AdvertisementAdvertisement

Warisan Ustadz Abdullah Said dan Tantangan Rejuvinasi Hidayatullah

Content Partner

Dr. Ir. H. Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, M.Si

PADA Grand Design Hidayatullah yang dibuat pada 2023, dinyatakan bahwa dalam rentang waktu sepuluh tahun ke depan merupakan masa transisi yang sangat penting dan strategis, bahkan “kritis” bagi Hidayatullah.

Pandangan ini dibangun dengan asumsi bahwa para kader yang dididik langsung oleh pendiri Hidayatullah, Ustadz Abdullah Said (UAS), akan berakhir perannya dalam durasi waktu ini: karena wafat, uzur syar’i, atau karena kurang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Dalam kaitan ini, sebagai seorang kader yang masih dididik langsung oleh UAS, melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan kesaksian dan pandangan tentang Hidayatullah, terutama terkait warisan UAS dan dinamika pemikiran serta kelembagaan sepeninggal beliau.

Alkisah, UAS meninggalkan Sulawesi menuju Balikpapan setelah memimpin pengganyangan judi Lotto di Makassar pada 1969. Menetap dan mulai berdakwah di Balikpapan, UAS merasa perlu menambah ilmu untuk bekal dakwah yang lebih baik.

Ketika itu, pengajian dan kajian-kajian Islam sudah mulai rutin dilakukan UAS di Balikpapan. Dengan berat hati, UAS pamit meninggalkan Balikpapan menuju Jakarta untuk selanjutnya belajar ke Timur Tengah.

Melalui Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), UAS dinyatakan diterima untuk belajar di Kuwait. Ia lalu mengurus berbagai kelengkapan surat administrasi untuk keberangkatan.

Namun rencana itu tiba-tiba batal karena UAS mengalami pergolakan batin setelah bertemu dengan seorang sepuh di Masjid DDII Jakarta. Sepotong kalimat yang mengguncangkan keluar dari lisan orang tua, yang ternyata tak pernah ia kenal identitasnya hingga akhir hayat.

Orang tua itu bertanya, “Apakah Al-Qur’an yang dipelajari di Kuwait berbeda dengan Al-Qur’an yang ada di Indonesia?” UAS sangat tergugah dengan kalimat tersebut.

Beberapa hari ia merenungkannya, lalu memutuskan batal berangkat ke Kuwait. Ia memilih kembali berdakwah ke Kalimantan Timur.

Sebelum ke Kaltim, UAS berangkat ke Yogyakarta. Ia ingin menemui sahabatnya dari Makassar, Ustadz Usman Palese, yang sedang kuliah di Akademi Tarjih Muhammadiyah. Di Yogya, ternyata UAS bertemu dengan beberapa mahasiswa Tarjih Muhammadiyah.

Beliau mengajak dan berusaha meyakinkan mereka untuk berdakwah serta berjuang di Kaltim. Ada empat orang mahasiswa Tarjih yang akhirnya siap berangkat ke Kaltim. Mereka adalah Ustadz Usman Palese, Ustadz Hasyim, Ustadz Hasan Ibrahim, dan Ustadz Nadzir. Bersama UAS, merekalah yang kemudian tercatat sebagai pendiri Hidayatullah, yang resmi berdiri pada 1973.

UAS adalah penggagas, pendiri, pemimpin, dan tokoh sentral Hidayatullah hingga akhir hayat beliau. Karena itu, untuk mengenal Hidayatullah maka mutlak harus memahami pemikiran UAS.

Tulisan ini mencoba memahami dan menjelaskan konsep atau pemikiran Islam UAS terkait keberadaan Hidayatullah.

Ada tiga tajdid pemikiran Islam UAS dalam mendirikan dan mengembangkan Hidayatullah: Manhaj Sistematika Wahyu, Kepemimpinan Imamah-Jama’ah, dan Harokah Islamiyah.

Selain itu, ada pula konsep dan praksis yaitu Kampus Pesantren sebagai miniatur peradaban Islam. Keempat hal inilah yang merupakan warisan konsep dan praksis dari UAS.

Sistematika Wahyu

Berdasarkan keterangan dari beberapa santri awal Hidayatullah, pada masa awal berdirinya pesantren pada 1973, manhaj Sistematika Wahyu (SW) belum dikenal.

