
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Ketua Panitia Tarhib Ramadhan Gabungan Jakarta, Suhardi Sukiman, menyampaikan bahwa bulan Ramadhan sejatinya menghadirkan kesempatan bagi suatu bangsa untuk mengalami penyucian jiwa secara kolektif.
“Ramadhan bukan semata pengendalian diri secara pribadi, melainkan juga perbaikan moral sosial yang selaras dengan prinsip perubahan yang ditekankan dalam Al-Qur’an,” kata Suhardi ketika ditemui media ini disela acara Tarhib Ramadhan Hidayatullah Jakarta, Jawa Barat, dan Kampus Pondok Pesantren Hidayatullah Depok.
Acara yang bertajuk “Ramadhan sebagai Momentum Penyucian Jiwa Bangsa” ini berlangsung di Masjid Baitul Karim, Komplek Wisma dan Pusat Dakwah Hidayatullah Jakarta, Cipinang Cempedak, Polonia, Otista, Jatinegara, pada Sabtu, 23 Syaban 1446 (22 Februari 2025).
Suhardi menjelaskan, dalam Surah Ar-Ra’d ayat 11, Allah SWT telah mengingatkan bahwa tidak akan berubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Demikian pula dalam Surah Al-Anfal ayat 53 dimana manusia didorong untuk berupaya dengan sungguh sungguh menjadi lebih baik karena Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.
“Dua ayat ini menegaskan bahwa transformasi suatu bangsa harus dimulai dari perubahan individu yang menjadi bagian dari masyarakat tersebut,” terang Sekretaris Wilayah DPW Hidatyatullah Daerah Khusus Jakarta ini.
Dia menjelaskan, Ramadhan menanamkan nilai-nilai yang menuntun pada transformasi sosial. Puasa mengajarkan seseorang untuk merasakan kesusahan yang dialami oleh mereka yang kurang beruntung.
Begitu pula dalam menahan lapar dan dahaga, umat Muslim diingatkan akan penderitaan kaum papa yang kerap bergulat dengan kemiskinan.
Dalam kondisi tersebut, terang Suhardi, hal ini membangun empati yang pada gilirannya mendorong kesadaran kolektif untuk berbagi dan membantu sesama.

“Spirit Ramadhan mengarahkan individu dan masyarakat pada kepedulian sosial yang konkret, seperti berbagi makanan melalui zakat dan sedekah, yang tidak hanya meringankan beban ekonomi kelompok rentan, tetapi juga menyeimbangkan distribusi kesejahteraan,” jelasnya.
Lebih jauh, Suhardi menerangkan, nilai-nilai Ramadhan juga memiliki implikasi terhadap kehidupan ekonomi bangsa. Tradisi berbagi yang meningkat selama bulan suci ini mempercepat sirkulasi ekonomi, baik melalui konsumsi rumah tangga maupun donasi sosial.
Ramadhan mendorong aktivitas ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan pribadi, tetapi juga membawa manfaat bagi komunitas luas. Peningkatan kegiatan amal, belanja kebutuhan pokok, serta distribusi zakat dan infak menciptakan perputaran ekonomi yang berorientasi pada keadilan sosial.
“Dengan demikian, Ramadhan menjadi instrumen penyatu bagaimana nilai-nilai spiritual dapat bersinergi dengan aspek material dalam membangun kesejahteraan nasional,” imbuhnya.
Namun, dia menegaskan, perubahan fundamental tidak akan terwujud hanya dalam bentuk kegiatan seremonial belaka. Ramadhan bukan sekadar momen tahunan yang berlalu tanpa jejak, tetapi harus menjadi titik tolak transformasi yang lebih fundamental.
Masyarakat yang telah melalui pendidikan moral dan spiritual selama bulan ini seharusnya mampu membawa nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari, bahkan setelah Ramadhan berakhir.
“Jika setiap individu yang telah disucikan oleh Ramadhan mampu mempertahankan semangat kesalehan sosialnya, maka jiwa bangsa pun akan turut terangkat ke arah perbaikan yang berkelanjutan,” katanya.
Dengan jiwa umat yang telah tersirami oleh keutamaan Ramadhan, diharapkan transformasi sosial yang diidamkan dapat tercapai.
Jika nilai-nilai Ramadhan dapat diinternalisasi dalam keseharian dan mengakar dalam struktur sosial bangsa, tambah Suhardi, maka negeri ini dapat menuju cita-cita menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur—sebuah bangsa yang makmur, sejahtera, dan mendapat ampunan serta ridha dari Allah SWT.*/Puji Asmoro