
PRESIDEN Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke lima negara kawasan Timur Tengah selama sepekan ke depan untuk berkonsultasi dengan para pemimpin negara Timur Tengah terkait konflik di Gaza dan berencana melakukan evakuasi 1.000 pasien asal Gaza. Kelima negara yang dikunjungi Prabowo, antara lain Uni Emirat Arab (UEA), Turkiye, Mesir, Qatar, dan Yordania.
Langkah ini perlu kita apresiasi karena menunjukkan bagaimana Indonesia terus memberikan perhatian terhadap genosida bangsa Palestina, tetapi langkah itu tetap tidak cukup menghentikan kekejaman “Israel”.
Jika tujuannya untuk evakuasi medis, perlu dicatat Mesir, Yordania, dan negara-negara Arab lainnya masih tidak kekurangan dokter dan peralatan medis untuk menangani pasien-pasien dari Gaza.
Ini saya dengar saat mengunjungi Kairo beberapa waktu lalu. Pihak Otoritas Mesir ternyata masih mampu menampung pasien-pasien dari Gaza. Mereka tidak terlalu memerlukan bantuan dari tenaga medis negara lain untuk merawat pasien-pasien Gaza. Sebab, jumlah ketersediaan dokter dan rumah sakit masih mencukupi.
Jika tujuannya medis, seharusnya pemerintah lebih banyak berperan memudahkan para dokter dari Indonesia untuk dapat memasuki Gaza. Amat sayang, jika kunjungan Prabowo ini hanya digunakan untuk melakukan evakuasi pasien Gaza. Bagi seorang pemimpin negara, Prabowo seharusnya beyond diplomasi yang konvensional.
Karena kita tidak berpikir biasa dalam situasi genosida sekarang, pemerintah perlu melakukan diplomasi out of the box.
Seperti menghentikan hubungan ekonomi dan diplomatik dengan Tel Aviv. Jika itu dilakukan, pasti akan berdampak terhadap “Israel” dan menjadi tekanan yang nyata.
Arab Saudi pernah menorehkan kebijakan luar negeri yang sangat heroik dengan menghantam ekonomi AS melalui embargo minyak oleh Raja Faisal bin Abdulaziz al-Saud pada tahun 1973.
Langkah embargo minyak itu diambil sebagai respons atas dukungan Washington terhadap “Israel” selama Perang Yom Kippur atau Perang Oktober.
Jadi, Prabowo juga dapat membisiki MBS agar keinginan Trump yang mengincar investasi 1 triliun dolar AS dari Arab Saudi, bisa dijadikan bargaining kepada AS untuk menghentikan genosida Gaza dan stop memberikan bantuan militer kepada Netanyahu.
Kalau itu terjadi, nasib Netanyahu bisa 11-12 sama dengan Assad. Saat Putin berhenti membantu Assad, maka rezim jagal tersebut seketika kolaps.
Artinya: selama hasil dari kunjungan Prabowo tidak disertai dengan langkah tegas terhadap “Israel”, maka tur Timur Tengah Prabowo tidak akan efektif. Kita hanya akan terjebak dengan lingkaran labirin genosida yang tak akan usai. Bahkan hingga 100.000 orang pun kita evakuasi dari Gaza.
Prabowo juga bisa menggalang dukungan dalam tur Timur Tengah kali ini untuk memberikan garis merah kepada penjajah. Prabowo harus berani berbicara adanya deadline yang diberikan kepada “Israel” untuk menghentikan genosida Gaza.
Jika ini tidak dipatuhi, maka jangan salahkan negara Muslim untuk mengambil pilihan intervensi militer dengan mengajukan Responsibility to Protect sesuai Piagam PBB demi melindungi masyarakat Gaza dari genosida.
Sebab pendekatan non-militer selama ini terbukti gagal melindungi bangsa Palestina dan menghentikan genosida. Total sudah hampir 51 ribu warga Gaza yang tewas akibat genosida penjajah.
Bahkan kajian yang dipublikasikan jurnal medis Inggris, The Lancet, pada Juli 2024 mengindikasikan jumlah kematian di Gaza jauh lebih rendah dari angka sebenarnya, yakni melampaui 186 ribu jiwa.