Inspirasi lahirnya SW sebagai manhaj “ditemukan” UAS sekitar dua tahun kemudian, terutama setelah UAS membaca kitab tafsir Sinar karya Buya Abdul Malik Ahmad, mantan Ketua PP Muhammadiyah. Kitab tafsir ini disusun berdasarkan urutan surah turunnya wahyu, dimulai dari Surah Al-Alaq ayat 1–5, dan seterusnya.

Setelah menemukan manhaj SW, UAS semakin yakin dengan jalan perjuangan yang ia tempuh. Begitu yakinnya dengan manhaj SW, UAS bahkan kemudian membuat pernyataan, “Kalau bukan karena SW, Hidayatullah tidak perlu ada.”

Menurut kesaksian para santri awal, sebelum menemukan manhaj SW, UAS sangat terpesona mengkaji Al Qur’an surah Al-Jumu’ah [62] ayat 2:

هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ

“Dialah yang mengutus seorang rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Pada masa awal berdirinya pesantren, UAS sangat sering membahas dan menceramahkan ayat tersebut. Beliau sangat tertarik dengan sistematika istilah pada ayat ini.

Bagi UAS, ayat ini adalah metode pendidikan, atau cara dan tahapan untuk berislam. Tahapan pada ayat ini adalah tilawah, tazkiyah, ta’lim, dan hikmah. Yang paling beliau tekankan adalah penyebutan terma tazkiyah yang mendahului terma ta’lim.

Beliau kemudian menjadikan itu sebagai konsep atau metode pendidikan dan dibuatkan format praksis untuk training perkaderan bagi semua santri dan kader Hidayatullah.

Ketika belakangan hari UAS menemukan SW sebagai manhaj, pembahasan tentang ayat ini, terutama terkait tazkiyah, masih terus dilakukan, bahkan dianggap sangat relevan dengan manhaj SW, terutama Surah Al-Alaq.

Manhaj SW pada intinya menegaskan bahwa urutan turunnya wahyu Al-Qur’an, demikian pula turunnya secara bertahap, bukanlah hal yang kebetulan. Hal itu merupakan metode dari Allah untuk mengajarkan dan mengamalkan Al-Qur’an kepada Rasulullah dan para sahabat.

Jadi, manhaj SW pada dasarnya menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an bukan hanya benar pada substansinya, tapi juga benar pada cara turunnya. Manhaj SW mengandung pelajaran yang menekankan bagaimana cara memahami, mengamalkan, dan memperjuangkan Islam.

Kepemimpinan Imamah-Jama’ah

Jatidiri kedua Hidayatullah adalah kepemimpinan yang oleh UAS disebut Imamah-Jama’ah, maksudnya berjamaah dan berimamah. Artinya, Hidayatullah adalah suatu organisasi yang menganut konsep berjamaah dan berkepemimpinan sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah.

Bagi UAS, konsep dan penerapan hidup berjamaah dan berkepemimpinan sangat erat kaitannya, bahkan tidak dapat dipisahkan dengan manhaj SW. Betapa tidak, manhaj SW pada dasarnya berusaha menirukan semua cara melaksanakan ajaran Islam pada masa Rasulullah. Salah satu konsep dan praktik ajaran Islam pada masa Rasulullah adalah menegakkan sistem kepemimpinan.

Secara khusus, UAS menyebutnya sebagai kepemimpinan dengan sistem komando. Struktur kepemimpinan sangat jelas dan tegas: taat kepada Allah, taat kepada Rasulullah, dan kepada ulil amri atau pemimpin.

Dalam pandangan UAS, model kepemimpinan ini tidak hanya diterapkan dalam kerangka konstitusional-organisatoris, tapi juga dipraktikkan dalam kehidupan keseharian. Konsep sam’an wa tha’atan harus terwujud dalam kehidupan berjamaah.

Sebagai seorang pemimpin tunggal dengan kharisma yang sangat kuat, kepemimpinan imamah-jama’ah di tangan UAS sungguh merupakan sumber energi yang sangat besar bagi eksistensi dan perkembangan Hidayatullah.

Para kader penuh semangat dan militansi, “menjual diri atau lebur total” dalam perjuangan Islam di Hidayatullah, selain karena dorongan kuat keyakinan pada ajaran Islam, juga karena pengaruh kuat kepemimpinan imamah-jama’ah di bawah UAS.

Para kader sangat mudah diatur, dikomando, atau dimutasi penugasannya ke mana pun dan kapan pun. Inilah yang menjadi kekuatan sehingga jaringan lembaga dan pesantren Hidayatullah bisa eksis di seluruh Nusantara.

