
PEKAN lalu, penulis saat jogging di seputaran alun-alun Kota Depok, menyaksikan sekumpulan pelajar—kemungkinan besar baru selesai berolahraga—berjalan bergerombol sambil makan dan minum.
Menariknya, para pelajar putri itu semuanya mengenakan jilbab, yang menandakan mereka berasal dari sekolah Islam. Seharusnya, mereka telah mendapat pembelajaran adab makan dan minum.
Dalam Islam, salah satu adab makan dan minum yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah tidak makan atau minum sambil berdiri.
Diriwayatkan oleh Muslim, Anas bin Malik berkata bahwa Nabi SAW melarang minum sambil berdiri. Ketika Qatadah bertanya, “Bagaimana dengan makan (sambil berdiri)?” Anas menjawab, “Itu lebih parah dan lebih jelek.”
Kejadian sepele itu memantik pertanyaan mendasar: bagaimana posisi guru dalam mentransformasikan ilmu, sehingga nilai-nilai yang diajarkan benar-benar tertanam dan diamalkan oleh murid-muridnya?
Dalam dunia pendidikan, guru tidak sekadar menjadi penyampai ilmu pengetahuan. Ia adalah pembentuk akhlak anak didik—peran yang bahkan lebih mendasar.
Akhlak baik bukanlah sesuatu yang instan. Ia dibentuk oleh pembiasaan, keteladanan, dan bimbingan yang konsisten. Di sinilah letak strategis seorang guru dalam membentuk manusia seutuhnya.
Menurut Zainuddin Lubis, dalam kolomnya, profesi guru dalam Islam sangatlah mulia. Ibnu Mubarak, dalam Tahzib al-Kamal (jilid XVI, hlm. 20), menyatakan bahwa setelah kenabian, tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada menyebarkan ilmu.
Ilmu adalah sumber segala kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia menjadi jalan untuk menegakkan kebenaran, keadilan, serta membimbing umat menuju ridha Allah.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, menyampaikan prinsip emas: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Artinya, di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.
Guru adalah panutan; akhlak yang baik terbentuk bukan hanya dari kata-kata, tapi dari tindakan nyata.
Peran ideal guru—berdasarkan pandangan para pemerhati pendidikan—setidaknya mencakup tiga hal:
Pertama, guru adalah teladan. Kejujuran, tanggung jawab, kesantunan, dan adab sehari-hari jauh lebih ampuh ditularkan lewat perilaku nyata ketimbang ceramah moral semata.
Kedua, guru menjadi mediator dalam konflik sosial. Dalam interaksi antarsiswa yang penuh dinamika, guru berperan sebagai penengah yang adil. Dari sini, siswa belajar bagaimana bersikap dewasa, menyelesaikan masalah dengan empati dan kepala dingin.
Ketiga, guru menumbuhkan kesadaran moral. Nilai-nilai seperti toleransi, keadilan, dan kepedulian sosial harus terintegrasi dalam proses pembelajaran. Hasil akhirnya adalah siswa yang tak hanya cerdas, tapi juga beretika dan berempati.
Albert Einstein bahkan mengatakan, “Seni tertinggi guru adalah membangkitkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan.”
Guru sejati tidak hanya menyampaikan materi, tapi juga menginspirasi semangat belajar yang menyenangkan dan bermakna.
Selain itu, guru juga merupakan pembimbing pribadi. Ia mendampingi siswa menghadapi tantangan akademik maupun non-akademik.
Dengan pendekatan humanis dan empatik, guru membantu siswa membangun kepercayaan diri, ketangguhan mental, serta kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Lebih dari itu, guru adalah agen perubahan budaya. Ia membentuk ekosistem sekolah yang positif dan mendukung tumbuhnya karakter secara menyeluruh. Sekolah pun bukan hanya ruang belajar, tapi tempat pembentukan nilai-nilai hidup.
Charles Bradford “Brad” Henry, mantan Gubernur Oklahoma, pernah berkata bahwa guru yang baik adalah “muasal harapan, pemantik imajinasi, dan sekaligus pembelajar seumur hidup.” Ia menggambarkan betapa idealnya figur seorang guru—seakan dituntut untuk menjadi nyaris sempurna.
Ekspektasi tinggi terhadap guru bukan tanpa alasan. Pendidikan anak bangsa yang berkualitas bergantung pada kualitas guru yang mendidiknya.
Karena itu, profesionalisme, dedikasi, dan integritas sangat diperlukan. Di sinilah pentingnya pelatihan berkala (in house training), terutama bagi guru yang bukan lulusan pendidikan keguruan.
Akhirnya, melalui guru yang baik akhlaknya, akan lahir generasi yang bukan hanya unggul secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan sosial.
Di tengah tantangan zaman, peran guru sebagai penjaga nurani bangsa menjadi sangat menentukan arah masa depan.*/
*) Nursyamsa Hadis, penulis adalah praktisi dan pemerhati pendidikan