DEPOK (Hidayatullah.or.id) — Pondok Pesantren Hidayatullah Depok memperingati Muharram Tahun Baru Islam 1446 Hijriyah dengan menggelar acara bertema “Muharram sebagai Momentum Muhasabah Menuju Masa Depan yang Berperadaban”.
Acara bersama narasumber Anggota Dewan Pertimbangan Hidayatullah Ust. Dr. H. Abdul Aziz Qahar Mudzakkar, M.Si, ini berlangsung di Aula Sekolah Pemimpin Relokasi Masjid Ummul Quraa, Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, Jalan Raya Kalimulya, Kecamatan Cilodong, Kota Depok, pada Ahad malam, 16 Muharram 1446 (21/7/2024).
Abdul Aziz membuka materi dengan menyajikan sejarah singkat penanggalan hijriyah dan menapaktilasi hubunganya dengan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Dalam taushiahnya, Aziz menggarisbawahi pentingnya peristiwa hijrah Nabi sebagai cermin spirit peradaban Islam.
Dia mengatakan ada dua hikmah sebagai simbol besar peradaban Islam yang dapat ditarik dari sejarah hijrah Rasulullah ke Madinah tersebut.
Hikmah simbol perabadan Islam yang Pertama, adalah pembangunan infrastruktur berupa masjid sebagai pilar peradaban Islam yang menyebarluaskan petunjuk kebenaran (hidayah Allah).
“Masjid adalah sentral peradaban Islam,” katanya menegaskan.
Simbol Kedua, adalah persaudaraan, dimana dalam peristiwa hijrah ini Rasulullah mempersatukan dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar yang menciptakan ikatan yang kuat di antara mereka.
Dalam konteks Indonesia, kata Aziz, semangat ini tercermin dalam Sila ke-4 Pancasila “Persatuan Indonesia”.
Karena itu, dia menekankan bahwa ukhuwah atau persaudaraan adalah pilar utama dalam membangun masyarakat yang peduli.
“Jadi kalau kita di Indonesia ini namanya Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, yang sebenarnya konsep yang Islami,” imbuhnya.
Karena itu, jelas Aziz, pilar pembangunan sosial masyarakat yang paling utama adalah adanya ukhuwah atau menjalin persaudaraan diantara masyarakat sehingga terbangun kepedulian. Termasuk gerakan dan ucapan salam setelah shalat berjamaah merupakan simbol perhatian dan kepedulian Islam pada masalah umat.
Aziz menjelaskan, masjid adalah pusat peradaban, kebudayaan, dan kepemimpinan Islam. Sebagaimana di zaman Nabi, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah ritual seperti shalat berjamaah, tetapi juga sebagai pusat konsolidasi umat. Di masa Rasulullah, masjid menjadi pusat segala aktivitas umat, termasuk urusan perang dan infak.
Maklumat Pertama Nabi
Pada kesempatan tersebut, Aziz memaparkan empat pengumuman, instruksi, atau maklumat pertama Nabi sebagaimana disampaikan Rasulullah ketika beliau hijrah ke Madinah ditengah kerumunan kaum muslimin yang menyambut kedatangannya ketika itu. Menurut Aziz, maklumat tersebut menjadi peneguh pilar peradaban Islam.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Daarimi, Ibnu Maajah, dan al-Haakim, dikisahkan bahwa ketika Rasulullah datang ke Madinah, orang-orang segera pergi menuju beliau karena ingin melihatnya. Sebagian ada yang berteriak bahwa Rasulullah telah datang sehingga semakin banyak orang berkerumun untuk menyaksikan wajahnya.
Pada kesempatan itulah Rasulullah menyampaikan pesan moumental di hadapan massa yang berkumpul agar selalu menyebarkan salam, memberikan makan, menyambung silaturrahim, dan mendirikan shalat tahajjud di waktu malam ketika orang-orang tertidur. Dalam hadist disebutkan bahwa bagi siapa yang menjalankan keempatnya akan diganjar masuk surga.
“Jadi ada empat instruksi yang dikeluarkan pertama kali Rasulullah di Madinah, selain tadi mempersaudarakan,” katanya, seraya menukil maklumat Rasulullah yang juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah tersebut:
أيُّهَا النَّاسُ : أَفْشُوا السَّلامَ ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
“Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikan makan, sambunglah silaturrahim, shalatlah di waktu malam ketika orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan sejahtera.”
Aziz menjelaskan, maklumat Nabi agar menyebarkan salam mengandung pesan esensi bahwa umat Islam harus senantiasa menyebarkan kebaikan dan kesejahteraan serta kehadirannya dimanapun selalu membawa kedamaian.
Sementara maklumat memberi makan adalah cerminan bahwa hendaknya kaum muslimin memiliki empati dan kepedulian untuk menghilangkan problem kelaparan yang melanda umat manusia. Dia mencotohkan sosok Nabi Ibrahim yang enggan makan sendiri dan selalu memanggil orang lain untuk makan bersamanya.
“Tradisi para nabi itu adalah suka memberi makan, mudah mudahan kita bisa meniru walaupun sedikit sedikit. Jangan sampai ada diantara kita ini yang tidak pernah mengundang orang makan ke rumah kita,” katanya.
Berikutnya, maklumat Rasulullah agar umat Islam menghidupkan silaturrahim diantara mereka. Silaturrahim ini relevan dengan persaudaraan, karenanya ia akan meneguhkan kebersamaan bahkan ia suatu amalan yang sangat dahsyat dalam Islam.
Bahkan, Aziz melanjutkan, surah Annisa ayat 1 salah satu isinya adalah perintah silaturrahim (tasaaluna bihi wal arham) dan ia merupakan satu dari dua ayat Al Qur’an yang dalam satu ayat tersebut dua kali menekankan perintah “takwa”. Surah lainnya adalah Surat Al-Hasyr ayat 18.
Dan, terakhir maklumat Nabi agar kaum muslimin shalat di waktu malam (tahajjud/lail) ketika orang-orang tertidur. Menurut Aziz, shalat lail secara fiqih adalah amalan yang sangat infiradi (pribadi), yang ketika tidak dilakukan pun tidak berdosa.
Namun, terangnya, dalam konteks Hidayatullah sebagai lembaga dakwah dan pembinaan umat, shalat lail tidak hanya dilihat secara fiqih tetapi juga secara manhaji.
Sehingga, lanjutnya menerangkan, kultur shalat lail di Hidayatullah dipandang sebagai proses pembinaan dan pembiasaan dimana para kader dan santri dianjurkan untuk melaksanakannya.
“Kalau mau kajian shalat lail dalam konteks manhaj Sistematika Wahyu, (maka) shalat lail itu wajib. Wajibnya tanda petik ya, jangan sampai disalahpahami. Maksudnya, dalam konteks Sistematika Wahyu, mutlak kita masuk kepada tahapan Al Muzzammil yang di sana ada shalat malam,” terangnya.
Selain itu, terang Aziz, shalat lail termasuk yang dilaksanakan secara berjamaah adalah dalam rangka latihan dan pembiasaan karena Hidayatullah ingin melahirkan orang yang berkarakter ahli ibadah.
Hal ini menurutnya sejalan dengan temuan para pakar bahwa pembangunan karakter intinya adalah dengan dua cara yaitu adanya teladan dan adanya pembiasaan. (ybh/hidayatullah.or.id)