Harokah Islamiyah

Hal ketiga yang menjadi prinsip dan jatidiri Hidayatullah adalah sebagai lembaga perjuangan Islam (harokah Islamiyah).

Dengan melihat latar belakang pendidikan, orientasi dakwah, dan pengalaman organisasi UAS, dapat diduga bahwa motivasi utama pendirian Hidayatullah adalah sebagai lembaga perjuangan Islam.

Setidaknya ada dua alasan yang menguatkan hal ini. Pertama, UAS tumbuh sebagai aktivis gerakan Islam di PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Pemuda Muhammadiyah yang ketika itu sangat kental dengan perjuangan ideologi di bawah bayang-bayang perjuangan Partai Masyumi.

Di usia remaja dan pemuda, UAS hidup dalam suasana politik pertarungan ideologis yang sangat keras pada masa Orde Lama dan di awal Orde Baru.

Sepak terjang UAS terakhir dengan memimpin pengganyangan judi lotto di Makassar sebelum hijrah ke Balikpapan menunjukkan betapa besar gejolak perjuangan Islam pada diri beliau.

Kedua, Hidayatullah lahir dan eksis bukan karena adanya dorongan ajaran “identitas keagamaan” tertentu. Hal itu berbeda dengan lembaga atau ormas Islam lain yang hadir karena dorongan ajaran atau identitas yang diajarkan.

Sejak awal, Hidayatullah tidak mengalamatkan atau menegaskan diri dengan identitas ajaran ataupun mazhab tertentu sebagaimana lazimnya pendirian lembaga atau ormas Islam. Walaupun karena latar belakang UAS dan para pendiri Hidayatullah lainnya dari Muhammadiyah, maka fikih ibadah Hidayatullah sama atau mirip dengan Muhammadiyah.

Hal ini menunjukkan bahwa faktor utama yang mendorong lahirnya Hidayatullah sebagai lembaga atau ormas Islam bukanlah penegasan identitas ajaran, tetapi lebih menekankan kepada kepentingan perjuangan Islam (harokah Islamiyah).

Perjuangan Islam (harokah Islamiyah) dalam hal ini meliputi tarbiyah, dakwah, dan jihad. Tarbiyah dan taklim adalah syarat mutlak untuk berkembangnya pengetahuan dan pemahaman ajaran Islam.

Di sisi lain, Islam adalah agama dakwah. Artinya, sebagai agama yang diturunkan untuk semua manusia (kaffatan linnas) dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), maka mutlak dilakukan gerakan dakwah.

Sedangkan jihad, atau bersungguh-sungguh dalam perjuangan Islam, merupakan keniscayaan untuk eksisnya tarbiyah dan dakwah. Perpaduan ketiga pilar inilah yang menjadi komitmen eksistensi Hidayatullah.

Kehadiran Hidayatullah dengan wujud utama sebagai pesantren menunjukkan betapa besarnya komitmen terhadap pendidikan atau tarbiyah untuk umat.

Namun demikian, karena Hidayatullah lahir bukan hanya untuk gerakan tarbiyah tetapi juga untuk dakwah, maka mendirikan dan mengembangkan pesantren tidak hanya fokus di tempat tertentu, melainkan dikembangkan di seluruh wilayah Nusantara.

Pengiriman kader dai militan untuk mendirikan dan mengasuh pesantren serta mengembangkan dakwah di berbagai pelosok negeri merupakan suatu ciri yang sangat menonjol dari Hidayatullah.

Militansi ini tumbuh karena sejak awal berdirinya Hidayatullah, UAS mendeklarasikan telah “menjual diri” di jalan Allah. Beliau mengambil spirit dari ayat Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka” (QS 9:111).

Hal itu beliau tunjukkan dengan “lebur total” dalam perjuangan Islam, di mana seluruh waktu, harta, dan jiwa telah ia wakafkan di jalan Allah. Sikap demikian kemudian juga diikuti oleh semua kader Hidayatullah didikan UAS.

Kampus Pesantren

Selain ketiga warisan pemikiran di atas, ada juga warisan UAS yang bersifat praksis. Salah satu hal mendasar dalam pemikiran UAS ialah bahwa ajaran Islam yang meliputi iman, ilmu, dan amal harus benar-benar terintegrasi. Berislam tidak boleh hanya sibuk dengan ilmu tanpa pengamalan.

