SETIAP amal perbuatan kita di dunia ini, baik atau buruk, pasti mendatangkan akibat dan konsekuensi tertentu. Adakalanya kontan, terkadang ditangguhkan beberapa waktu, bahkan ada yang ditunda sampai tibanya Hari Pembalasan.
Bila kita berbuat baik dan ikhlas, kita tidak perlu mengkhawatirkannya sebab Allah tidak pernah lupa memberikan balasan. Akan tetapi, ternyata Allah juga tidak pernah lupa membalas perbuatan-perbuatan buruk kita, padahal manusia tempatnya salah dan lupa. Maka, kita tidak bisa bersikap masa bodoh dan seolah-olah telah bebas dari intaian azab.
Diceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal turun ke pasar Baghdad dan membeli seikat kayu bakar lalu memikulnya di punggungnya. Tatkala orang tahu, para penjual meninggalkan jualannya, para pedagang meninggalkan dagangannya, dan orang yang lewat berhenti untuk memberi salam kepadanya.
Mereka berkata, “Kami bawakan kayu bakarmu!” Tangan beliau pun bergetar, mukanya memerah, dan air matanya meleleh. Beliau berkata, “Kami adalah kaum yang malang, kalaulah bukan karena Allah niscaya telah terungkap aib kami.”
Dikisahkan pula bahwa Malik bin Dinar pernah berkata, “Demi Allah, seandainya manusia mencium aroma kemaksiatan sebagaimana aku menciumnya, niscaya tidak seorang pun sanggup duduk berdekatan denganku disebabkan sedemikian busuknya bauku.”
Sungguh benar perkataan beliau berdua. Adakah manusia yang tidak punya aib sehingga berani menepuk dada membanggakan kebersihan dirinya?
Sungguh, kalau bukan karena Allah telah menutupi aib-aib kita, tidak seorang pun yang memiliki kehormatan lagi di mata sesamanya.
Pertanyaannya, bagaimana agar Allah tidak membongkar aib-aib kita di masa lalu dan menjaga nama baik kita?
Untuk itulah Allah berfirman dalam surah al-An’am: 48: “Dan tidaklah Kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Ayat ini menyatakan bahwa tugas para rasul adalah memperbaiki kerusakan manusia dengan menegur mereka agar kembali ke jalan yang lurus. Setelah zaman kenabian berakhir, tugas itu dipikul para ulama’ yang jujur dan istiqamah di jalan-Nya. Mereka memberi kabar gembira kepada kaum yang taat dengan kebahagiaan serta keberkahan di dunia dan akhirat. Mereka juga memperingatkan kepada orang-orang yang zhalim bahwa azab dan murka Allah sudah menunggu, di dunia dan akhirat.
Dengan kata lain, siapa pun yang melakukan ishlah (perbaikan) pasti dijamin masa depannya di akhirat oleh Allah, dan seringkali sebagian dari nikmat yang Allah janjikan itu sudah diberikan-Nya kontan dan disegerakan di dunia ini, sehingga mereka tidak pernah merasa cemas dan khawatir. Mereka pun tidak akan gampang bersedih atas segala yang menimpa mereka dalam kehidupan dunia, sebab segala sesuatunya telah diikhlaskan untuk Allah dan mereka selalu berbuat kebaikan sesuai yang diperintahkan-Nya.
Salah satu makna lain dari “mengadakan perbaikan (ishlah)” adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan; sebagaimana disitir Imam ath-Thabari dalam penafsiran surah al-A’raf: 35. Sebab, setiap tindakan manusia pasti mengandung konsekuensi tertentu, entah dekat atau jauh, di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Orang beriman cenderung untuk selalu waspada, dimana setiap kali melihat atau melakukan kesalahan mereka akan bersegera memperbaikinya, dengan istighfar dan taubat, sehingga kehidupan mereka kembali aman karena terjauh dari akibat buruk perbuatannya sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Bertaqwalah kepada Allah dimana saja engkau berada, ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya ia menghapuskan (dosa)nya, dan pergaulilah sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (Riwayat Ahmad dari Mu’adz, dan al-Hakim dari Abu Dzarr. Menurut ad-Dzahabi: isnad riwayat al-Hakim ‘ala syarthil bukhari wa muslim).
Sebaliknya orang-orang kafir, mereka selalu dalam keadaan lalai, sehingga tidak menyadari akibat buruk dari tindakan-tindakan mereka. Kelak, tiba-tiba saja segenap akibat itu menumpuk menjadi satu dan menimpa mereka tanpa tertahankan lagi, sehingga mereka akan terdiam berputus asa. Al-Qur’an menceritakannya, sbb:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Qs. Al-An’am: 44)
Demikianlah kenyataannya. Orang yang mendustakan ayat-ayat Allah tidak pernah menengok amalnya. Segala jenis kedurjanaan mereka terjang, tanpa penyesalan sedikit pun. Allah berfirman: “Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Qs. al-An’am: 49).
Fasiq artinya berbuat kesalahan serta dosa secara sengaja, yakni setelah mengerti adanya larangan dan peringatan Allah dalam hal itu, karena hatinya dipenuhi pengingkaran dan permusuhan; bukan karena lupa dan khilaf.
Dalam Al-Qur’an, setiap kefasikan selalu berdekatan dengan penolakan dan permusuhan kepada hukum Allah, yakni kekafiran. Mereka ibarat dua sisi mata uang.
Oleh karenanya, mari beramal shalih, juga berdoa semoga Allah mensucikan hati kita dan menutup aib-aib kita. Amin. Wallahu a’lam.
Ust. M. Alimin Mukhtar