SETIAP organisasi, senantiasa dibersamai dengan seperangkat komponen yang telah dirumuskan dalam bentuk peraturan, regulasi juga code of conduct, serta kebijakan lainnya dalam rangka untuk mengimplementasikan visi, misi, dan tujuan organisasi tersebut.
Berikutnya dirumuskan rencana strategis jangka panjang, menengah, dan pendek. Dari sini selanjutnya dituangkan dalam program kerja tahunan, atau dalam periode tertentu, yang lebih spesifik dan detail serta disertai dengan target pencapaian baik kualitatif maupun kuantitatif dengan time frame yang ketat.
Dalam pelaksanaannya, sudah barang tentu tidak semua program yang sudah direncanakan itu berjalan sesuai dengan perencanaan yang disusun. Sehingga diperlukan alat atau mekanisme monitoring dan evaluasi yang memadai, dalam rangka untuk mengawal setiap program-program itu. Bahkan lebih jauh dapat melihat apakah semua aktifitas dalam organisasi itu, sebagai derivasi dari renstra organisasi, atau terjadi penyimpangan.
Banyak pakar telah menyusun bagaimana melakukan kontrol terhadap organisasi. Kita dengan mudah dapat menemukan banyak alat ukur untuk memonitor organisasi tersebut.
Alat ukur ini sebenarnya bisa dikembangkan menjadai kerangka assessment (penilaian) dan audit sebuah organisasi, apakah berjalan sesuai dengan koridor dan atau tidak.
Dengan adanya alat ukur ini, setiap organisasi bisa melakukan diagnosa mandiri. Sehingga dapat mengetahui sejauhmana kesehatan dari organisasi itu sendiri.
Dalam perspektif organisasi sosial/non profit (non government organization), dan juga terhadap organisasi Islam, maka sangat memungkinkan untuk merumuskan alat ukur sendiri.
Sebuah framework (kerangka) yang disusun berdasarkan benchmarking dari organisasi modern, termasuk organisasi bisnis, yang kemudian dikombinasikan dalam konteks organisasi Islam.
Sehingga kita mendapatkan sebuah alat ukur hybrid yang kemudian dapat dipakai sebagai pisau analysis bagi setiap organisasi, apakah berjalan dalam trek yang benar (on the right track) atau menyimpang dari visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan.
Lima Alat Ukur
Dalam perspektif organisasi non profit, terutama berkenaan dengan gerakan/ormas Islam, dapat diajukan lima alat ukur untuk mendiagnosa kesehatan sebuah organisasi. Sebuah indikator sederhana yang membawa organisai menuju keberlanjutannya.
Kelima indikator dan alat ukur tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, kebijakan dari pusat harus sampai dan dipahami hingga anggota ke paling bawah. Salah satu parameternya adalah ketika anggota di level bawah setidaknya tahu dan berlanjut kepada mengerti atas kebijakan tingkat pusat.
Organisasi yang baik akan mampu mengkomunikasikan seluruh kebijakan organisasi kepada semua lapisan anggota, hingga sampai yang paling bawah.
Dengan memanfaatkan keberadaan struktur organisasi yang ada ataupun dengan menggunakan berbagai jenis media yang tersedia. Sehingga desiminasi kebijakan ini, meminimalisis disparitas pemahaman kebijakan anggota pada semua level dan tingkatan.
Kedua, struktur disemua tingkatan berjalan dengan efektif dan efisien. Salah satu alat ukurnya adalah ketika kepemimpinan di semua level itu menjalankan program-program organisasi, yang setidaknya ditandai dengan adanya rapat rapat koordinasi dan koordinasi berjalan secara rutin.
Hal ini akan menegaskan bahwa masing-masing level struktural tersebut dalam satu garis komando dan satu garis kebijakan. Sehingga program-program organisasi disemua level dapat dieksekusi dan diimplementasikan sesuai dengan level/tingkatan strukturnya.
Ketiga, pembinaan secara kultural sebagai transformasi nilai berjalan dengan tertib dan baik. Pada organisasi Islam, transformasi manhaj dan juga jatidiri yang menjadi DNA organisasi dapat berupa halaqah-halaqah, taklim, kajian, dan lainnya yang sifatnya lebih kultural.
Transformasi ini melampaui pola hubungan dan hierarki struktural serta masalah-masalah program organisasi semata. Ia juga akan memberikan penguatan yang lebih mengakar lagi, yaitu mengapa sebuah organisasi dibentuk dan kemana akan dibawa, sebagaimana yang dituangkan dalam visi, misi, dan tujuan organisasi itu sendiri. Pembinaan kultural ini menjadi perekat dan menjadi satu kesatuan dari budaya organisasi itu sendiri.
Keempat, struktur demografis penggerak organisasi (pengurus dan anggota), komposisinya melibatkan kaum muda. Organisasi yang hanya diisi oleh kelompok tua (senior) akan segera mengalami decline, disebabkan tidak adanya regenerasi.
Dalam perspektif ini, maka melibatkan anggota/kader muda dalam sebuah organisasi, selain menjadi bagian dari rejuvenasi, juga memberikan kepercayaan kepada generasi muda dalam membangun dan mengembangkan Organisasi.
Interaksi antara senior dan junior disini akan mengakibatkan transformasi knowledge sekali transformasi nilai, yang mengantarkan kaum munda ini menjadi pemimpin dimasa medatang, untuk menggantikan yang ada. Bisa jadi ditengah jalan, karena intens-nya proses transformasi ini, yang muda malah yang memimpin.
Kelima, kemandirian anggota dan pembiayaan organisasi. Kemandirian disini, lebih bersifat finansial. Dimana organisasi bertugas memberdayakan setiap anggotanya, sehingga memiliki kemandirian yang di maksud.
Sementara dari sisi organisasi, maka pembiayaan organisasi berasal dari sumber internal organisasi yang berasal iuran anggota, amal usaha serta kegiatan ekonomi lainnya.
Organisasi semestinya menghindar dari meminta bantuan dari pihak eksternal. Sehingga diperlukan rekayasa serius bagi setiap organisasi disemua level untuk memandirikan dirinya sendiri.
Sudah barang tentu masih dapat ditambahkan aspek lain yang bisa dipergunakan sebagai tambahan atas indikator di atas. Namun, kelima alat ukur tersebut meskipun nampaknya sederhana, jika dijalankan dengan baik dan terukur, akan mengantarkan organisasi memiliki izzah yang kokoh dan pada gilirannya akan terjaga eksistensinya sehingga selain menjamin keberlangsungan organisasi, juga akan memiliki posisi tawar yang tinggi. Wallahu a’lam.
*) ASIH SUBAGYO, penulis peneliti senior Hidayatullah Institute (HI)