
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Acara Bincang Literasi bertema “Dakwah dengan Literasi Nyalakan Aksi Generasi Muda Menuju Indonesia Emas 2045” yang digelar Pemuda Hidayatullah DKI Jakarta di Perpustakaan Nasional RI, Sabtu, 25 Shafar 1447 (23/8/2025), menghadirkan diskusi yang menekankan pentingnya literasi sejarah sebagai fondasi pembangunan bangsa.
Hadi Nur Ramadhan, penulis juga pustakawan pendiri Rumah Sejarah Indonesia (RSI) Tamadun Hadi Nur Ramadhan, menyatakan bahwa para pendiri bangsa adalah penulis dan pustakawan bagi diri mereka sendiri. “Kita tidak akan menjadi orang besar kalau tidak membaca sejarah orang-orang besar. Al-Qur’an pun menginformasikan peristiwa masa lalu agar kita belajar darinya,” tegasnya.
Menurut Hadi, tradisi literasi sejarah dan sastra merupakan kekuatan yang kini mulai pudar dalam masyarakat. Karena itu, dia mendorong agar tradisi kesusastraan islam dapat kembali dihidupkan sebagai media dakwah.
Melalui medium ini, gerakan Islam yang digerakkan pemuda akan menguatkan langkah mempromosikan ajaran Islam, serta mengkritik realitas yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang bertujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Ia menambahkan, pendiri Hidayatullah, Abdullah Said, membangun gerakan dakwah melalui literasi yang terinspirasi dari dua buku besar, yakni Tafsir Sinar karya Buya Hamka dan Mutu Manikam karya KH Isa Anshari. “Inilah bukti bahwa literasi sejarah dan sastra melahirkan gerakan besar,” ujarnya.
Dari perspektif kebangsaan, Adam Sukiman, Ketua Pemuda Hidayatullah DKI Jakarta, menekankan peran literasi sebagai awal dari setiap perjuangan.
“Semua pekerjaan dimulai dari wacana. Para pendiri bangsa kita juga memulai perjuangan dengan menulis dan menyebarkan gagasan. Budaya literasi adalah fondasi gerakan menuju Indonesia Emas 2045,” jelas Adam dalam sambutannya.
Sementara itu, Muhammad Isnaini mengkritisi data UNESCO yang menyebut rendahnya budaya baca bangsa Indonesia.
“Ada disparitas antara realitas dan idealitas dalam penelitian tersebut. Umat Islam mestinya memiliki budaya literasi yang tinggi karena setiap hari berinteraksi dengan Al-Qur’an,” ungkapnya. Isnaini menegaskan program Rumah Qur’an sebagai pusat literasi, aspirasi, dan pemberdayaan yang diinisiasi Hidayatullah.
Tokoh literasi nasional, Maman Suherman, menyoroti bahwa literasi seharusnya bukan sekadar adu retorika. “Orang cerdas yang tampil di televisi sering kali hanya beradu mulut, bukan berdialektika. Ini terjadi karena kita tidak benar-benar menjalankan perintah iqro bismirabbik,” ujarnya.
Ia menambahkan, literasi finansial dalam Islam adalah contoh konkret bagaimana membaca dapat menuntun manusia dalam kehidupan sosial-ekonomi.

Imam Nawawi menambahkan dimensi spiritual dari literasi. “Dasar dari literasi adalah cinta. Jika cinta itu diarahkan kepada yang Maha Mencintai, maka literasi kita akan melahirkan amal yang bermanfaat bagi umat dan bangsa,” jelasnya.
Acara ini turut dihadiri perwakilan pemerintah, Slamet Abadi dari Kementerian Agama DKI Jakarta, yang menyampaikan apresiasi terhadap upaya penguatan literasi di kalangan generasi muda.
Bincang Literasi ini menurut Slamet menegaskan bahwa Indonesia Emas 2045 hanya dapat diwujudkan dengan kesadaran sejarah dan komitmen literasi. Seperti ditegaskan para narasumber, membaca sejarah adalah membaca diri sendiri, dan bangsa yang abai pada sejarahnya akan kehilangan arah di masa depan.