
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Refleksi keagamaan adalah ruang bagi setiap muslim untuk mengurai kembali makna hidup yang sering kali tertutup oleh rutinitas. Salah satu tema yang terus relevan adalah tentang rezeki, terutama bagaimana manusia memahaminya, meresponsnya, dan meletakkannya dalam hubungan dengan nilai-nilai spiritual.
Dalam kajian Rabu malam di Masjid Baitul Karim, Pusat Dakwah Hidayatullah, Jakarta, Rabu malam, 14 Jumadilawal 1447 (5/11/2025), Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, K.H. Naspi Arsyad, menelaah mengenai tafsir rezeki berdasarkan Surah Al-Fajr ayat 15–16.
Pada pembahasan awal, K.H. Naspi Arsyad menegaskan bahwa rezeki tidak semata-mata identik dengan materi ataupun kelapangan harta. Ia menyampaikan bahwa segala sesuatu yang melapangkan hati, menenangkan jiwa, dan mendekatkan diri kepada Allah merupakan rezeki.
Penekanan ini menjadi dasar untuk memahami lebih jauh pesan Al-Qur’an yang membuka ruang makna rezeki secara lebih komprehensif dan tidak terbatas pada ukuran duniawi.
Kajian dibuka dengan pembacaan ayat: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku’.” (QS. Al-Fajr: 15–16).
Ayat tersebut menggambarkan sikap sebagian manusia yang menilai kemuliaan atau kehinaan melalui banyak dan sedikitnya harta. Menurut penjelasan yang disampaikan, pandangan demikian mencerminkan karakter orang musyrik dan munafik pada masa turunnya ayat, yang menilai derajat dan kehormatan dari besaran materi yang dimiliki.
Dalam kesempatan tersebut, K.H. Naspi Arsyad menguraikan empat pesan penting terkait pemahaman rezeki. Pertama, bahwa rezeki meliputi segala hal yang memberi kelapangan batin. Ia mencontohkan kesehatan, keluarga yang tenteram, kekuatan beribadah, hingga kemampuan untuk bersyukur sebagai bentuk rezeki yang sering tidak terperhatikan.
Kedua, kesadaran terhadap rezeki itu sendiri dipandang sebagai rezeki tertinggi. Ia menjelaskan bahwa banyak orang menikmati nikmat tetapi tidak menyadari bahwa itu merupakan pemberian Allah. Kesadaran untuk melihat segala hal sebagai karunia disebut sebagai bentuk rezeki yang mengangkat derajat spiritual seorang hamba.
Ketiga, ibadah tidak seharusnya dikerjakan sekadar karena kebiasaan. Ia menekankan bahwa ibadah yang dilakukan tanpa kesadaran dan keikhlasan belum menjadi rezeki. Rezeki beribadah muncul saat seorang hamba menjalankannya dengan rasa syukur dan pemahaman akan nilainya.
Keempat, manusia perlu menilai rezeki melalui kacamata iman. Rezeki biasanya dipersepsi melalui ukuran kesenangan dan keuntungan. Namun, tegas Naspi, dalam pandangan seorang mukmin, ujian dan kesempitan juga dapat menjadi bentuk rezeki karena menyimpan pelajaran dan penghapus dosa.