Sejatinya kekuatan negara-negara Arab sudah ditakar oleh Netanyahu. Oleh karena itu, selain melakukan diplomasi di Timteng, Prabowo juga harus melakukan terobosan diplomasi dengan menggalang advokasi internasional ke negara-negara non-OKI yang selama ini berani menantang “Israel”, seperti Afrika Selatan, Skotlandia, Irlandia, Bolivia dll.
Negara-negara ini masih lebih bernyali dari negara-negara Arab. Afrika Selatan menyeret “Israel” ke ICJ. Bolivia telah memutuskan hubungan dengan “Israel” di awal-awal genosida. Irlandia bahkan menjadi salah satu negara Eropa yang sangat pro-Palestina.
Ini yang dilakukan sembilan negara yang tergabung dalam The Hague Group (Afrika Selatan, Belize, Namibia, Kolombia, Bolivia, Chili, Senegal, Honduras, dan Malaysia).
Ada target-target terukur yang mereka angkat, yakni menyepakati agar keputusan ICC dan ICJ lebih konkret diwujudkan dan memberikan sanksi boikot secara ekonomi dan diplomatik terhadap “Israel” secara kolektif.
Terbukti surat perintah yang dikeluarkan ICC berhasil mengisolir Netanyahu. Ia hanya mampu mengunjungi negara kecil di Eropa, yakni Hungaria yang memang menjadi sekutu “Israel”.
Tidak hanya itu, Netanyahu terpaksa menempuh rute 400 km lebih jauh saat mengunjungi Washington agar terhindar dari pendaratan darurat di negara anggota ICC.
Walhasil, ini masih jauh lebih baik dari sekadar kecaman dan kutukan. Selama diplomasi kita hanya diplomasi resolusi, kutukan, selama itu pula penjajah tidak pernah takut.
Jika dulu Soekarno berani menggalang gerakan nonblok dan Asia-Afrika untuk melawan kolonialisme dan membebaskan mereka dari penjajahan, hal sama seharusnya bisa dilakukan Indonesia.
“Kita menjalankan politik bebas itu tidak sekadar secara cuci tangan, tidak sekadar secara defensif, tidak sekadar secara apologetis. Kita aktif, kita berprinsip, kita berpendirian!” kata Bung Karno dalam pidatonya pada 17 Agustus 1960.
Harus dicatat, Netanyahu sekarang benar-benar dalam posisi lemah di tingkat domestik. Tiap pekan kita melihat bagaimana pemukim “Israel” demo berkali-kali mendesak Netanyahu gencatan senjata dengan Hamas demi pembebasan sandera. Mereka menilai perang ini hanya akal bulus Netanyahu agar tetap berkuasa dan tak dipenjara dalam kasus skandal korupsi.
Bahkan fenomena terbaru, hampir seribu pilot, tentara, dan perwira mengajukan petisi mogok perang karena tidak adanya kejelasan dalam tujuan perang dan nyatanya banyak tantara yang tewas dalam perang Gaza, bahkan bunuh diri.
Militer “Israel” pun panik dan balik mengancam mereka yang mogok perang di Gaza. Kita saat ini sudah melihat bagaimana internal militer penjajah sudah saling kepruk. Mahkamah Agung “Israel” pun membatalkan keputusan Netanyahu yang memecat Kepala Shin Bet yang kritis dengan kebijakan perang Netanyahu. Tuntutan terhadap Netanyahu pun terus menguat.
Tekanan domestik ini yang membuat Netanyahu terbang bertemu Trump, sebagai tempat satu-satunya dia bersandar sekarang di tengah para pemimpin Eropa yang telah meninggalkannya.
Sebagai orang Muslim dan masih suasana Syawal, saya ber-husnuzan ini semua sudah dipikirkan Prabowo. (*)
*) Pizaro Gozali Idrus, penulis adalah Dewan Pakar Yayasan Khidmat Indonesia untuk Tanah Amanah (KITA), Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute, dan kandidat bidang HI di Center for Policy Research USM Malaysia. Naskah ini telah terbit di laman Sahabat Al Aqsha.