AdvertisementAdvertisement

Merangkul Keahlian Bersama untuk Kesatuan Umat yang Melampaui Batas Ormas

Content Partner

DIANTARA masalah serius yang masih selalu menjangkiti umat Islam adalah fanatik buta (ta’ashshub) dan menempatkan diri atau kelompoknya sebagai satu satunya yang paling benar (ashabiyah).

Pada level etika tertentu, mereka yang mengidap kedua penyakit tersebut akan mengklaim diri dan golongannya sebagai paling “sunnah”, sementara yang berbeda dengannya dilabeli sebagai pelaku bid’ah.

Tentu saja, fanatik buta dan selalu merasa paling benar sendiri semacam ini amat berbahaya karena dapat membuat seseorang tidak bisa berpikir jernih dan objektif.

Akibatnya, mereka cenderung hanya melihat kebaikan pada kelompoknya sendiri dan menutup diri terhadap perspektif lain. Dalam konteks agama, fanatik buta bisa membuat seseorang salah dalam memahami ajaran agamanya.

Hal inilah yang disoroti oleh Ust. M. Alimin Mukhtar dalam salah satu kesempatan obrolan grup di sebuah layanan perpesanan instan (IM) dan voice-over-IP (VoIP) yang penulis ikuti beberapa waktu lalu.

Ustadz yang juga pengasuh Yayasan Pendidikan Integral (YPI) Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Malang, Jawa Timur, ini mengemukakan perlunya mengedepankan kelapangan hati dan keterbukaan pada kepakaran tokoh dari ormas Islam lainnya.

Ustadz Alimin Mukhtar menanggapi diksi “kita” pada sebuah respon terhadap materi video yang dikirim salah satu anggota grup dimana narasumber dalam materi visual tersebut merupakan pakar dari ormas lainnya. “Kita butuh SDI seperti ini,” demikian caption yang menyertai content itu.

Ustadz Alimin lantas menelaah kata “kita” ini pada konteks internal dan menarik telaah frasa itu ke ruang perspektif yang lebih universal dan terbuka.

“Kenapa kata “kita” menjadi terasa sangat kental ashabiyah? Seolah olah pakar berlatar ormas lain bukan “kita” dan tidak bisa dirujuk keahliannya, sehingga tiap ormas harus punya sendiri sendiri dan tidak cukup dengan adanya sesama muslim yang ahli di bidang itu. Konsep fardhu kifayah-nya menyempit, bahwa tidak cukup adanya ahli di kalangan muslim secara umum, tapi harus ada ahli dalam skup ormas baru fardhu kifayah-nya dianggap telah terpenuhi,” tulis Alimin Mukhtar.

Mewaspadai Silo-mentality

Di tengah keragaman ormas Islam di Indonesia, muncul pertanyaan mendasar: Mengapa kata “kita” sering kali terasa kental dengan ashabiyah, seolah-olah pakar berlatar belakang ormas lain bukan “kita” dan keahliannya tidak dapat dirujuk?

Hal ini memicu pertanyaan lebih lanjut: Apakah setiap ormas harus memiliki pakar di bidangnya masing-masing, atau cukupkah dengan mengandalkan sesama Muslim yang ahli di bidang tersebut?

Konsep fardhu kifayah dalam Islam, yang menyatakan bahwa kewajiban kolektif umat Islam dapat dipenuhi oleh sebagian orang selama ada yang mengerjakannya, seperti ditelisik Kyai Alimin di atas, tampaknya menyempit dalam konteks ini.

Muncul anggapan bahwa tidak cukup dengan adanya ahli di kalangan Muslim secara umum, tetapi harus ada ahli dalam lingkup ormas tertentu agar fardhu kifayah dianggap terpenuhi.

Ashabiyah, atau semangat kelompok yang kuat, memang memiliki nilai positif dalam memperkuat persatuan dan identitas komunitas. Namun, ashabiyah yang berlebihan dapat menjebak umat Islam dijangkiti penyakit dengan apa yang disebut sebagai silo-mentality.

Dalam perpektif organisasi, silo-mentality dapat diartikulasi sebagai sikap enggan untuk saling terbuka, tak mau saling berbagi, ogah saling menolong, dan berat hati saling berbagi informasi untuk kemajuan bersama dalam mengangkat pekerjaan besar sebagai penjaga keseimbangan kehidupan (khalifah fil ardh).