Jangan sampai Islam hanya menjadi wacana dan kenikmatan intelektual, atau hanya diceramahkan tanpa peragaan. Karena itu, ketiga konsep pemikiran Islam UAS (SW, imamah-jama’ah, dan harokah Islamiyah) harus diperagakan dalam kehidupan keseharian. Wadah untuk memperagakannya adalah kampus pesantren.

Kampus pesantren merupakan miniatur peradaban Islam. Keberadaan kampus tidak hanya dimaksudkan untuk menyelenggarakan pendidikan Islam. Lebih dari itu, kampus harus memperagakan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan seoptimal mungkin.

Oleh karenanya, warga kampus bukan hanya terdiri atas santri dan pengasuh atau guru, tetapi juga disertai warga rumah tangga. Agar terasa sebagai suatu peradaban, kampus harus mewujud sebagai entitas masyarakat.

Itu sebabnya pada masa lalu kampus Hidayatullah kadang disebut “darul hijrah”. Bergabung ke Hidayatullah disebut hijrah. Namun, definisi tentang kampus tidak tunggal. Terkadang juga disebut markaz dakwah, dan biasa pula disebut markaz perkaderan.

Warisan Kader

Selain keempat warisan UAS di atas, sebenarnya ada satu “warisan” lagi yang sangat penting, yaitu kader. Selain sebagai warisan, kader sejatinya adalah pewaris.

UAS wafat tanpa mewariskan suatu konsep pemikiran tertulis secara utuh, misalnya tentang manhaj SW. Satu-satunya warisan pemikiran tentang manhaj SW yang utuh menjelaskan dari Al-‘Alaq sampai Al-Fatihah secara tertulis adalah transkrip ceramah UAS pada acara Training Muballigh yang diselenggarakan di PT Antam, Pomala, Kolaka.

Namun demikian, selain tulisan tersebut, ada banyak tulisan beliau dalam bentuk “serpihan pemikiran” tentang SW dengan tema tertentu.

Demikian pula dengan konsep kepemimpinan imamah-jama’ah. Tema ini cukup sering ditulis oleh UAS di Majalah Suara Hidayatullah (Sahid). Selama puluhan tahun, UAS adalah penulis tetap pada rubrik Kajian Utama, sajian paling favorit majalah Sahid.

Namun, nuansa tulisan-tulisan itu lebih menekankan pada pengamalan dan pengalaman dibandingkan pemikiran teoritis dalam kerangka keilmuan. Tidak ada tulisan secara utuh dan sistematis tentang konsep kepemimpinan imamah-jama’ah.

Begitu pula tentang harokah Islamiyah. Seperti halnya kedua jati diri di atas, tidak ada warisan tertulis yang menggambarkan secara memadai bagaimana peta jalan dan cetak biru perjuangan Hidayatullah sebagai harokah Islamiyah. Bahkan dapat dikatakan, dibandingkan dengan dua jati diri lainnya, tulisan UAS tentang konsep harokah Islamiyah jauh lebih sedikit.

Namun, satu hal yang sangat menguntungkan ialah bahwa dalam jangka waktu yang cukup lama, sejak berdirinya Hidayatullah pada 1973 hingga wafatnya UAS pada 1998, beliau sangat banyak berceramah di depan para kadernya.

Seperti telah disinggung sebelumnya, penekanan UAS dalam menghadirkan Hidayatullah bukan pada kekayaan literasi keilmuan, melainkan pada pemahaman dan pengamalan atau peragaan. Khazanah keilmuan dari ceramah-ceramah UAS yang demikian banyak terkait jati diri, dan sering disampaikan berulang kali, pada dasarnya telah menjadi “kekayaan intelektual” bagi kader.

Hal ini terutama karena adanya hubungan timbal balik yang sangat kuat antara kerangka dan landasan keilmuan yang disampaikan serta pengalaman lapangan. Inilah yang menjadi proses pencerahan bagi kader. Artinya, ketercerahan kader karena mereka ikut menjadi pelaku dari konsep yang sering disampaikan tersebut.

Mereka mengalami dan merasakan kesesuaian ataupun integrasi antara ilmu atau teori dan pengamalan lapangan. Walaupun harus diakui bahwa mayoritas kader lebih fasih memperagakan jati diri dibandingkan menarasikannya secara intelektual.

Dengan modal warisan kader yang tercerahkan, ketika UAS wafat, suksesi kepemimpinan berlangsung dengan baik tanpa gejolak. Kepemimpinan kemudian berjalan dengan baik dan perkembangan Hidayatullah semakin pesat.

