AdvertisementAdvertisement

Pentingnya Budaya Musyawarah dan Nasihat untuk Hindari Kekeliruan

Content Partner

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Dalam catatan hikmah singkatnya, Anggota Dewan Mudzakarah Hidayatullah Ustadz Akib Junaid Kahar mengangkat tema hakikat kesalahan manusia, pentingnya taubat, serta budaya musyawarah dan saling menasihati dalam menjaga kesehatan suatu jamaah.

Ia membuka pesannya dengan mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang menegaskan bahwa kesalahan adalah bagian dari fitrah manusia.

“Setiap anak Adam pasti pernah berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat” (HR. Ibnu Majah).

Ustadz Akib menjelaskan bahwa sabda Nabi ini penegasan teologis tentang kemanusiaan. Tidak ada manusia yang sepenuhnya terhindar dari kesalahan, sekalipun memiliki kedudukan tinggi atau kehati-hatian luar biasa dalam menjaga diri.

“Sabda Rasulullah ini menegaskan bahwa kesalahan adalah bagian dari fitrah manusia. Siapa pun dia, apapun status dan kedudukannya, meskipun memiliki tekad kuat dan kehati-hatian luar biasa dalam menjaga diri, tetap akan ada saat di mana ia tergelincir dalam kekhilafan,” ujar Akib yang dikutip dalam notes-nya, pada Selasa, 22 Rabi’ul Akhir 1447 (14/10/2025).

Ia menambahkan bahwa bahkan para nabi dan rasul yang menjadi teladan umat pun tidak dikecualikan dari kemungkinan berbuat salah. Namun, kesalahan mereka selalu diikuti dengan teguran langsung dari Allah sebagai bentuk kasih sayang dan pendidikan bagi umat manusia.

“Para nabi dan rasul, manusia pilihan yang dimuliakan Allah, pun tidak luput dari kesalahan. Bahkan, dalam Al-Qur’an, Allah menampilkan beberapa kisah mereka yang diberi teguran langsung,” jelasnya.

Melalui penjelasan tersebut, Akib menekankan pentingnya sikap rendah hati dan kesadaran diri, terutama bagi mereka yang memegang amanah kepemimpinan atau tanggung jawab publik. Ia menilai bahwa klaim kebenaran mutlak atau merasa diri suci dari kesalahan merupakan bentuk keangkuhan yang harus dihindari.

“Maka, sungguh mengherankan bila ada manusia yang merasa diri selalu benar, apalagi bila ia adalah seorang pemangku amanah,” katanya.

Dalam pandangan Akib, salah satu cara efektif untuk mencegah kesalahan dan memperbaiki keputusan adalah melalui musyawarah. Prinsip ini bukan hanya tuntunan sosial, tetapi juga metode spiritual yang mengandung keberkahan bila dilakukan dengan niat yang tulus.

“Musyawarah adalah jalan penyelamat, yang dapat meminimalisir kesalahan. Meski tidak menjamin kebenaran mutlak, musyawarah membuka ruang bagi pendapat lain yang mungkin luput dari pandangan kita,” tuturnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa musyawarah yang kehilangan keikhlasan akan kehilangan fungsinya sebagai sarana koreksi bersama. Bila hanya dijadikan formalitas atau alat pembenaran bagi kepentingan tertentu, maka manfaatnya akan sirna.

“Namun, bila musyawarah hanya dijadikan formalitas, atau alat legitimasi niat tersembunyi, maka keberkahannya pun sirna,” lanjutnya.

Ustadz Akib kemudian mencontohkan bagaimana Allah memperlakukan para rasul yang melakukan kekeliruan. Dalam setiap peristiwa itu, terdapat pola pendidikan Ilahi yang menunjukkan pentingnya bimbingan dan koreksi agar kesalahan tidak berlarut.

“Para rasul yang menjadi teladan umat manusia tidak dibiarkan terjerumus terlalu jauh. Setiap kali mereka keliru, Allah langsung memberikan teguran atau koreksi, agar kesalahan tidak berlanjut,” ucapnya.

Dari peristiwa tersebut, ia menarik dua pelajaran penting yang dapat diterapkan dalam kehidupan individu maupun jamaah atau harakah. Pertama, manusia harus menyadari bahwa kesalahan merupakan keniscayaan. Kedua, setiap kesalahan harus disikapi dengan kelapangan hati untuk menerima teguran dan memperbaiki diri.

“Dari sini, setidaknya ada dua pelajaran penting. Pertama, kita harus sadar bahwa sebagai manusia biasa, pasti ada saatnya kita berbuat salah. Kedua, kita harus memiliki kelapangan hati untuk menerima teguran dengan jiwa besar,” terangnya.

Lebih lanjut, Ustadz Akib menegaskan bahwa suatu jamaah atau organisasi hanya dapat bertahan dalam kondisi sehat bila di dalamnya tumbuh budaya saling menasihati dengan kasih sayang. Prinsip saling mengingatkan, menurutnya, merupakan mekanisme sosial yang mencegah penyimpangan dan menumbuhkan solidaritas.

“Sebuah jamaah akan berjalan stabil dan sehat bila dalam tubuhnya tumbuh budaya saling menasihati dengan penuh kasih sayang. Bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk saling menjaga agar tidak ada yang larut dalam kesalahan,” jelasnya.

Namun, ia juga memberikan peringatan tegas tentang bahaya ketika budaya kritik dan nasihat mulai dianggap sebagai ancaman. Jika setiap bentuk teguran diartikan sebagai upaya menjatuhkan, maka organisasi atau jamaah tersebut sedang menuju keruntuhan moral dan struktural.

“Namun, sebaliknya, jika budaya saling mengingatkan dianggap sebagai gangguan dan semua bentuk kritik disimpulkan sebagai upaya menjatuhkan, maka kehancuran hanyalah soal waktu,” katanya.

Dalam bagian penutup pesannya, Ustadz Akib memperingatkan tentang fenomena yang lebih berbahaya, yakni munculnya kesepakatan diam di dalam kelompok. Ketika setiap anggota memilih untuk tidak saling menegur demi menjaga kenyamanan semu, maka kebenaran kehilangan tempatnya dan kesalahan menjadi hal yang biasa.

“Lebih mengerikan lagi bila dalam sebuah jamaah tumbuh kesepakatan tak tertulis untuk tidak saling ‘mengganggu’. Setiap orang bebas berkreasi sesuai minat dan kepentingannya, asal tidak menyentuh wilayah kepentingan kelompok lain. Ini adalah awal dari budaya diam yang mematikan, di mana kesalahan dibiarkan dan kebenaran menjadi sunyi,” tegasnya menutup pesan hikmah tersebut.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Hidayatullah Serukan Penguatan Perlindungan Digital dan Sosial Anak di Hari Anak Sedunia

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Ketua Departemen Sosial Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Imron Faizin, menyerukan agar momentum peringatan Hari Anak...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img