
BONTANG (Hidayatullah.or.id) — Di tengah gempuran infiltrasi budaya dan tantangan zaman, generasi muda Islam dituntut untuk membangun tradisi intelektualisme yang kokoh, berpijak pada wahyu Qur’ani.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Bidang Tarbiyah Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Ir. Abu A’la Abdullah, M.HI., dalam sambutannya sekaligus pembukaan Daurah Marhala Ula & Aktivasi Halaqah Ula SMA Hidayatullah Se-Kaltim Tahun 2025 M/1446 H di Kampus Pondok Pesantren Hidayatullah, Bontang, Kalimantan Timur, pada Kamis, 3 Zulkaidah 1446 (1/5/2025).
Menurut Abu A’la, tantangan yang dihadapi umat Islam merupakan bagian dari sunnatullah. Ia merujuk pada Al-Qur’an, tepatnya Surah Al-Baqarah ayat 120, yang menyebutkan bahwa umat Islam akan selalu digoda untuk mengikuti jalan mereka yang dimurkai dan tersesat.
“Kita sebagai umat Muslim tidak akan dibiarkan untuk berkembang dan maju, dengan berbagai cara dan program, sampai kita mengikuti jalan yang mereka inginkan,” tegasnya.
Realitas ini, lanjutnya, mencerminkan pertarungan abadi antara kebenaran dan kebatilan, sebagaimana disinyalir dalam Surah Al-Isra ayat 81: “Kebenaran pasti akan berbenturan dengan kebatilan, namun kebenaran pasti menang.”
Oleh karena itu, terang dia, generasi muda harus dipersenjatai dengan ilmu dan pengetahuan yang berlandaskan nilai-nilai Qur’ani.
Ia menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk sejati yang menjamin seseorang tidak akan tersesat jika menjadikannya pedoman, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Ali ‘Imran ayat 73: “Qul innal-hudaa hudallaahi” (Sesungguhnya petunjuk yang sempurna dan paripurna itu hanyalah petunjuk Allah).
Lebih lanjut, Abu A’la menjelaskan bahwa ketika Al-Qur’an telah menjadi pegangan hidup, seorang Muslim akan menjalani agamanya dengan sepenuh hati, penuh kegembiraan, dan berupaya mentransformasikan keindahan Islam kepada orang lain.
Hal ini selaras dengan jaminan Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 208, yang menyerukan umat Islam untuk melaksanakan agama secara total, tidak setengah-setengah, dan menjauhi langkah-langkah setan yang menyesatkan.
“Sehingga kita harus bertaqwa dengan ḥaqqa tuqaatihii, takwa yang otentik. Sebab, setan selalu berusaha menggeser kita ke jalan kefasikan yang mencelakakan,” ujarnya.
Pertarungan ini, menurut Abu A’la, tidak hanya berlangsung di ranah fisik, tetapi juga di tataran cara pandang, filosofi hidup, dan paradigma.
Ia menyebutkan bahwa berbagai elemen duniawi, seperti film, hiburan, mode, dan makanan, menjadi alat untuk mengganti paradigma keislaman dengan nilai-nilai sekuler.
“Titik krusialnya adalah masa muda, di mana mereka memiliki potensi menjadi baik, sholeh, sholehah, dan bermanfaat—atau sebaliknya, terjerumus ke dalam kesesatan dan kebingungan. Jadi, sejak dini, generasi muda kita harus memiliki kerangka pandang yang benar,” paparnya.
Abu A’la menegaskan bahwa seorang Muslim yang tercerahkan dengan nilai-nilai Qur’ani tidak akan tersesat di tengah berbagai paradigma hidup.
Ia merujuk pada Al-Qur’an, “Al-ḥaqqu mir rabbika fa laa takuunanna minal-mumtariin” (Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu). Islam, katanya, memiliki worldview yang jelas, bebas dari keraguan, yang mampu menjadi benteng kokoh di tengah arus globalisasi.
“Generasi muda adalah aset, kekayaan yang sangat penting dalam kehidupan. Kalau dalam ekonomi, mesin yang menjadi aset. Tapi dalam kehidupan yang berdimensi ukhrawi, generasi muda adalah aset yang mahal sehingga kita harus peduli pada mereka,” ungkapnya dengan penuh penekanan.
Ia membandingkan kepedulian masyarakat terhadap kerusakan alam dengan kurangnya perhatian terhadap kerusakan mentalitas manusia, yang kini bergulat dengan hedonisme dan tantangan menemukan kebenaran.
Menurutnya, meskipun umat Islam memiliki Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi, masalah utama adalah kurangnya internalisasi nilai-nilai tersebut dalam pikiran.
“Kita punya wahyu Al-Qur’an, tapi masalahnya, itu tidak diinstal dalam pikiran kita. Akhirnya, kita tidak punya kekuatan untuk memproses dan mengolah informasi yang masuk ke pikiran. Dengan filter wahyu Qur’ani, yang buruk ditolak, yang baik dikumpulkan dan ditransformasikan sehingga kebaikan itu berlipat ganda,” jelasnya.
Untuk itu, Abu A’la menekankan pentingnya menanamkan paradigma Islam sejak dini, salah satunya melalui kegiatan seperti Daurah Marhalah Ula (DMU).
Ia menegaskan bahwa pendidikan berbasis Qur’ani bukan hanya sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan cara pandang yang mampu menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian, jelasnya menambahkan, generasi muda dapat menjadi agen transformasi yang tidak hanya kokoh dalam keimanan, tetapi juga mampu menyebarkan kebaikan secara luas.
Turut hadir dalam acara ini Ketua Murabbi Wilayah Kaltim Ust. Drs. Muhammad Nurdin AR, Ketua DPW Hidayatullah Kaltim Uswandi, S.HI, Ketua PW Pemuda Hidayatullah Kaltim Ust. Zulfahmi, Lc, Ketua PW Muslimat Hidayatullah Erniwati, SE, dan juga Ketua Yayasan Hidayatullah Bontang, Ust. Ahmad Firdaus Darwin dan jajaran, selaku tuan rumah.