Oleh : Naspi Arsyad
Tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar manusia sekarang, berada dalam kegalauan yang besar, kalau tidak dapat dikatakan berada dibawah teror ketakutan oleh fenomena wabah covid-19. Simpang siurnya berita obat atau penangkal virus ini yang menunjukkan belum pastinya informasi tersebut tidak menunjukkan ekuivalensi dengan fakta korban virus Corona yang seakan jumlahnya belum mau berhenti.
Setidaknya hingga saat tulisan ini dibuat, jumlah korban yang meninggal telah mencapai 196.931 jiwa diseluruh dunia dengan total pasien yang terpapar sebanyak 2.826.035 orang. Dan ironisnya, negara super power seperti Amerika Serikat justru yang memimpin dalam angka kasus korban Corona sebanyak 917.347 kasus, yang akhirnya ‘menurunkan’ rakyatnya ke jalan dalam aksi demo menentang kebijakan lockdown yang diterapkan sejumlah negara bagian AS bahkan memantik perseteruan presiden negeri Paman Sam, Donald Trump dengan beberapa Gubernur negara bagian mengenai pencabutan lockdown terkait pandemi virus ini.
Disisi lain, beberapa pemimpin negara lainnya yang seolah tidak menunjukkan leadership skill-nya dalam menyikapi not predicted phenomenon ini. Salah satu situs berita menuliskan deretan pernyataan serta kebijakan kontroversial pemimpin dunia tersebut diawal-awal menukiknya jumlah korban severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV-2) ini.
Ada yang tidak ingin membuka informasi ke publik karena tidak ingin membuat panik, ada yang bersikap acuh dengan menyamakannya seperti flu kecil biasa lalu beberapa kali ikut berkerumun ditengah para pendukungnya hingga melontarkan statemen kekanak-kanakan dengan berkata “Tidak ada virus di sini. Kalian tidak melihatnya beterbangan kan?”
Peran Pemimpin
Secara umum, tugas dan fungsi pemimpin bukanlah perkara yang mudah. Membutuhkan skill yang levelnya diatas rata-rata dengan karakter yang tidak mudah dijumpai dikalangan awam. Dalam Islam, seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk mengelola alam ini (siyaasatud dun-ya) agar kemaslahatannya terwujud dalam skala maksimal bagi rakyatnya (ar-ra’iyyah).
Sebab, pemimpin adalah wakil umatnya dalam mewujudkan tujuan-tujuan syariat. Baik dalam bentuk rekayasa atau kebijakan yang mendatangkan kemaslahatan (Jalbu al-mashaalih) atau strategi yang menghindarkan rakyatnya dari kemudharatan (dar-u al mafaasid). Olehnya itu, Abu Al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi atau yang lebih dikenal dengan imam Al mawardi menjadikan kemampuan kognisi dan kecerdasan sikap sebagai salah satu kompetensi mutlak bagi seorang pemimpin agar mampu memberikan solusi efektif dalam menyikapi peristiwa, terutama kejadian yang tidak diprediksi sebelumnya.
Sehingga terhindar dari dampak yang tidak biasa. Sebab, tidak ada orang yang memiliki strategi atau perencanaan baku untuk mengatasi keadaan yang terjadi secara tiba-tiba apatah lagi dengan irama dan liukan yang tidak biasa seperti wabah virus corona ini.
Secara historis, Nabiyulah Yusuf Alaihi as-Salam serta khalifah Umar bin Khathab telah memperagakan syarat kemudian yang diajukan imam Al Mawardi tersebut. Dalam QS. Yusuf:43, Allah membuka panggung Nabi Yusuf dengan bunga tidur sang Raja, “Sungguh aku bermimpi melihat 7 ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh 7 ekor sapi betina yang kurus. Juga 7 tangkai (gandum) yang hijau serta (7 tangkai) lainnya yang kering…”.
Lalu Yusuf menjawab fit and proper test itu, “Dia (Yusuf) berkata, agar kamu bercocok tanam 7 tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa, kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan ditangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan” (QS. Yusuf:47).
Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir mengurai kapasitas Nabi Yusuf yang melebihi kemampuan para penasihat raja saat itu. Yusuf mampu ‘melihat’ apa yang akan terjadi dimasa datang dan memberikan langkah antisipatif, penangkal kemarau berkepanjangan yang akan terjadi.
Sebagai calon pemimpin, Nabi dengan wajah ‘serupa’ malaikat ini menunjukkan salah satu skill utamanya, tidak tersandera dengan fakta kekinian dan memiliki long term design yang dibutuhkan dalam mengelola sebuah negara.
Umar dan Krisis Pangan
Sekitar 15-16 abad kemudian, Umar Bin Khathab menjajal kemampuannya dalam konteks yang sama, menghadapi krisis pangan berkepanjangan. Dimasa pemerintahan beliau sebagai Amirul Mu’minin, tepatnya dibulan Dzulhijjah atau akhir tahun ke-18 Hijriah, umat Islam mulai tertimpa sulitnya pangan yang berlangsung sekitar 9 bulan. Kekeringan melanda bumi Hijaz dan kelaparan beranjak menghantui penduduknya.
Era yang disebut ‘Aam Ramadhah karena permukaan tanah mengering akibat curah hujan yang minim, merubah warnanya sama dengan warna debu. Hijaz mengalami kekeringan yang parah dan mengungsikan banyak penduduk pedesaan ke Madinah karena ketiadaan bahan makanan.
Keadaan miris ini direspon secara cepat dan tepat oleh sang suksesor Abu Bakar Ash-Shiddiq. Disamping memaksimalkan kas Baitul Mal untuk pengadaan bahan makanan, Umar juga menghabiskan stok bulognya untuk dibagikan ke masyarakat. Dia mengangkat 4 deputi berdasarkan arah angin agar bisa mendapatkan informasi yang cepat dan memenuhi tuntutan rakyat lebih dini.
Setiap saat Umar berkeliling mengontrol keadaan agar dapat memastikan tiada satu orangpun yang tidak mendapatkan makanan. Tanggung jawab yang besar ini merubah kondisi pisik beliau. Kulit beliau menjadi hitam dengan tubuh yang akhirnya kurus. Beliau tidak lagi memikirkan makanan untuk dirinya bahkan tidak berselera bila disajikan untuknya makanan yang layak. Seorang sahabatnya berkata “Andai kekeringan ini terjadi lebih lama, mungkin Umar akan meninggal dunia”.
Khatimah
Menjadi pemimpin memang bukan untuk meraih kesenangan. Bukan pula media menumpuk kekayaan dan menikmati fasilitas-fasilitas. Seorang pemimpin dipilih bukan untuk menciptakan gap yang menyakitkan dengan orang yang telah mempercayainya. Amanah kepemimpinan bukanlah warisan yang sekedar mengikuti arus nasab, juga bukan karena kekayaan dan hamburan janji serta hadiah.
Menjadi pemimpin adalah wujud kecintaan terhadap agama dan umat, juga kesiapan untuk berkorban dan itu memang bukanlah pilihan yang menyenangkan. Allahu a’lam.
*(Pengajar di Program Kuliah Da’i Mandiri-Balikpapan)