HARI INI, 22 Oktober 2015 media ramai bicara santri, karena memang sejak era Presiden Jokowi hari ini ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional.
Sebagai orang yang pernah jadi santri saya melihat ini suatu ‘keuntungan’ tersendiri, meski sebenarnya kontribusi santri terhadap negeri ini telah jauh terdedikasikan jauh sebelum Republik ini berdiri.
Tetapi biarlah ini menjadi dari fakta sejarah indah tentang pelajar Islam, khususon para santri. Baiklah saya akan bicara tentang santri sebatas pada apa yang pernah saya alami. Pertamakali saya disebut santri ketika resmi ikut mengaji di madrasah di kampung saya di Jember Jawa Timur.
“Makanan santri” kala itu adalah ngaji Al-Qur’an, ngaji kitab, manaqiban, serokalan, barzanjian, sholat berjama’ah, belajar bahasa Arab (Nahwu-Shorof), sampai belajar tentang hitungan hari, yang hingga kini kuingat seperti, “Aboge ahad pono jaah pon jasa pahing, daltu ge kamis legi wan nen won jangah giyo”. Itu semua ada maknanya dalam hitungan hari dalam filsafat Jawa. Untuk menjelaksan maknanya, yaitu tadi, saya hanya ingat syi’irnya saja, karena memang dilagukan.
Selain itu, ustadz saya dulu di madrasah, Ustadz Jami’an namanya menanamkan kepada para santrinya tentang pentingnya adab, terutama kepada guru dan ilmu (tentu nomor satu terhadap orang tua). Beragam kisah takzimnya murid kepada guru pun sering sekali diperdengarkan, agar saya bersama teman-teman santri lainnya bisa meneladaninya.
Tentang seperti apa takzim itu, tweet Ustadz Fauzil Adhim yang baru 3 hari lalu saya bertemu beliau di Pesantren Hidayatullah Depok saya pikir sangat membantu menjelaskan. Berikut tweet beliau tentang pentingnya adab seorang santri terhadap guru dan ilmu.
“Ini kisah masyhur KH. Munawwir Krapyak. Suatu saat beliau jumpai seorang #santri kurang sopan meletakkan Al-Qur’an. Seketika dipulangkan, >> > padahal #santri tersebut sudah hafal 25 juz. Tapi su’ul adab terhadap Al-Qur’an itu berat. Inilah penjagaan akhlak santri di masa lalu.
Kisah KH. Munawwir Krapyak ini hanyalah satu dari sekian banyak pelajaran tentang #santri di masa lalu. Ini pula yang perlu kita perhatikan. Sebaliknya, kita jumpai sangat banyak teladan tentang kesabaran menghadapi #santri bengal, tetapi masih menunjukkan kemauan untuk baik.
Tak sedikit #santri yang sangat nakal, kelak menjadi sosok yang sangat ‘alim. Selain sabarnya Kyai, juga ada adab terhadap ilmu & ulama. Ada pelajaran besar dari urutan belajar para #santri masa dulu. Adab dulu, adab terus, baru ilmu. Adab itu termasuk terhadap ilmu & ulama.
Tinggi ilmu rendah adab sangat berbahaya. Ini dapat menjadi pintu kehancuran, meskipun ia memiliki keluasan wawasan agama. #santri ”
Saya masih ingat, ada teman yang langsung dihukum rotan hanya karena dia membawa Al-Qur’an dengan cara ditenteng. “Wus diajari, nek nggowo Al-Qur’an itu kudu dicekel nang dodo, ojo koyok nggowo buku utowo Qur’an ngunu iku. Angkat sarungmu, cetat, cetat, cetat (bunyi rotan menghantam betis),” begitulah kira-kira kalimat dari guruku mengingatkan.
Selain itu, sholat berjama’ah. Zaman itu, saya punya kartu tanda hadir sholat berjama’ah yang disebut dengan istilah Pepel. Jika dhuhur dan ashar tidak ke masjid, sudah barang tentu ustadz akan tahu, karena Pepel-nya tidak ada. Jika tidak ada, panggil dan rotan lagi hehe. Tapi tradisi saya kecil di madrasah ini membantuku saat belajar di Pesantren Hidayatullah yang memang standar nilai utamanya ya sholat berjama’ah.
Keajaiban
Santri itu kalau dalam pandangan teori saintifik Barat pasti dipandang tidak keren. Meski sejarahnya ya santri juga yang bisa ngusir penjajah Belanda. Tetapi, inilah fakta, santri itu selalu memiliki keajaiban.
Seperti yang terjadi pada temen saya waktu jadi santri di Pesantren Hidayatullah Kutai Kartanegara. Ada namanya Agus Kumala. Anak dari ujung kampung, jauh dari kota, eh kini bisa lanjut studi S2 ekonomi Islam di Pakistan. Aneh bukan. Padahal, kalau dirununt dari sejarahnya, gak mungkin deh ada jalurnya kesana.
Gimana coba, hari-hari kerjanya angkat semen, cetak batako. Pagi dan sore cuman bersihin masjid. Udah itu malam ngaji eh tidur. Besok bangun, tanam singkong, siang dikit angkat semen lagi. Tetapi inilah fakta santri. Selalu ada dan memiliki keajaiban tersendiri. Sekarang, setiap ada buku baru dia tak pernah lupa email ke saya file pdf-nya. Subhanallah.
Lebih ajaib lagi Ibn Hajar Al-Asqalani yang tumbuh menjadi ulama besar dalam sejarahnya bukan termasuk ‘santri’ cemeerlang. Tetapi karena ketakziman luar biasa terhadap sang guru dan ilmu, dalam keputusasaan ia justru menemukan ilham yang mencerahkan.
Sayangnya, keajaibanku sebagai santri gak keren-keren amat, jadi malu kalau dishare juga di sini, hehe. Tetapi, sebagai sebuah pesan untuk bersama mencerdaskan bangsa, santri itu bukan semata bagian fundamen dari negeri ini, santri itu melekat kuat tradisi ilmu dalam Islam, dimana ilmu tak semata dihafal, tetapi dihormati dan diamalkan dengan sekuat tenaga memuliakan guru.
Pada akhirnya, kita berharap di tangan santrilah peradaban Islam di Indonesia ini bisa diwujudkan. Dan, kepada seluruh santri se-Indonesia, saya memohon untuk turut serta mendoakan Musyawarah Nasional Hidayatullah IV di Balikpapan yang mengangkat tema Membangun Moralitas Bangsa Menuju Kesejahteraan Umat. Di Hari Santri Nasional mari hidupkan kembali tradisi ilmu, tradisi adab untuk Indonesia yang maju, adil, makmur dan beradab.*/Imam Nawawi >>> twitter @abuilmia