Akibatnya, jika masalah silo-mentality ini diabaikan sehingga terus merebak pada umat Islam dalam tubuh organisasi, maka ia akan semakin membatasi akses terhadap pengetahuan dan keahlian yang tersedia di luar lingkup organisasi mereka.

Ketika umat Islam hanya terpaku pada keahlian dalam ormas mereka, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar dari beragam perspektif dan pemikiran yang ada di luar komunitas mereka. Tentu saja ini dapat menghambat proses pengembangan ilmu dan pemikiran Islam yang komprehensif dan dinamis.

Ashabiyah yang berlebihan dapat memicu sikap eksklusivisme, di mana umat Islam dari ormas tertentu merasa lebih superior dan enggan berkolaborasi dengan ormas lain. Hal ini dapat memperparah perpecahan dan menghambat persatuan umat Islam.

Setiap ormas yang terjebak dalam silo-mentality memaksa diri untuk memiliki pakar di bidangnya masing-masing, meskipun mungkin sudah ada pakar yang kompeten di luar ormas mereka. Hal ini dapat menyebabkan pemborosan sumber daya dan menghambat optimalisasi potensi umat Islam secara keseluruhan.

Merangkul Keahlian Bersama

Karenannya, dalam hemat penulis, umat Islam perlu melampaui batas ormas dan merangkul keahlian bersama untuk membangun kesatuan yang kuat.

Tentu saja, untuk mencapai itu hal itu bukanlah pekerjaan gampang, terutama, yang paling mendasar, adalah mendudukkan pola pikir. Yakni, pola pikir anggota dan juga komunitas secara kolektif yang tercermin dalam kebijakan organisasi.

Meluruskan pola pikir ini amat penting untuk mendudukkan pola pikir yang membatasi keahlian hanya pada lingkup ormas tertentu. Dalam tataran ini, keahlian seorang Muslim harus dihargai dan dimanfaatkan, terlepas dari apapun ormasnya selama ia berdiri di atas landasan Al Qur’an, Sunnah, dan pemahaman Ahlussunnah Waljama’ah.

Gejala lainnya yang perlu diretas adalah “kebisingan” yang acapkali dibuat pihak tertentu yang di satu sisi mengaku tidak berorganisasi karena dianggap sebagai perbuatan bid’ah, namun pada sisi lainnya secara sistematis dan terorganisir mendekonstruksi upaya positif kelompok lain untuk mengembangkan tajdid di bidang pemikiran Islam agar dakwah selalu relevan.

Pada kalangan yang disebut terakhir ini memang unik karena selain tidak berorganisasi mereka juga enggan berkompromi pada apapun yang dianggap berbeda dengan perspektif yang diyakininya, bahkan terhadap masalah khilafiyah. Oleh sebab itu, diperlukan pola pendekatan tersendiri untuk meretas dinamika dan keragaman masalah persatuan umat ini.

Pada akhirnya, tak ada yang lebih penting dalam membangun kesatuan umat ini selain memperkuat silaturrahim seraya kedepankan sikap terbuka antar sesama untuk saling menghargai, menghormati, saling belajar, dan berbagi pengetahuan.

Dengan kemajuan teknologi informasi, hal ini juga dapat dimanfaatkan untuk membangun platform kolaborasi antar ormas. Platform ini dapat digunakan untuk berbagi informasi, sumber daya, dan keahlian antar anggota ormas yang berbeda.

Umat Islam perlu melampaui batas ormas dan merangkul keahlian bersama untuk membangun kesatuan yang kuat.

Dengan saling belajar dan berbagi pengetahuan, Insya Allah, umat Islam dapat mencapai kemajuan yang lebih besar dan berkontribusi positif bagi Islam dan umat Muslim di Indonesia dan dunia.[]

*) Adam Sukiman, penulis edukator Masyarakat Muda Jakarta dan peneliti Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

IMS, BMH, dan MTT Gelar Pengobatan Gratis di Kampung Mualaf Baduy

BANTEN (Hidayatullah.or.id) — Dalam rangka memperingati Hari Gizi Nasional 2025, Islamic Medical Service (IMS) bersama Lembaga Amil Zakat Nasional...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img