Sebelumnya ada pihak dengan nada pesimis menyatakan bahwa Hidayatullah akan berakhir seiring wafatnya UAS, dengan asumsi tidak tampak kader yang memiliki kharisma dan potensi kepemimpinan untuk melanjutkan model kepemimpinan tunggal atau “one man show” seperti dilakonkan UAS.

Sebagai seorang kader yang tercerahkan, ketika Ustadz Abdurrahman Muhammad (UAM) terpilih sebagai pemimpin Hidayatullah menggantikan UAS, beliau memperkenalkan dan kemudian “mendeklarasikan” model kepemimpinan syura.

UAM berkali-kali menjelaskan bahwa “saya tidak bisa dan juga tidak mau melanjutkan atau menjalankan model kepemimpinan tunggal seperti dijalankan UAS.”

Pada masa kepemimpinan UAS sebenarnya sistem syura tetap berjalan, hanya saja tidak dilembagakan secara permanen. Tradisi musyawarah dijalankan sesuai konteks masalah yang berkembang. Jadi, siapa yang akan ikut sebagai peserta musyawarah tergantung pada siapa yang terkait atau berwenang terhadap masalah yang ada.

Sejak awal kepemimpinannya, UAM melembagakan sistem syura dan melakukan “pembagian kekuasaan” kepada berbagai lembaga. UAM sebagai Pemimpin Umum, kemudian ada Dewan Syura, Majelis Syariah, dan Dewan Eksekutif sebagai pimpinan pelaksana.

Dalam realitasnya, Dewan Eksekutif yang berkedudukan di Jakarta juga berfungsi sebagai “thinktank” lembaga. Dewan Eksekutif aktif melakukan kajian dan “brainstorming” terhadap semua persoalan kelembagaan. Kajian-kajian yang sudah “setengah matang” disampaikan dan didiskusikan lebih lanjut dengan Pemimpin Umum, kemudian dibawa ke forum Dewan Syura untuk pengambilan keputusan.

Berbagai kebijakan perubahan besar dilakukan pada tahun 2000, ketika kepemimpinan UAM baru berjalan dua tahun. Perubahan paling fundamental adalah format kelembagaan dari orsos ke ormas. Menyertai perubahan ini adalah perubahan sistem sosial ekonomi dan penegasan definisi kader.

Sebelum menjadi ormas, sistem ma’isyah kader adalah dengan natura. Setelah menjadi ormas, sistem ma’isyah dilakukan dengan penggajian.

Perbedaan antara keduanya ialah pada istilah natura, upah diberikan berdasarkan kebutuhan pokok setiap kader atau warga tanpa memperhatikan jabatan dan profesi yang diemban. Sementara dengan sistem gaji, seseorang diberikan upah sesuai jabatan dan profesinya, bukan berdasarkan kebutuhan hidupnya.

Pada masa orsos, kader hanya diberikan natura sesuai kebutuhan pokok setiap rumah tangga. Semua kebutuhan lainnya seperti biaya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain ditanggung oleh lembaga. Dengan sistem penggajian di era ormas, hal-hal seperti itu menjadi tanggung jawab pribadi, tidak lagi ditanggung lembaga.

Dalam pada itu, juga dilakukan perubahan atau penegasan definisi kader. Pada masa orsos, yang dimaksud sebagai kader “seolah-olah” hanya mereka yang tinggal di kampus pesantren dan bekerja dalam lingkup tugas kepesantrenan. Mereka yang tinggal di luar kampus dan bekerja di tempat lain terkesan bukan kader.

Dikatakan “seolah-olah” di sini karena pengertian kader pada masa itu sesungguhnya tidak persis demikian. Sebagai contoh, di Gunung Tembak ketika itu ada puluhan kader senior yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan bekerja di berbagai instansi pemerintah.

Menyertai deklarasi ormas, kader didefinisikan dengan tegas sebagai “orang yang tertarbiyah dalam sistem perkaderan dan taat dalam sistem kepemimpinan Hidayatullah.” Dalam perkembangan selanjutnya, yang dimaksud sistem perkaderan ialah mengikuti training marhalah dan aktif dalam halaqah kader.

Perkembangan lain sesuai tuntutan dinamika kelembagaan dan kondisi eksternal adalah perumusan konsep jati diri Hidayatullah secara tertulis. Hal ini sangat penting dan mendasar untuk memperjelas serta mempertegas identitas dan “alamat” Hidayatullah.

