DALAM Surat Shad (38) : 26, Alah SWT berfirman,”Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah SWT. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah SWT akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Dalam tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa dalam ayat ini terkandung pesan kepada ulil amri (pemerintah, dan siapapun yang memimpin-red) agar mereka menetapkan hukum dengan berpijak kepada kebenaran yang diturunkan dari Allah swt dan tidak menyimpang darinya karena hal itu akan menyesatkan mereka dari jalann-Nya.
Demikian halnya dengan Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar r.a:
“Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya, seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tangggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memlihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin akan ditanya (diminta pertangggung jawab) dari hal yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal yang paling mendasar yang dapat diambil dari hadis di atas adalah bahwa dalam level apapun, manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan.
Setiap orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang juga membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup dimana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas.
Masih banyak lagi sebenarnya dalil yang berkaitan dengan kepemimpinan dan urgensinya hingga level implementasi bahkan juga monitoring dan evaluasinya. Akan tetapi, setidaknya, kita tersontak ketika diingatkan oleh Bapak Pemimpin Umum saat Tarhib Ramadhan, Selasa (29/3/2022), bahwa dalam memimpin disetiap level apapun, harus Leading with Heart dan Managing with Mind.
Memimpin dengan hati, artinya, mengedepankan perasaan yang bersumber dari kuatnya ibadah dan amal sholeh (ahsanu amala) yang dilakukan. Dimana akan melahirkan sebuah intuisi yang ilhami untuk melahirkan sejumlah konsepsi ilahiyah, yang akan memandu setiap pemimpin dalam memimpin apa yang dipimpinnya, dalam level apapaun termasuk memimpin dirinya sendiri ataupun dalam keluarga.
Konsekwensi logisnya akan terjadi kedekatan antara pemimpin dengan yang dipimpin, seperti hubungan saudara (kal jasadil wahid), bukan hubunga transaksional, sebagaimana hubungan bos dan majikan.
Oleh karenanya, seorang pemimpin akan memimpin secara adil, dan jauh dari hawa nafsu, serta kepentingan pribadi. Karena jika dalam memimpin sudah dipandu dengan hawa nafsu, pasti akan merugikan bahkan menyesatkan. Cepat atau lambat, sebagaimana yang digambarkan dalam QS -Shad ayat 26 di atas.
Selanjutnya, dimana letak manajemen, akal dan rasio. Inilah kemudian yang diistilahkan dengan manage by head. Artinya seorang pemimpin harus menggunakan “kepalanya” dalam me-manage yang dipimpin. Kepalanya tidak boleh kosong. Sehingga, seorang pemimpin juga dituntut untuk memiliki wordview yang cermerlang, dengan wawasan yang luas, otak yang encer, serta kemampuan managerial skill yang memadai. Untuk mendapatkannya, bisa melalui jalur pendidikan formal maupun non formal, literasi (baca/tulis) dan lain sebagainnya.
Tuntutan berikutnya adalah, seorang pemimpin juga mesti memahami dan tidak alergi terhadap adanya tools manajemen modern yang disesuaikan dengan visi, misi dan budaya organisasi, sehingga dalam me-manage yang dipimpinnya berlaku kaidah SMART (Specific, Measureable, Achievable, Relevant, dan Time-bound). Sebab seorang pemimpin juga mesti mampu men-direct dalam menyusun perencanaan strategis.
Dan, tools ini akan membantu dalam merealisasikan seluruh program yang telah dirumuskan tersebut. Karena, manage by head, itu outpunya adalah hasil kerja yang bisa dirasakan perubahannya, bahkan yang nampak bisa dilihat secara fisik.
Dengan demikian maka, kemampuan seorang pemimpin dalam menintegrasikan dan memadukan antara manage by heart dan manage by head, akan melahirkan kepemimpinan yang visioner dan melakukan quantum leap, yang bisa jadi dapat menerobos dimensi ruang dan waktu.
Implementasinya dapat dimulai dari sekala yang paling kecil, sesuai dengan kapasitas kita masing-masing, sebab pemimpin itu sebenarnya adalah diri kita masing-masing. Wallahu a’lam
Asih Subagyo, penulis adalah instruktur Hidayatullah Institute