Lulus dari sekolah lanjutan PGA Neg. 6 tahun juga dengan nilai tinggi. Sehingga mendapat tugas belajar[9] ke IAIN[10](Institut Agama Islam Negeri) Alauddin Makassar. Hanya satu tahun mengikuti kuliah lalu berhenti. Dia merasa tidak ada tambahan ilmu yang berarti yang didapat selama kuliah. Semua materi kuliah yang diberikan dosennya telah dibacanya. Akhirnya dia menarik kesimpulan bahwa kalau duduk beberapa tahun di bangku kuliah cukup menyita banyak waktu dan energi, sementara hasilnya jauh tidak seimbang dengan apa yang telah dikorbankan. Kalau sekedar untuk mendapatkan predikat sarjana bukan itu yang dia perlukan. Walaupun pada waktu itu titel sarjana sangat mahal, bisa membuat orang besar kepala. Menurut dia lebih tepat kalau aktif di organisasi, giat berda’wah dan gencar membaca. Itulah yang menjadi alasannya sehingga meninggalkan bangku kuliah.
Ketika dia telah menjadi pimpinan pesantren yang telah memiliki cabang di seluruh Indonesia, sering dia mengungkapkan bahwa, “Seandainya saya dulu meneruskan kuliah sampai sarjana, paling banter hanya menjadi kepala kantor Departemen Agama di Sulawesi Selatan, iutpun kalau memenangkan pertarungan, bergelut dengan urusan yang bertentangan dengan hati nurani, sebagaimana yang sering diungkapkan rekan-rekan bekas teman sekolahnya yang menduduki jabatan itu.
Terusik juga perasaannya kalau teman-teman sekuliahnya menganggap dia sombong tidak mau mengikuti kuliah karena telah mengetahui apa yang dikuliahkan oleh dosen-dosen. Tapi karena dia memiliki pandangan sendiri terhadap dunia perkuliahan yang banyak sekali menyia-nyiakan waktu berbincang ngalor ngidul antara teman-teman mahasiswa dan mahasiswi yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan, bahkan terkadang mengarah kepada hal-hal yang sebenarnya sangat tidak wajar dibicarakan. Apalagi sebagai mahasiswa-mahasiswi yang menyandang predikat mahasiswa-mahasiswi Islam. Sehingga dia berfkir untuk amannya dia memilih berhenti dari kegiatan kuliah dari pada setiap hari menderita batin.
Dia merasakan apa yang diperolehnya selama ini lewat organisasi, membaca buku-buku, mengikuti ceramah-ceramah di mesjid dan belajar langsung kepada ulama-ulama serta berkutat dalam dunia da’wah, lebih banyak dari apa yang diperoleh lewat bangku kuliah. Apalagi kalau dosennya hanya menggunakan gaya diktator alias membuat dan menjual diktat.
[9] Bea siswa menurut istilah sekarang.
[10] Universitas Islam Negeri (UIN) sekarang.