SYANGGIT adalah sebuah desa di Libya, tepatnya di sebelah selatan kota Tripoli. Dari desa inilah kita memulai cerita panjang tentang sebuah harakah bernama Hidayatullah. Harakah yang lahir pada 1 Muharam 1393 H ini akan genap berusia setengah abad pada beberapa hari mendatang, yakni pada 1 Muharram 1443.
Desa Syanggit menjadi inspirasi awal bagi Ustad Abdullah Said, sang pendiri Hidayatullah, untuk membangun sebuah kampung peradaban Islam yang sekarang berdiri di Desa Gunung Tembak, Kalimantan Timur.
Seperti apa gambaran Desa Syanggit? KH Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang hidup pada kurun 1896-1946 M ini pernah mengunjungi desa tersebut saat beliau belajar di Mesir, lalu menuliskannya dalam buku kumpulan tulisannya berjudul Mutu Manikam. Buku ini yang kemudian dibaca oleh Mukhsin Kahar, nama asli Abdullah Said ketika ia masih muda.
Desa Syanggit dipimpin seorang ulama bernama Sheikh Sidi Abdullah. Desa ini dihuni oleh 5 ribu santri. Mereka tinggal di sebuah asrama besar yang terdiri atas 100 kamar yang luas.
Kegiatan para santri Syanggit dimulai pukul 04.00, sebelum azan Shubuh berkumandang. Santri-santri ini bangun, bersiap diri menjalankan shalat Subuh. Shalat diimami langsung oleh Sheikh Sidi.
Setelah shalat Subuh, para santri masuk ke kamarnya masing-masing. Biasanya mereka tak tidur lagi. Mereka mengulang-ulang pelajaran yang telah diajarkan sebelumnya, kemudian mempersiapkan diri untuk mengikuti pelajaran di kelas.
Pukul 07.00 pelajaran dimulai hingga pukul 10.00. Selama tiga jam ini mereka berada di ruang kelas. Setelah itu mereka diperbolehkan belajar di luar kelas.
Ada yang pergi ke tepi sungai, ada juga yang duduk di bawah pohon. Mereka membawa buku pelajarannya masing-masing. Kegiatan di luar kelas ini berlangsung hingga tiba waktu Zhuhur.
Setelah shalat zuhur, mereka makan siang. Setelah itu mereka tidur hingga pukul 15.30. Usai shalat ashar mereka latihan pidato dan berdebat.
Antara shalat Maghrib dan Isya mereka diberi kebebasan untuk beribadah sendiri-sendiri. Ada yang tadarrus al-Quran, wirid, tafakkur, berdiskusi tentang hadits, ada juga yang menulis.
Ba’da Isya mereka mengikuti pelajaran akhlak hingga pukul 23.00. Setelah itu, santri-santri shalat tahajjud hingga pukul 24.00. Usai shalat tahajjud barulah santri-santri diperkenankan masuk kamar masing-masing untuk tidur.
Demikian kegiatan penghuni desa ini setiap hari. Khusus pada hari Jumat mereka berolah raga: menunggang kuda, berenang, dan latihan perang-perangan.
Di tengah desa terdapat sebuah sungai. Di sekitar sungai itu penuh tanaman kurma dan tin. Ada juga ladang gandum.
Desa ini memiliki 100 ekor sapi dan 250 ekor kambing peliharaan. Ada juga beberapa ekor unta dan kuda. Itu semua milik Syeikh Sidi.
Santri-santri setiap pagi mendapat suguhan segelas susu sapi. Pada tengah hari mereka mendapat lagi satu gelas susu sapi dengan satu potong roti, keju, serta zaitun.
Ba’da ashar santri-santri tersebut mendapat gorengan korma beserta secangkir susu kambing. Ba’da Isya mereka mendapat lagi suguhan setengah potong roti, tiga buah tin, dan setengah gelas susu sapi.
Lama belajar di pondok ini sekitar 5 tahun. Di antara 5 ribu santri, ada 500 orang penghafal Qur’an, dan hampir 1.000 orang yang menghafal kitab Muwatta karangan Imam Malik.
Gedung perpustakaannya cukup besar, tapi tidak ada buku filsafat. Kitab Ihya’ Ulumuddin juga tidak didapati pada deretan buku-buku di perpustakaan itu.
Kalau ada santri yang sakit dikeluarkan dari pondok untuk ditempatkan di ruang perawatan dan ditemani 2 orang yang ditunjuk oleh si sakit.
Semua santri pandai berenang dan menunggang kuda. Dan, hebatnya lagi, tak ada satupun penghuni pondok yang terlihat merokok. Sebab, merokok memang dilarang keras di tempat ini.
Uniknya lagi, tak seorang pun perempuan terlihat di desa itu. Bahkan, anak-anak perempuan sekalipun. Seolah-olah desa ini adalah desa laki-laki.
Kalau ada santri yang telah lulus, Syeikh Sidi mengadakan syukuran untuk menjamu seluruh santri dengan memotong 3 ekor sapi dan 5 ekor kambing. Santri-santri yang lulus tersebut diantar oleh Syeikh Sidi, seluruh guru, dan para santri hingga keluar desa. Di kala akan berpisah, mereka semua meneriakkan takbir.
Inilah desa pengkaderan yang diidam-idamkan oleh KH Abdullah Said. Menurut penuturan Ustad Mansyur Salbu, sahabat Abdullah Said, dalam bukunya berjudul Mencetak Kader, Abdullah Said berencana membangun perkampungan semacam itu di Indonesia, meskipun tidak betul-betul persis seperti itu.
Di desa itulah para ulama dan pakar akan berkumpul dan mengajar. Mereka semua menetap di sana, dibangunkan rumah tinggal yang nyaman, dan dicukupi biaya hidup mereka.
Di desa itu pula syariat Islam akan ditegakkan. Pergaulan antar masyarakat akan diatur, pernikahan akan dimudahkan.
Di sana juga akan disiapkan perkebunan dan peternakan kambing dan sapi. Lingkunganya akan ditata rapi sehingga penghuninya akan betah berlama-lama tinggal di sana.*/Mahladi Murni (bersambung)