AdvertisementAdvertisement

Kritik Konstruktif Energi Membangun Ukhuwah dan Inovasi

Content Partner

MENJELANG berbagai momentum besar organisasi keagamaan maupun forum-forum publik lainnya, kita kerap menyaksikan silang pandangan yang diwujudkan dalam bentuk kritik.

Fenomena ini tentu saja lazim terjadi, baik di forum formal maupun informal, termasuk melalui media. Kritik, dalam perspektif sosiologis, merupakan bagian tak terpisahkan dari dinamika kehidupan sosial.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik diartikan sebagai kecaman atau tanggapan yang disertai uraian dan pertimbangan mengenai baik atau buruknya suatu gagasan, karya, atau tindakan.

Dalam makna yang lebih luas, kritik adalah bentuk evaluasi terhadap sesuatu demi menemukan kebenaran dan perbaikan.

Peran kritik dalam organisasi sangat strategis. Ia bukan sekadar menyuarakan ketidaksetujuan, melainkan menjadi pendorong pertumbuhan, inovasi, serta refleksi kolektif. Kritik yang sehat menumbuhkan budaya transparansi, meningkatkan kualitas kepemimpinan, dan membuka ruang bagi pembelajaran bersama.

Sejatinya, tidak ada individu maupun institusi yang kebal dari kritik. Setiap pemimpin maupun anggota organisasi hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan.

Oleh karena itu, kritik seharusnya dipandang bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk memperbaiki diri. Pemimpin yang mau menerima kritik menunjukkan kerendahan hati dan menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya.

Mewaspadai Budaya Apatis

Namun, risiko besar muncul ketika organisasi atau komunitas sunyi dari kritik. Permukaan boleh tampak tenang, tetapi di baliknya tersimpan bahaya laten.

Organisasi atau institusi apapun yang menutup diri dari kritik rentan mengalami stagnasi dan kehilangan inovasi. Budaya apatis dan ketakutan bisa tumbuh, sehingga kesalahan tidak terdeteksi.

Lebih jauh, kinerja dan reputasi bisa merosot, akuntabilitas melemah, bahkan pemimpin bisa terisolasi dalam “gelembung” informasi yang bias.

Dalam kondisi seperti ini, keputusan yang diambil seringkali tidak relevan dengan realitas di lapangan. Diam tanpa kritik, pada akhirnya, justru lebih berbahaya daripada gaduh oleh perdebatan.

Islam memberikan landasan moral yang kuat dalam melaksanakan kritik. Kritik bukanlah bentuk permusuhan, melainkan bagian dari ibadah dan jalan menuju kebenaran.

Sejak awal, seorang muslim yang hendak menyampaikan kritik perlu menanamkan niat yang tulus bahwa tindakannya dilakukan demi Allah, bukan untuk merendahkan pihak lain.

Al-Qur’an memberikan panduan yang jelas. Dalam Surat an-Nahl (16:125) Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” Ayat ini menekankan bahwa menyampaikan kritik harus dilakukan dengan penuh kebijaksanaan.

Dalam Surat al-Ahzab (33:70), Allah menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”

Prof Buya Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menafsirkan ayat ini sebagai peringatan agar orang beriman berbicara dengan kata-kata yang jujur, tegas, dan berakar dari hati yang tulus.

Demikian pula dalam Surat al-Baqarah (2:83), Allah memerintahkan, “Dan ucapkanlah kepada manusia kata-kata yang baik.”

Menurut Hamka, berbicara baik bukan sekadar bermulut manis, tetapi juga menegur kesalahan, menasihati kebaikan, dan mencegah kemungkaran.

Sementara itu, Surat al-Isra’ (17:36) mengingatkan agar manusia tidak mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, sebab pendengaran, penglihatan, dan hati kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Teladan dari Sunnah

Hadis-hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberikan pedoman bagaimana seorang muslim menjaga lisan ketika memberi kritik.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa kualitas iman seseorang tercermin dari kejujuran dan kelembutan lisannya.

Hadis lain menambahkan, “Tidaklah iman seseorang itu menjadi lurus hingga lurus hatinya. Tidaklah lurus hatinya hingga lurus lisannya.” (HR Ahmad).

Pesan ini menekankan keterhubungan antara hati yang bersih, lisan yang jujur, dan iman yang kokoh. Bahkan Rasulullah juga menegaskan, “Seorang muslim adalah orang yang membuat kaum muslim merasa aman dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR Bukhari).

Dengan panduan Al-Qur’an dan sunnah ini, menjadi jelas bahwa kritik dalam Islam bukanlah ruang untuk menebar kebencian.

Sebaliknya, kritik adalah medium untuk menunaikan tanggung jawab moral sebagai hamba Allah: mengajak kepada kebaikan, menegur kesalahan, dan menjaga persaudaraan.

Jalan Membangun Peradaban

Dalam perspektif Islam, kritik harus diarahkan pada perbaikan, bukan penghancuran. Fokus kritik sebaiknya pada perilaku, kebijakan, atau proses, bukan menyerang pribadi.

Dengan cara tersebut, kritik dapat berfungsi sebagai energi kolektif untuk memperkuat ukhuwah, meningkatkan kualitas organisasi, dan mempercepat pembangunan peradaban.

Organisasi atau masyarakat idealnya memiliki mekanisme yang jelas untuk menampung, menimbang, dan menindaklanjuti kritik. Kritik yang dikelola dengan adil akan menjelma menjadi modal sosial yang memperkokoh kebersamaan.

Kritik yang diniatkan sebagai ibadah, disampaikan dengan kata-kata yang benar dan penuh kelembutan, sejatinya adalah bentuk pengabdian. Ia bukan hanya sarana memperbaiki struktur sosial, tetapi juga cara untuk menghidupkan nilai-nilai iman dalam kehidupan berjamaah.

Kritik dalam Islam memiliki arti strategis yang mendalam. Ia bukan sekadar ekspresi ketidaksetujuan, melainkan jalan menuju amar ma’ruf nahi munkar. Tanpa kritik, organisasi berisiko lumpuh. Dengan kritik, ia dapat tumbuh sehat.

Dengan demikian, marilah kita menata cara kita menyampaikan kritik. Niatkan sebagai ibadah, landasi dengan ilmu, dan ucapkan dengan kelembutan.

Karena, kritik yang benar bukan hanya menyelamatkan organisasi, tetapi juga meneguhkan jalan kita dalam membangun peradaban Islam yang berkeadilan dan berkemajuan.[]

*) Nursyamsa Hadis, penulis adalah anggota Murabbi Nasional Hidayatullah

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Sabar dan Saling Memahami, Kunci Rumah Tangga Menurut Abul A’la Maududi

BALIKPAPAN (Hidayatullah.or.id) -- Dalam kehidupan rumah tangga, istilah "suami takut istri" sudah lama menjadi bahan canda sekaligus stigma sosial....
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img