SALAH satu penyakit kronis manusia adalah tergesa-gesa, dan itu pasti ditegakkan di atas pondasi kemalasan untuk berpikir serta menimbang secara jernih.
Paling tidak, dua kali Allah memperingatkan kita dari sifat buruk tersebut. Dalam surah Al-Isra’ ayat 11, Allah berfirman:
“Manusia memohon untuk suatu keburukan sebagaimana ia memohon untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”
Di lain tempat, dalam surah Al-Anbiya’ ayat 37, Allah juga berfirman:
“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera.”
Di zaman kita, fenomena ketergesaan itu sangat kentara; terlebih ketika teknologi informasi memungkinkan siapa saja untuk menulis apa saja, dan – di saat bersamaan – dia juga bisa menyebarkan apa saja yang dia copy-paste dari siapa saja. Pemilu dan kampanye adalah ladang pembuktian ketergesaan itu.
Betapa banyak berita berseliweran di sekitar kita, tanpa bisa diverifikasi sumber dan asal-muasalnya. Hanya dengan mengetikkan beberapa huruf, maka jutaan entri informasi akan tersaji dalam hitungan detik. Akan tetapi, apakah semua itu valid dan bisa dipercaya?
Sedih, sebab antar sesama muslim saling serang, bahkan berani mengkafirkan satu sama lain, hanya bermodalkan informasi-informasi yang tidak bisa diverifikasi validitasnya.
Ngeri, sebab banyak orang sepertinya tidak peduli perihal kebenaran informasi yang ia sebarkan – seringkali – secara berantai dari satu akun ke akun lain, dari satu nomer hp ke nomer lain. Benar-benar tidak bertanggung jawab!
Sekarang, saya baru mengerti mengapa Imam Bukhari mengaku hafal 300.000 hadits, akan tetapi yang dimasukkan ke dalam kitab Shahih-nya hanya berkisar 7.500. Imam Ahmad bahkan menghafal 1.000.000 riwayat, namun Musnad-nya hanya memuat sekitar 27.600. Kemana yang lain? Ya, mereka menyaring dan memilihnya. Mana yang tidak bisa dipercaya dibuang, dan mana yang dapat dipegangi dilestarikan.
Saya juga teringat bagaimana seorang Qadhi Baghdad dan ulama’ besar yang memiliki pengetahuan teramat luas, yakni Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi, justru dicap sebagai pendusta dalam periwayatan hadits. Ilmunya sangat mengagumkan, sampai-sampai diperlukan 120 ekor unta untuk mengangkut buku-buku dari perpustakaan pribadinya!
Menurut Imam adz-Dzahabi, al-Waqidi dianggap dha’if (lemah) dalam periwayatan hadits bukan karena sengaja berbohong, tapi karena tidak berhati-hati dan tidak memilah sumber-sumbernya alias dicampur begitu saja. Umat harus dilindungi dari orang-orang seperti ini, yang serampangan mengumbar informasi, sehingga para ulama’ pun menolak riwayat-riwayat yang diceritakannya.
Betapa bertanggungjawabnya mereka! Andai mereka berlaku asal-asalan seperti kita dewasa ini, yang gemar meneruskan segala informasi tanpa ditimbang sedikit pun, pasti kaum muslimin telah tersesat sejak lama. Untung saja generasi mereka dilahirkan lebih dahulu, sehingga agama kita terlindungi. Andai generasi kita yang tampil sebelum mereka, kemurnian Islam pasti tinggal cerita tanpa bukti.
Inilah yang membedakan generasi kita dengan mereka. Ketika Allah berfirman “fa tabayyanuu…”, generasi Imam Ahmad dan Imam Bukhari patuh, lalu menyeleksi setiap informasi yang mereka terima sebelum diteruskan kepada orang lain. Allah pun memberkahi mereka dengan kejayaan dan keselamatan.
Firman itu masih bergema sampai sekarang, namun kita pura-pura tuli dari seruannya. Kita langsung mengobral apa saja yang kita dengar, baca, ketahui; tanpa melalui saringan maupun verifikasi, bahkan tidak juga dipikirkan barang sedikit pun! Maka, sudah semestinya bila Allah menghukum kita dengan kegoncangan, carut-marut, dan kehilangan arah tujuan!
_________
[*] Alimin Mukhtar, Kamis, 21 Sya’ban 1435 H