Konsep pemikiran pada jati diri ini menjadi bahan utama materi tarbiyah dan perkaderan Hidayatullah. Setelah melalui diskusi dan kajian panjang, dirumuskan enam jati diri Hidayatullah: SW, Ahlussunnah wal Jama’ah, Imamah-Jama’ah, al-Harokah al-Jihadiyah al-Islamiyah, Jama’atun minal Muslimin, dan Wasathiyah.

Tiga dari enam jati diri merupakan “warisan langsung” dari UAS, sebagaimana telah disinggung di atas. Adapun tiga lainnya merupakan “tambahan” di era kepemimpinan UAM.

Dikatakan sebagai “tambahan” karena pada dasarnya UAS tidak pernah menjadikan ketiga tema tersebut sebagai bahan utama kajian dan wacana yang dibahas secara serius. Hal itu berbeda dengan tiga jati diri lainnya. Jika demikian, muncul pertanyaan: mengapa ketiga hal itu juga dijadikan jati diri Hidayatullah?

Jawabannya, diyakini bahwa ketiga hal tersebut (Ahlussunnah wal Jama’ah, Jama’atun minal Muslimin, dan Wasathiyah) sesungguhnya merupakan pemikiran keislaman yang dianut oleh UAS. Namun, UAS tidak menjadikannya sebagai tema kajian dan pencerahan karena tidak ada konteksnya ketika itu.

Misalnya, untuk Ahlussunnah wal Jama’ah. Pada masa itu tidak ada perdebatan dan klaim di tengah umat Islam Indonesia tentang Ahlussunnah wal Jama’ah dan siapa saja penganutnya.

Demikian pula tentang jati diri Jama’atun minal Muslimin. Dipahami bahwa UAS secara substantif menganut hal tersebut, walaupun jarang menyinggungnya. Hal yang sama juga berlaku untuk prinsip Wasathiyah.

Dari berbagai pandangan dan pemikiran UAS, jelas dapat dipahami sikap wasathiyah beliau dan Hidayatullah dalam berbagai persoalan keislaman dan keummatan.

Dari sedikit penjelasan di atas, kiranya dapat dipahami bagaimana dinamika pemikiran keislaman dan kelembagaan pasca kepemimpinan UAS.

Dinamika pemikiran tersebut juga berpengaruh terhadap struktur organisasi. Itu sebabnya, dari Munas pertama sampai Munas keenam yang segera berlangsung, terus terjadi perubahan yang diperlukan.

Perubahan-perubahan itu dilakukan dengan prinsip “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik” (al-muhafadhatu ‘ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah).

Semangat perubahan tersebut senantiasa berpegang teguh pada kaidah mempertahankan hal-hal yang bersifat prinsipil (tsawabit) dan melakukan perubahan pada hal-hal yang bersifat fleksibel karena konteks situasi, waktu, atau tempat (mutaghayyirat).

Penutup

Itulah lima warisan UAS. Dari kelima warisan tersebut dapat disederhanakan menjadi dua hal mendasar: manhaj SW dan kader.

Dalam manhaj SW pada dasarnya melekat konsep kepemimpinan imamah-jama’ah dan harokah Islamiyah. Dengan perkataan lain, tidak ada manhaj SW tanpa tegaknya kepemimpinan imamah-jama’ah dan harokah Islamiyah.

Selain eksis dengan manhaj SW dan kepemimpinannya, keberhasilan lain yang sangat penting dari UAS adalah melahirkan atau mencetak kader pelanjut perjuangan berbasis manhaj.

Sepeninggal UAS, Hidayatullah semakin berkembang, baik dalam jangkauan teritorial dan jaringan maupun kuantitas kader.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika kader yang ditinggalkan UAS (yang ketika itu umumnya berusia kurang dari 50 tahun) sukses melanjutkan manhaj perjuangan, apakah generasi berikutnya telah siap memikul beban ini? Hanya waktu yang bisa menjawab, tetapi kita harus optimistis.

Pada dasarnya, proses alih generasi dan rejuvenasi telah dan sedang berjalan. Sisa waktu dari peran generasi didikan UAS menjadi tantangan untuk menguatkan transformasi dan transmisi yang lebih kokoh bagi rejuvenasi. Wallahul musta’an.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Forum Majelis Ilmuwan Nusantara Rumuskan 7 Resolusi Utama

PERLIS (Hidayatullah.or.id) -- Forum Majelis Ilmuwan Nusantara (MIN) ke-3 Tahun 2025 menjadi ruang bagi para ulama, cendekiawan, dan tokoh...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img