JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Berdakwah di mana pun sebenarnya sama saja. Selalu ada suka dan dukanya. Baik dakwah dilakukan di kampung, di desa-desa, di pinggir-pinggir laut rumah nelayan. Aktifitas dakwah memiliki khas dinamikanya sendiri. Pun tak terkecuali berdakwah di kawasan metropolitan seperti Jakarta.
Anggota Dewan Mudzakarah Hidayatullah, Ust Ahkam Sumadiana, belum lama ini hadir di Jakarta dalam rangka menghadiri undangan menjadi pembicara tentang terobosan dakwah kekinian. Dia mengatakan, meskipun dakwah dimanapun sama saja, namun dakwah tetap membutuhkan strategi.
Diterangkan dia, strategi adalah pendekatan-pendekatan yang kita gunakan kepada orang yang ada di Ibu kota. Pendekatan itu merupakan suatu rencana jangka panjang yang digunakan untuk ketentuan tertentu. Strategi itu juga membutuhkan taktik, taktik adalah tahapan-tahapan tertentu yang dipakai untuk melaksanakan strategi.
“Setelah itu kita harus memahami sosiologi perkotaan agar kita bisa menentukan strategi apa, pendekatan apa yang kita gunakan maka kita harus paham betul bagaimana sebenarnya masyarakat kota itu. Tentu saja berbeda masyarakat kota dan masyarakat desa,” kata Ahkam.
Diantara yang paling menonjol itu masyarakat kota, mungkin karena kesibukannya sehingga kehidupan individualistas itu sangat menonjol. Sedangkan masyarakat desa tidak begitu masih saling bergotong royong
“Secara sosiologis yang harus kita sadari adalah, hampir semua orang yang ada di Jakarta ini sudah terkooptasi yang berkutat pada nilai, semua orang ke kota ini pikirannya uang. Materi saja yang ada kepalanya,” imbuhnya.
Namun, dia menegaskan realitas ini tidak bisa kita nafikan. Tidak bisa kita hindari, karenanya kemudian Allah SWT menyuruh umat Islam untuk fastabuqul khairot (berlomba dalam kebaikan).
“Kata kuncinya kita hadir di sini (kota) berlomba berbuat kebaikan. Kita punya kiblat, cara pandang dan kita ingin itu sebuah perubahan, maka dimulai dari diri kita,” pesannya.
Ahkam Sumadiana kemudian menganalogikan bahwa sebuah imperium yang adidaya tidak tidur dalam menawarkan sistem hidup yang mereka yakini itu kepada dunia. Sedangkan Islam, mau menawarkan Islam tapi banyak tidur, ya wajar lebih sukses Amerika. Hasil itu sesuai dengan perjuangannya, imbuhnya.
“Maka kita juga harus punya strategi, tidak bisa sporadis, tidak bisa berdakwah ini spontanitas. Tidak bisa berdakwa ini ala kadarnya. Harus dipersiapkan sebaik mungkin,” katanya.
Dia menyebutkan, apa yang dibutuhkan agar kita bisa memenej dengan baik gerakan dakwah, agar strategi ini bisa berjalan dengan baik yang perlu kita perhatikan adalah, didalam surat Al Isra ayat 84 Allah berfirman yang artinya:
“(Katakanlah, “Tiap-tiap orang) di antara kami dan kalian (berbuat menurut keadaannya masing-masing) yakni menurut caranya sendiri-sendiri (Maka Rabb kalian lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”) maka Dia akan memberi pahala kepada orang yang lebih benar jalannya”.
“Tentu kita harus mempersiapkan itu agar dakwah di kota ini bisa dinamis. Juga kompetensi sebagaimana nilai spiritual dakwah itu bisa lari kencang. Tidak lupa keterampilan pendakwah juga diperhatikan seperti apa yang dibutuhkan apakah dai biasa saja, atau luar biasa. Butuh skill yang di atas rata-rata,” tukasnya.
Untuk itu, lanjutnya, maka pendakwah harus memiliki tingkat intelektual, spiritual, yang luarbiasa cerdas dan kokoh. Tidak akan berbuat lebih dari itu, kalau biasa-biasa saja pengetahuannya. Lebih dari itu, pendakwah harus memiliki kecakapan sosial khususnya dalam menjalin silaturrahim dan menguatkan ikatan ukhuwah dengan saudara saudara sesama gerakan dakwah lainnya.
“Ciri Hidayatullah itu adalah sebuah gerakan yang komunikatif. Hidayatullah bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Maka harus pandai berkomunikasi dengan baik. Kita sepakat dengan perbedaan, cara kita berdakwah, itulah pentingnya komunikasi,” imbuh dai yang lama malang melintang melakukan pembinaan umat ini.
Tidak kalah penting sinergitas, sarana prasarana, asas manfaat, kalau kita bisa manfaatkan, ya dimanfaatkan, Semua orang bisa dimanfaatkan, bersinergi dengan siapa saja, dengan pemerintah, swasta dan lain sebagainya.
Ahkam pun menekankan untuk merangkul non muslim dalam mendakwahi mereka. Jangan memposisikan non-muslim sebagai lawan, melainkan sebagai objek dakwah yang mesti dikasihi.
“Padahal semua orang punya prasangka baik, semua kan orang ingin selamat. Tawarkan Islam itu kepada mereka,” pesannya.
Lalu, terang dia, evaluasi strategi dakwah kita tentu menggunakan standar Al-Quran dan Sunnah. Tidak penting kita mempertahankan kesalahan, kalau memang salah. Apalagi berdebat, targetnya bukan itu.
Ahkam mengajak kader-kader dai di ibukota untuk mencontoh cara dakwah yang pernah diperagakan oleh Rasulullah Muhammad Shallallaahu Alaihi Wasallam di masanya. Dakwah Rasulullah itu, kata Ahkam, adalah menciptakan arus. Ketika Abu Jahal begitu dominan dan begitu kuat, tapi Nabi Muhammad membuat arus di rumahnya Al Arqom yaitu arus Al-Quran.
“Sepanjang arus itu tidak ada yang menggangu, tidak usah kita ganggu orang. Karena intinya kita mau bikin arus kebenaran, maka arus itu diperbesar, diperluas, diperbanyak, yaitu arus Alquranisasi,” pungkasnya.*/Azim Arrasyid Sofyan