
DEPOK (Hidayatullah.or.id) — Tahun baru Hijriyah adalah momen refleksi spiritual dan historis yang menyimpan makna transformatif. Hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah bukan semata perpindahan geografis, tetapi lebih dari itu, merupakan titik tolak bagi perubahan sistemik dalam peradaban Islam.
Perpindahan dari tekanan menuju pembebasan, dari keterasingan menuju kekuatan kolektif, dari keterbatasan menuju visi besar kenabian.
Maka pertanyaannya kini, bagaimana makna hijrah itu kita aktualisasikan hari ini, di zaman yang tidak selalu menuntut kita berpindah tempat?
Ketua Dewan Murabbi Pusat (DMP) Hidayatullah Ust. Dr. H. Tasyrif Amin, M.Pd, menjelaskan, hijrah, pada esensinya, adalah proses keluar dari kondisi lama menuju keadaan yang lebih baik, baik secara ruhani, intelektual, maupun sosial.
Tasyrif memaknai ‘hijrah’ masa kini sebagai dinamika yang menuntut progresivitas, iman yang bertambah, akhlak yang melekat dalam keseharian, sampai kontribusi yang semakin nyata dalam masyarakat.
“Maka, orang yang tidak berpindah tempat pun dapat menjadi ‘muhajir’ sejati selama hidupnya dipenuhi peningkatan, perubahan, dan komitmen kepada kebaikan,” katanya dalam pengajian pekanan digelar Halaqah Ibnu Mas’ud di Depok, Rabu malam, 6 Muharram 1447 (2/7/2025).
Dalam hal ini, Tasyrif mengajak meneladani setidaknya dua sosok besar yang lekat dengan perjalanan hijrah Rasulullah yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Keduanya bukan hanya sahabat yang setia, tetapi juga teladan progresif dalam iman dan peran sosial.
Abu Bakar adalah figur kejujuran, keteguhan, dan pengorbanan. Ia bukan hanya ikut hijrah secara fisik, tapi seluruh eksistensinya hijrah menuju pengabdian total. Sementara Umar bin Khattab dikenal dengan keberanian dan ketegasannya, adalah potret perubahan total.
Keteladanan dua sahabat ini menunjukkan bahwa hijrah sejati adalah kontinuitas perubahan ke arah yang lebih luhur. Mereka tidak stagnan. Keimanan mereka tidak beku. Akhlaknya terpuji kiprahnya membumi. Peran mereka tidak membosankan.
“Dalam setiap fase hidup Rasulullah, mereka hadir sebagai pelengkap misi profetik, sebagai aktor sejarah yang tidak puas hanya menjadi pengikut pasif, tapi sebagai penopang dan penjaga risalah,” katanya.
Hari ini, jelas Tasyrif, kita tidak dituntut meninggalkan kota tempat tinggal, tetapi ditantang untuk meninggalkan kebiasaan lama yang merusak, menanggalkan pola pikir yang membelenggu, dan meninggalkan zona nyaman yang meninabobokan.
Karena itu, lanjutnya, momentum 1 Muharram mestinya menjadi refleksi tahunan atas sejauh mana kita mengalami peningkatan positif dengan memaknai hijrah sebagai metode transformasi, jalan hidup menuju Allah.
“Maka penting sekali untuk selalu menanamkan ruh hijrah dalam kesadaran kolektif, baik dalam orientasi pribadi maupun organisasi. Berhijrah dengan gerak hati, akal, dan amal. Tanpa henti, sampai kelak kita kembali kepada Allah Ta’ala dalam keadaan terbaik,” pungkasnya.*/






