allah, padahal hati dan pikiran kita masih memaksakan ini dan itu. Dan ketika pemberian-Nya turun, kita kecewa bahkan merasa tidak diperhatikan oleh-Nya, hanya karena spesifikasinya tidak persis sama dengan harapan kita.

Kekurangajaran macam apa ini? Bukankah kita telah mengaku pasrah kepada Allah, namun kenapa masih mendikte-Nya?

Bagaimana jika Dia murka dan mengembalikan semua permohonan itu kepada kita sendiri? Bukankah diantara kecelakaan terbesar adalah ketika Allah murka dan membiarkan kita mengurus diri sendiri, tanpa perhatian dan dukungan dari-Nya?

Oleh karenanya, diantara wirid tawajjuhat pagi/sore yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat pernyataan ini:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

(Yaa hayyu yaa qayyuum bi rahmatika astaghiitsu ashlih liy sya’niy kullahu wa laa takilniy ilaa nafsiy tharfata ‘ain)

“Wahai Tuhan yang Maha Hidup; wahai Tuhan yang Maha Mengurusi segala sesuatu; aku mohon pertolongan kepada-Mu, dengan kasih sayang-Mu. Perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan aku kepada diriku sendiri walau sekejap mata pun” [Riwayat Ibnus Sunniy dan al-Hakim yang men-shahih-kannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi].

Kita memohon kepada Allah karena sadar akan keterbatasan diri ini. Kita mengharapkan bantuan, pertolongan, dan dukungan-Nya. Tanpa-Nya kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Untuk itulah kita layak merendahkan diri dan menundukkan muka, bukan meninggikan suara dan mengangkat dagu.

Pada saat berdoa, seorang mukmin akan menyadari posisinya sebagai hamba yang lemah, bukan bertindak seperti majikan yang bisa memerintah Tuhan melakukan apa yang diinginkannya. Sejak kapan kita membalik posisi dari hamba menjadi majikan? Duh, amat sangat tidak beradab!

Al-Qur’an pun telah mengajarkan adab-adab berdoa kepada Allah, diantaranya:

قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱللَّهَ أَوِ ٱدْعُوا۟ ٱلرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَّا تَدْعُوا۟ فَلَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَٱبْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا

“Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman! Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik). Janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam doamu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS al-Isra’: 110).

Menurut ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain, ayat di atas turun berkenaan dengan doa dan permohonan.

‘Abdullah bin Syaddad menceritakan bahwa orang-orang Arab Badui pada zaman Nabi sering berlaku tidak sopan ketika berdoa. Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyelesaikan shalat dan membaca salam, mereka kemudian berteriak keras-keras, “Ya Allah, berilah kami unta dan anak!”

Maka, ayat ini pun turun, yang menyuruh kaum muslimin agar bersikap pertengahan dalam berdoa: tidak terlalu mengeraskan suara sekaligus tidak terlalu melirihkannya. (Lihat: Tafsir ath-Thabari, XVII/581-583).

Selain adab-adab lahiriah ketika berdoa, diantara hal lain yang menunjukkan murninya kepasrahan adalah sikap batin kita sendiri. Apakah kita protes bila pemberian Allah tidak seperti yang kita harapkan, atau justru berprasangka baik kepada hikmah di baliknya?

Apakah kita menggugat kebijaksanan-Nya, atau menerimanya dengan penuh rasa syukur? Sesungguhnya, keikhlasan seorang mukmin diuji pada titik ini, yakni bagaimana ia menyikapi pemberian dan pilihan Allah untuknya.

Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS al-Ahzab: 36)

Ketulusan dan prasangka baik merupakan kunci keselamatan dalam mengarungi pasang-surut kehidupan. Dengan ketulusan maka hati kita tidak disibukkan oleh amarah, sementara prasangka baik akan membimbing kita untuk selalu berpikir positif.

Keduanya akan memandu kita agar selalu menemukan energi untuk terus maju. Demikianlah sikap generasi Salaf kepada Allah, sebagaimana diceritakan para ulama.

Al-Hafizh Ibnu Abi ad-Dunya meriwayatkan bahwa salah seorang putra Ibnu Mas’ud berkata, “Beruntunglah orang yang mengikhlaskan ibadah dan doanya hanya untuk Allah; orang yang hatinya tidak tersibukkan oleh apa yang dilihat oleh matanya; orang yang dizikirnya tidak terlupakan oleh apa yang didengar oleh telinganya; dan orang yang jiwanya tidak menjadi sedih atas apa yang diberikan Allah kepada orang selainnya.” (Al-Ikhlash wan Niyyat, no. 7).

Sikap-sikap batin seperti inilah yang membuat seorang mukmin merasa nyaman, sehingga hidupnya diberkahi dengan aneka prestasi, bukan berjibun keluhan dan protes. Wallahu a’lam.

*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Islam Ar-Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Batu Malang

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Membumikan Jatidiri Organisasi: Pondasi Menuju Peradaban Islam

DI TENGAH hiruk pikuknya kehidupan modern, sebagian organisasi Islam hadir sebagai penjaga keberkahan dan keadilan bagi umatnya. Namun, keberadaan...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img